Connect with us

Opini

Runtuhnya Pemerintahan Prancis, Protes Membesar

Published

on

Massa protes Block Everything di jalanan Paris.

Ada absurditas yang sulit diabaikan ketika melihat Paris, kota yang selalu dielu-elukan sebagai simbol cahaya peradaban, justru diselimuti asap bakar tong sampah dan teriakan murka warganya. Pada Rabu, 10 September, jalanan ibukota seolah berubah menjadi panggung besar ketidakpuasan, di mana “Block Everything” bukan sekadar slogan daring, melainkan senjata politik rakyat yang jenuh. Ironi itu jelas: negara yang sering mengajarkan demokrasi ke dunia lain kini dipaksa berhadapan dengan versi telanjang dari krisisnya sendiri.

Runtuhnya pemerintahan Prancis di bawah François Bayrou sebetulnya hanya puncak gunung es, hasil dari pertarungan panjang antara ambisi elit dan penderitaan rakyat. Bayrou jatuh bukan karena badai asing, melainkan oleh kegagalannya sendiri meramu anggaran yang bisa diterima parlemen. €44 miliar pemotongan belanja publik dipaksakan atas nama disiplin fiskal, tapi pada akhirnya mengiris lapisan sosial yang paling rapuh. Bagaimana tidak? Ketika utang sudah mencapai 113% PDB, solusinya bukannya memperkuat fondasi kesejahteraan, melainkan memangkasnya.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Kita semua tahu, angka-angka di atas kertas sering digunakan pejabat untuk menjustifikasi kebijakan yang jauh dari rasa adil. Tetapi di jalanan Paris dan Lyon, Marseille hingga sekolah-sekolah yang ditutup oleh aksi pelajar, angka itu tak punya makna lain selain simbol ketidakpedulian. Lebih dari seribu orang turun ke jalan, ratusan ditangkap, dan pemerintah baru yang dibentuk Emmanuel Macron tampak lebih sibuk memadamkan api politik daripada menjawab jeritan sosial. Saya rasa, di sinilah letak kegagalan paling nyata: ketika negara mendengar lebih jelas bisikan pasar ketimbang suara rakyatnya.

Sebastian Lecornu, yang baru saja ditunjuk sebagai perdana menteri pengganti Bayrou, seolah masuk ke panggung yang sudah terbakar dari segala arah. Tugasnya jelas berat: bernegosiasi dengan partai-partai, membangun koalisi, dan mencari celah agar rancangan anggaran bisa lolos. Tapi apakah itu cukup? Saya ragu. Karena di luar gedung parlemen, ada ribuan orang yang tak peduli siapa perdana menterinya, selama kebutuhan dasar mereka terus dikorbankan di altar penghematan. Inilah jurang yang menganga antara elit dan rakyat, jurang yang setiap tahun makin dalam, dan kini menelan satu pemerintahan demi satu pemerintahan.

Kalau ditanya apakah runtuhnya pemerintahan Prancis berarti negara ikut runtuh, jawabannya tentu tidak. Negara masih punya institusi, aparat, dan struktur kokoh. Namun mari kita jujur: legitimasi adalah mata uang politik yang lebih berharga dari euro atau dolar. Ketika legitimasi itu terkikis, negara bisa berjalan layaknya mesin tua: berisik, berasap, tapi tidak bergerak maju. Kita pernah melihat ini di gerakan Yellow Vests beberapa tahun lalu, ketika protes bensin berubah menjadi simbol perlawanan kelas. Kini, “Block Everything” hadir dengan semangat serupa, hanya saja lebih berani: bukan hanya memprotes satu kebijakan, tapi menantang seluruh arsitektur politik penghematan.

Ada yang bilang, rakyat Prancis memang suka turun ke jalan. Protestan sejati. Namun jangan salah: kebiasaan itu bukan sekadar hobi, melainkan mekanisme pertahanan diri kolektif ketika parlemen gagal menjalankan fungsi. Di Indonesia, kita mengenal aksi-aksi mahasiswa yang bisa menjungkalkan rezim, atau buruh yang memblokade jalan tol demi menolak undang-undang. Maka, melihat pelajar Paris menutup sekolah-sekolah, saya merasa ada gema yang dekat: penderitaan akibat kebijakan elitis selalu punya aksen yang universal.

Krisis politik di Eropa, khususnya di Prancis, memperlihatkan satu ironi besar: demokrasi parlementer yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi justru sering menjelma menjadi arena sirkus, tempat oposisi kiri dan kanan hanya bersatu ketika ingin menjatuhkan pemerintah. Tahun lalu, Michel Barnier tumbang karena anggaran 2025 gagal lolos. Tahun ini, giliran Bayrou. Siapa berikutnya? Kalau tren ini berlanjut, runtuhnya pemerintahan Prancis akan jadi agenda tahunan, semacam festival politik yang melelahkan tapi terus berulang.

Namun persoalan sebenarnya lebih dalam dari sekadar siapa yang duduk di kursi perdana menteri. Persoalan itu adalah jurang struktural: ekonomi yang dibebani utang raksasa, pasar yang menuntut disiplin fiskal, Uni Eropa yang menekan dengan aturan anggaran, sementara rakyat yang menanggung dampak pemangkasan sosial. Di titik inilah, politik jadi seperti permainan kucing dan tikus. Elit sibuk menyelamatkan kursi, rakyat sibuk menyelamatkan hidupnya. Dan seperti biasa, rakyatlah yang paling sering kalah.

Saya tidak bisa menahan diri untuk menyindir: bukankah lucu, negara yang sering menjadi kiblat revolusi kini terjebak pada krisis yang justru memanggil kembali semangat revolusionernya sendiri? Dari Bastille hingga “Block Everything,” garis lurus itu jelas terlihat. Bedanya, musuh kali ini bukan monarki absolut, melainkan kebijakan anggaran yang kaku dan elit politik yang tuli.

Mungkin ada yang berpendapat bahwa krisis ini hanyalah badai sesaat. Pemerintah baru akan terbentuk, anggaran baru disepakati, dan hidup akan berjalan seperti biasa. Tapi mari jujur, “biasa” macam apa yang kita bicarakan? Biasa di mana rakyat harus menerima pemotongan fasilitas publik? Biasa di mana setiap tahun ada ancaman runtuhnya pemerintahan Prancis? Biasa di mana pasar lebih menentukan kebijakan ketimbang warga? Kalau itu yang disebut biasa, saya kira wajar bila rakyat memilih membakar tong sampah dan memblokade jalan sebagai cara bicara.

Kita bisa belajar sesuatu dari situasi ini. Bahwa demokrasi tanpa keadilan sosial hanya akan melahirkan instabilitas yang berulang. Bahwa penghematan yang menekan rakyat hanya memperbesar jurang ketidakpercayaan. Dan bahwa legitimasi tidak bisa dibeli dengan angka-angka fiskal. Sebuah negara bisa selamat dari krisis ekonomi jika rakyat percaya pada pemimpinnya, tapi sebaliknya, negara bisa runtuh meski ekonominya kokoh jika rakyat tak lagi percaya.

Runtuhnya pemerintahan Prancis kali ini seharusnya menjadi alarm keras, bukan hanya bagi Paris tapi juga bagi kita semua. Sebab, dalam dunia yang saling terhubung, instabilitas di Eropa tak pernah berhenti di Eropa. Dampaknya bisa bergaung hingga Jakarta, bisa mengguncang pasar global, bahkan bisa memengaruhi arah kebijakan internasional. Jadi, ketika kita membaca berita penangkapan 83 orang di jalanan Prancis, jangan hanya melihatnya sebagai urusan domestik. Itu adalah cermin rapuhnya demokrasi modern yang terlalu lama mengabaikan suara rakyat.

Saya rasa, yang paling ironis dari semua ini adalah bahwa rakyat Prancis, dengan caranya yang gaduh, mungkin sedang memberi pelajaran paling jujur tentang demokrasi: jika parlemen gagal, jalanan akan mengambil alih. Dan dalam pelajaran itu, kita melihat bahwa runtuhnya pemerintahan Prancis bukanlah akhir, melainkan awal dari pertanyaan besar: sampai kapan elit bisa mengabaikan rakyatnya sebelum benar-benar kehilangan segalanya?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer