Opini
Serangan Israel ke Qatar: Ancaman Baru di Kawasan

Ada absurditas yang tak mudah ditelan ketika mendengar kabar tentang serangan Israel ke Qatar. Doha, kota yang selama ini dipoles sebagai simbol kemewahan, diplomasi, dan stabilitas ekonomi kawasan, tiba-tiba menjadi sasaran roket. Seakan semua janji tentang “oase damai” di jantung dunia Arab hanya ilusi, karena di balik pencakar langit dan stadion megah, terselip ketakutan yang kian merayap. Apa artinya jika sebuah negara kecil dengan kekuatan finansial besar saja bisa ditembus? Saya rasa, inilah momen ketika seluruh kawasan harus sadar: ancaman itu nyata, ancaman itu bernama Israel.
Ironi itu semakin mencolok karena Qatar bukan sekadar negara kaya minyak dan gas, melainkan mediator yang selama ini menjadi penghubung dalam konflik Palestina. Doha menyediakan ruang diplomasi, membuka pintu bagi berbagai perundingan, dan sering tampil seolah penengah yang rasional. Namun, Israel tampaknya tidak peduli pada simbol netralitas atau status diplomatik. Yang mereka tunjukkan justru sikap arogan, logika perang ala koboi yang dibungkus retorika “hak membela diri.” Jika hari ini Doha bisa dihantam, besok siapa yang menjamin Riyadh, Abu Dhabi, atau Manama tidak akan diperlakukan sama? Ancaman Israel di Kawasan ini bukan lagi wacana, melainkan bayangan gelap yang semakin dekat.
Netanyahu, dengan gaya khasnya, kembali memainkan logika ala Amerika. Logika yang sederhana tapi berbahaya: siapa pun yang dianggap mengancam Israel, di mana pun, boleh dihantam. Itu retorika yang pernah dipakai Washington ketika menyerang Irak, Afghanistan, hingga melancarkan operasi drone di negara-negara yang bahkan tidak sedang berperang dengan mereka. Kini Israel menirunya dengan penuh percaya diri. Seolah ia berkata, “jika Amerika bisa, kenapa kita tidak?” Masalahnya, logika semacam ini bukan hanya mengundang perang, tapi juga menormalkan kejahatan negara atas nama keamanan nasional.
Saya kira, Qatar dihadapkan pada dilema besar. Apakah mereka akan merespons seperti Iran—menunggu momen, menimbang kalkulasi, lalu membalas dengan cara yang membuat lawan terkejut—atau justru menunduk di bawah tekanan Amerika, membiarkan serangan ini dianggap insiden sementara? Kita tahu, AS punya kepentingan besar di Doha, dari pangkalan militer hingga proyek energi. Dengan pengaruh Washington yang begitu dalam, ada kemungkinan Qatar akan dipaksa menelan hinaan ini sambil berpura-pura bahwa semuanya kembali normal. Tapi pertanyaannya: sampai kapan? Normalitas yang dipaksakan ini hanya menunda kenyataan bahwa ancaman Israel di Kawasan semakin melebar.
Bayangkan jika analoginya dibawa ke ranah lokal. Seperti seseorang yang punya rumah besar, berlapis pagar, penuh kamera keamanan, dan satpam berseragam. Tiba-tiba ada orang yang menembakkan batu atau bahkan melempar bom molotov ke jendela rumah itu. Apa yang akan dilakukan si pemilik rumah? Apakah dia akan pura-pura tidak terjadi apa-apa demi menjaga citra sebagai orang “tenang”? Atau dia akan melawan habis-habisan demi harga diri? Qatar sekarang persis seperti itu. Kaya, terlindung oleh aliansi, tapi kini dicemooh oleh kenyataan bahwa uang tidak bisa membeli keamanan.
Ancaman Israel di Kawasan sebetulnya bukan hanya soal roket yang meluncur ke Doha. Lebih jauh, ia adalah pesan politik: tidak ada ruang yang benar-benar aman selama ada negara yang percaya dirinya berhak menyerang siapa saja. Pesan ini tentu ditujukan tidak hanya kepada Qatar, tapi juga kepada seluruh negara Teluk. Bahwa normalisasi hubungan dengan Israel, kontrak dagang, dan kesepakatan teknologi tidak akan menjamin perlindungan. Justru sebaliknya, semakin dekat dengan Israel, semakin besar risiko terseret dalam logika perang tanpa batas.
Saya teringat bagaimana kawasan ini selama bertahun-tahun dipoles sebagai episentrum modernitas Arab. Ada Dubai dengan gedung pencakar langitnya, Abu Dhabi dengan museum mewahnya, Riyadh dengan proyek futuristiknya, dan Doha dengan Piala Dunia 2022 yang spektakuler. Semua itu adalah citra: sebuah narasi bahwa dunia Arab sudah bertransformasi, meninggalkan konflik dan melaju ke masa depan. Tapi serangan Israel ke Qatar mencabik narasi itu. Dunia diingatkan kembali bahwa di balik semua kemewahan itu, kawasan ini masih rapuh, masih berada di bawah bayang-bayang kekuatan yang lebih agresif, dan masih menjadi medan percobaan bagi logika perang yang tak mengenal batas.
Saya rasa yang perlu dikritisi adalah sikap naif sebagian elite kawasan yang percaya bahwa Israel adalah mitra strategis, bukan ancaman. Mereka berlomba menormalisasi hubungan, membuka jalur perdagangan, dan bahkan merencanakan kerjasama militer. Padahal, sejarah sudah berulang kali mengajarkan: Israel tidak mengenal loyalitas selain kepada dirinya sendiri. Doha mungkin jadi sasaran kali ini, tapi bukan mustahil Riyadh atau Abu Dhabi akan jadi sasaran berikutnya. Ironi besar jika kawasan yang selama ini menyebut dirinya sebagai “jantung dunia Islam” justru rela dipermainkan dengan logika ala Amerika yang dipinjam Israel.
Apakah kawasan menyadari ancaman ini? Saya ragu. Politik minyak, kontrak senjata, dan ketergantungan pada pangkalan militer Amerika membuat banyak penguasa menutup mata. Mereka lebih takut kehilangan restu Washington daripada kehilangan harga diri di hadapan rakyatnya. Namun, rakyat tidak bisa selamanya dibohongi. Ketika serangan demi serangan terus terjadi, ketika simbol-simbol kebanggaan mereka dihina, suara-suara perlawanan akan bangkit, entah cepat entah lambat.
Di sinilah pentingnya refleksi bagi kita di Indonesia. Kita tahu bagaimana rasanya hidup dalam bayang-bayang kekuatan besar, bagaimana suara rakyat sering dipinggirkan demi “kepentingan global.” Ancaman Israel di Kawasan seharusnya jadi cermin bahwa keamanan sejati tidak bisa dititipkan pada aliansi asing. Ia hanya bisa lahir dari kemandirian, solidaritas, dan keberanian untuk menolak logika perang yang menindas. Kalau tidak, hari ini Qatar, besok entah siapa lagi.
Saya tidak tahu bagaimana Qatar akan melangkah. Mungkin mereka akan diam, mungkin mereka akan mencari cara untuk membalas, mungkin mereka akan berlindung di balik diplomasi panjang. Tapi yang jelas, kawasan tidak lagi bisa berpura-pura bahwa Israel hanyalah masalah Palestina. Serangan ke Doha membuktikan bahwa ancaman itu sudah di depan pintu. Dan seperti yang kita tahu, pintu yang sudah diketuk hanya menunggu waktu untuk didobrak.