Connect with us

Opini

Netanyahu Tiru Bush untuk Legitimasi Serangan Doha

Published

on

Netanyahu berpidato meniru retorika Bush untuk membenarkan serangan Doha.

Langit Doha sore itu retak oleh suara ledakan. Asap hitam membubung dari kawasan West Bay Lagoon, kawasan elit yang biasanya hanya dikenal sebagai pusat diplomasi dan hunian ekspatriat. Namun di saat dunia menahan napas, Benjamin Netanyahu tampil di layar kaca. Dengan wajah kaku dan suara bergetar penuh tekanan, ia menyampaikan pidato yang segera viral di media sosial. Pidato itu bukan sekadar pembelaan, tapi sebuah naskah yang seolah ditulis untuk menghidupkan kembali arwah George W. Bush pasca 9/11.

“Tomorrow is September 11th. We remember September 11th. On that day, Islamist terrorists committed the worst savagery on American soil since the founding of the United States. We also have a September 11th. We remember October 7th. On that day, Islamist terrorists committed the worst savagery against the Jewish people since the Holocaust.”

(Besok adalah 11 September. Kita mengingat 11 September. Pada hari itu, teroris Islamis melakukan kekejaman terburuk di tanah Amerika sejak berdirinya Amerika Serikat. Kami juga punya 11 September kami sendiri. Kami mengingat 7 Oktober. Pada hari itu, teroris Islamis melakukan kekejaman terburuk terhadap orang Yahudi sejak Holocaust.)

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Begitu Netanyahu membuka kalimatnya. Ia membandingkan 9/11 dengan 7 Oktober, menempatkan tragedi yang menimpa warga Israel sejajar dengan luka historis Amerika. Retorika ini jelas bukan kebetulan. Netanyahu sedang mengutip bukan hanya ingatan, tapi juga legitimasi. Ia ingin menempelkan narasi Israel pada narasi global “perang melawan teror” yang sudah dipopulerkan Bush dua dekade lalu. Namun di sinilah letak persoalan: tragedi berbeda, konteks berbeda, dampak berbeda. Tetapi Netanyahu memaksakan analogi agar publik dunia melihat Israel sebagai Amerika kecil yang sedang melawan ancaman peradaban.

Netanyahu melanjutkan:

“What did America do in the wake of September 11th? It promised to hunt down the terrorists who committed this heinous crime wherever they may be. And it also passed a resolution in the Security Council of the UN two weeks later that said governments cannot give harbor to terrorists. Well, yesterday, we acted along those lines.”

(Apa yang dilakukan Amerika setelah 11 September? Amerika berjanji memburu para teroris yang melakukan kejahatan keji ini di mana pun mereka berada. Dan Amerika juga mengesahkan sebuah resolusi di Dewan Keamanan PBB dua minggu kemudian yang mengatakan pemerintah tidak boleh memberi perlindungan kepada teroris. Nah, kemarin, kami bertindak dengan cara yang sama.)

Kalimat ini, bila dibaca dingin, terdengar logis. Tapi mari kita bedah. Bush memang menjanjikan perburuan global terhadap al-Qaeda, dengan dukungan PBB. Namun, invasi ke Irak yang dilakukan atas nama “perang melawan teror” justru melahirkan kekacauan, kehancuran, dan kelompok baru yang lebih ekstrem. Afghanistan pun berakhir tragis, dengan Taliban kembali berkuasa setelah 20 tahun perang. Jika Bush gagal, bagaimana mungkin Netanyahu bisa yakin metode yang sama akan berhasil?

Lebih jauh, ia berkata:

“We went after the terrorist masterminds who committed the October 7th massacre. And we did so in Qatar, which gives safe haven. It harbors terrorists. It finances Hamas. It gives its terrorist chieftains sumptuous villas. It gives them everything.”

(Kami memburu para dalang teroris yang melakukan pembantaian 7 Oktober. Dan kami melakukannya di Qatar, yang memberi mereka tempat aman. Qatar melindungi teroris. Qatar membiayai Hamas. Qatar memberikan para pemimpin teroris vila mewah. Qatar memberi mereka segalanya.)

Di sini, retorika Netanyahu semakin telanjang. Doha, sebuah ibu kota negara berdaulat, diturunkan statusnya menjadi sekadar sarang teroris. Tidak ada bedanya, dalam narasi Netanyahu, antara Afghanistan yang hancur pasca invasi dan Qatar yang saat ini sedang menjadi mediator penting antara Hamas, Israel, dan AS. Padahal fakta di lapangan menunjukkan, Qatar justru menjalankan fungsi diplomasi yang diakui Washington sendiri. Dengan kata lain, Netanyahu bukan hanya sedang menyerang Hamas, tapi juga meruntuhkan jembatan diplomasi yang tersisa.

Lalu ia mengeluarkan klaim paling absurd:

“So we did exactly what America did when it went after the terrorist, the al-Qaeda terrorist in Afghanistan and after they went and killed Osama bin Laden in Pakistan. Now the various countries of the world condemn Israel. They should be ashamed of themselves. What did they do after America took out Osama bin Laden? Did they say, oh, what a terrible thing was done to Afghanistan or to Pakistan? No. They applauded. They should applaud Israel for standing up to these same principles and carrying them out.”

(Jadi kami melakukan persis seperti yang dilakukan Amerika ketika memburu teroris, teroris al-Qaeda di Afghanistan dan ketika mereka kemudian membunuh Osama bin Laden di Pakistan. Sekarang berbagai negara di dunia mengecam Israel. Mereka seharusnya malu. Apa yang mereka lakukan setelah Amerika membunuh Osama bin Laden? Apakah mereka berkata, oh, betapa buruknya hal yang dilakukan pada Afghanistan atau Pakistan? Tidak. Mereka bertepuk tangan. Mereka seharusnya bertepuk tangan untuk Israel karena berdiri tegak pada prinsip yang sama dan melaksanakannya.)

Perhatikan baik-baik. Netanyahu menuntut dunia “applaud”- bertepuk tangan atas serangan Israel ke Doha, sama seperti dunia bertepuk tangan ketika AS mengumumkan kematian Osama bin Laden. Namun, sejarah tidak sesederhana itu. Kematian bin Laden memang disambut lega, tapi perang panjang yang diciptakan Bush justru memakan korban jutaan jiwa, menghancurkan dua negara, dan meninggalkan trauma global. Permintaan Netanyahu agar Israel dipuji sama seperti memaksa dunia untuk menutup mata dari fakta korban sipil, pelanggaran kedaulatan, dan kegagalan total model perang Bush.

Akhir pidatonya bahkan terdengar seperti ancaman terbuka:

“And I say to Qatar and all nations who harbor terrorists, you either expel them or you bring them to justice. Because if you don’t, we will.”

(Dan saya katakan kepada Qatar dan semua negara yang melindungi teroris, kalian harus mengusir mereka atau membawa mereka ke pengadilan. Karena jika tidak, kami yang akan melakukannya.)

Kalimat ini menegaskan bahwa Netanyahu sedang mengklaim mandat global yang tidak dimilikinya. Ia seolah menjadi polisi dunia, padahal Israel hanyalah negara kecil dengan kepentingan terbatas. Mengancam kedaulatan negara lain bukanlah wujud kekuatan, melainkan tanda frustrasi.

Saya rasa di sinilah ironi paling pahit dari Netanyahu serang Doha. Ia tahu Bush gagal, tapi ia tetap meniru jalannya. Ia tahu dunia tidak lagi membeli narasi “war on terror”, tapi ia tetap mengulangnya. Semua ini lebih terlihat sebagai panggung politik domestik ketimbang strategi militer. Netanyahu sedang berbicara pada rakyatnya, mencoba menyelamatkan kursi yang semakin goyah di tengah krisis internal. Retorika besar dipakai sebagai selimut untuk menutupi ketidakmampuan nyata.

Seperti pejabat lokal yang dituduh korupsi lalu berteriak paling lantang soal nasionalisme, Netanyahu pun sedang memainkan trik usang. Ia mengira dunia akan kembali terpesona oleh kata-kata kerasnya. Padahal kenyataannya, semakin banyak negara yang mengecam, bahkan sekutu tradisionalnya mulai gerah.

Dan yang lebih menggelikan, ketika Netanyahu menuntut dunia bertepuk tangan, justru yang muncul adalah kebalikannya: kecaman dari PBB, protes keras dari negara-negara Arab, bahkan kegusaran dari Washington karena langkah itu mengacaukan upaya diplomasi. Israel mungkin merasa menang secara simbolik dengan menggempur Doha, tapi dalam jangka panjang, ia justru kehilangan legitimasi.

Kita bisa simpulkan, Netanyahu bukan hanya meniru Bush, ia juga sedang mengulang kesalahannya. Bush berakhir dengan perang panjang tanpa kemenangan. Netanyahu sedang membuka pintu ke jurang yang sama, hanya saja kali ini dengan risiko lebih cepat dan lebih berbahaya.

Pada akhirnya, pidato itu akan tercatat bukan sebagai momen heroik, melainkan sebagai contoh bagaimana retorika dipakai untuk menutupi kegagalan moral. Netanyahu serang Doha hanyalah upaya putus asa seorang pemimpin yang sedang kehilangan arah, dan sejarah akan menilainya sebagai pengulang kesalahan, bukan penyelamat bangsanya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer