Connect with us

Opini

Rakyat Eropa Menolak Kesepakatan Uni Eropa-AS

Published

on

Ilustrasi editorial rakyat Eropa menolak kesepakatan UE-AS.

Ada yang ganjil, bahkan ironis, ketika mendengar kabar bahwa Uni Eropa—blok ekonomi yang selalu membanggakan diri sebagai raksasa politik global—tiba-tiba terlihat seperti pedagang kecil yang dipaksa menerima harga banting dari pembeli rakus bernama Amerika Serikat. Kesepakatan tarif yang ditandatangani oleh Ursula von der Leyen dengan Donald Trump seakan menelanjangi kelemahan Eropa di mata dunia. Bagaimana mungkin sebuah blok sebesar ini rela menggadaikan martabatnya demi menuruti tekanan Washington? Rasa getir ini bukan hanya muncul dari pengamat, tapi juga dari rakyat Eropa sendiri yang terang-terangan menyebut kesepakatan itu sebagai penghinaan.

Survei yang dilakukan Cluster17 menjadi cermin kekecewaan itu. Angka-angka yang tersaji bukan sekadar statistik dingin, tapi jeritan yang tak lagi bisa disembunyikan. Bayangkan, 77% warga di lima negara terbesar Uni Eropa yakin bahwa kesepakatan itu lebih menguntungkan Amerika ketimbang Eropa. Lebih menyakitkan lagi, hanya 2% yang percaya ada manfaat untuk Eropa. Dua persen! Itu bahkan kalah banyak dibanding margin of error sebuah survei. Seakan publik ingin berkata, “kami dipermainkan, dan kami tahu itu.” Perlawanan rakyat Eropa, dalam arti penolakan keras terhadap kebijakan yang mereka anggap menjual murah kepentingan mereka, menjadi fakta politik yang tak bisa lagi diabaikan.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Saya rasa kita semua tahu bagaimana rasanya merasa “dibohongi” oleh orang yang seharusnya melindungi kita. Seperti warga yang menitipkan uang pada bank, lalu mendapati tabungannya digadaikan tanpa izin untuk kepentingan pihak lain. Persis begitu posisi warga Eropa kini. Mereka menitipkan kepercayaan pada Komisi Eropa agar menjaga kepentingan mereka di meja perundingan. Tapi apa yang mereka dapat? Sebuah kesepakatan yang membuat mereka harus membeli energi AS senilai 750 miliar dolar, menggelontorkan investasi raksasa hingga 600 miliar dolar di negeri Paman Sam, dan bahkan meningkatkan belanja pertahanan dari industri militer AS. Jika ini bukan bentuk kepatuhan, lalu apa lagi?

Ursula von der Leyen tentu akan membela diri. Ia akan bicara soal kompromi, soal stabilitas transatlantik, soal “kepentingan bersama”. Namun, rakyat tidak bisa dibohongi oleh jargon yang sudah basi. Sebanyak 75% responden survei itu menilai ia gagal membela kepentingan Eropa. Lebih dari setengahnya, tepatnya 60%, bahkan mengatakan mereka akan menyambut baik jika ia mundur. Itu bukan lagi kritik biasa. Itu tuntutan politis yang jelas: kami sudah muak, silakan turun. Jika seorang pemimpin kehilangan kepercayaan publik hingga angka sebesar ini, bukankah sudah waktunya ia bercermin?

Lucunya, di tengah semua ini, citra Donald Trump di mata warga Eropa justru makin jelas: 44% menyebutnya musuh Eropa, 47% menilai ia berwatak otoriter, dan 36% bahkan menganggap ia berperilaku seperti diktator. Namun, justru pada figur semacam inilah Brussels bertekuk lutut. Ironi yang pahit. Ibaratnya, Anda tahu lawan bicara Anda adalah penjudi licik, tapi tetap saja Anda menandatangani cek kosong untuknya. Apakah itu kecerdikan diplomasi atau sekadar kelemahan yang ditutupi retorika?

Perlawanan rakyat Eropa mengambil bentuk yang lebih nyata dalam sikap sehari-hari. Hampir 70% mengatakan siap memboikot produk Amerika. Tentu, kita tahu boikot jarang efektif seratus persen, tapi pesan politiknya kuat: ada kemarahan yang mendalam. Jika dikaitkan dengan konteks kita di Indonesia, bayangkan saat harga bahan pokok naik karena kebijakan impor yang janggal, lalu publik menyuarakan boikot terhadap produk tertentu. Bukan soal berhasil atau tidak, melainkan ekspresi simbolik bahwa rakyat menolak tunduk pada permainan elit.

Yang menarik, meski mayoritas warga masih ingin negaranya tetap berada di Uni Eropa—dari 61% di Prancis hingga 85% di Spanyol—ada 37% yang mulai berpikir keluar dari blok itu bila Brussels terus-menerus gagal melindungi mereka. Angka ini bukan sekadar statistik kecil. Ia adalah api kecil yang, jika dibiarkan, bisa membesar menjadi bara Euroskeptisisme baru, mirip dengan yang melahirkan Brexit. Perlawanan rakyat Eropa, dengan begitu, tidak hanya diarahkan pada Amerika Serikat, tetapi juga pada elit Uni Eropa sendiri.

Saya jadi teringat pada pepatah Jawa: “digugu lan ditiru” — pemimpin itu dipercaya dan diteladani. Tapi bagaimana jika pemimpin justru jadi simbol penghinaan? Ursula von der Leyen tampak lebih seperti eksekutor kontrak yang disodorkan Washington daripada seorang pemimpin yang menjaga martabat rakyatnya. Rakyat Eropa melihatnya, merasakannya, dan kini melawan dengan caranya sendiri: lewat opini publik, survei, boikot, bahkan ancaman pada keberlanjutan proyek integrasi Eropa.

Sejatinya, apa yang kita saksikan adalah benturan antara retorika besar Uni Eropa sebagai kekuatan global dan kenyataan pahit bahwa di meja perundingan dengan Amerika, mereka hanyalah mitra junior. Sementara Trump dengan gaya kasarnya bisa memaksakan syarat-syarat yang membuat Eropa terlihat seperti pecundang, rakyat di Paris, Berlin, Madrid, Roma, hingga Warsawa dipaksa menelan konsekuensinya. Tidak heran bila rasa marah itu berubah menjadi penentangan.

Dan jika Anda berpikir ini sekadar soal angka-angka ekonomi, coba renungkan kembali. Bagi rakyat, kesepakatan itu bukan hanya tentang miliaran dolar energi atau pertahanan, tetapi tentang martabat. Tentang harga diri. Tentang apakah mereka masih bisa percaya pada elit politik yang mereka pilih. Perlawanan rakyat Eropa kali ini bukan teriakan kosong. Ia adalah peringatan keras. Bila elit tidak mendengar, gelombang ketidakpuasan itu bisa bergulir menjadi badai politik yang lebih besar.

Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan getir. Uni Eropa boleh punya bendera biru dengan bintang kuning yang melambangkan kesatuan, tapi bendera itu tak ada artinya bila rakyat merasa dijual murah. Washington mungkin tertawa puas, tetapi di jalan-jalan Eropa, tawa itu terdengar sebagai ejekan. Dan ketika ejekan sudah menusuk harga diri, maka perlawanan rakyat Eropa bukan sekadar kemungkinan, melainkan kepastian yang tinggal menunggu bentuk konkretnya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer