Opini
Serangan Israel di Doha, AS Terlibat?

Ada absurditas yang semakin terasa getir ketika berita tentang serangan Israel di Doha muncul ke permukaan. Kota yang selama ini menjadi panggung diplomasi, tempat utusan internasional berseliweran membicarakan jalan damai, justru berubah menjadi sasaran rudal. Doha, simbol moderasi di Teluk, yang rajin menawarkan diri sebagai mediator, tiba-tiba diseret ke dalam pusaran api. Lalu orang bertanya, bagaimana mungkin serangan seberani itu bisa dilakukan tanpa ada lampu hijau dari sekutu utama Israel? Saya rasa hanya mereka yang masih percaya pada dongeng kebaikan hati Washington yang akan menjawab, “itu murni inisiatif Israel.”
Kalau kita tarik ke belakang, pola ini bukan barang baru. Ingat ketika Israel menyerang Iran pada saat Amerika Serikat sedang duduk manis bernegosiasi soal nuklir? Negosiasi berjalan di satu meja, bom dijatuhkan di meja lain. Ironi seperti ini berulang, membentuk pola yang jelas: diplomasi hanyalah layar tipis untuk menutupi dentum meriam. Dan kali ini, serangan Israel di Doha dilakukan tepat ketika para pemimpin Hamas berkumpul membahas usulan AS. Sebuah kebetulan? Rasanya terlalu manis untuk disebut kebetulan.
Saya jadi teringat pepatah lama: kalau seekor serigala datang dengan kulit domba, jangan heran bila ia tetap memangsa. Amerika, yang kerap tampil sebagai penengah, seringkali justru ikut menyalakan api. Kita semua tahu, sejarah penuh dengan rekam jejak semacam itu. Afghanistan, Irak, Suriah, bahkan Libya—jejak tangan Washington jelas terlihat. Maka ketika serangan Israel di Doha terjadi, sulit menyingkirkan dugaan bahwa AS ikut merancang panggung ini. Terlalu mulus, terlalu tepat sasaran, terlalu pas waktunya.
Dan ada satu kejanggalan lain yang sulit dikesampingkan: di mana pertahanan udara Qatar? Bukankah Doha dipersenjatai dengan sistem anti-rudal canggih? Bukankah mereka belanja miliaran dolar hanya untuk memastikan langitnya tak mudah ditembus? Namun, ketika Israel meluncurkan serangan itu, seolah semua sistem pertahanan mendadak tumpul. Apakah radar Qatar tertidur? Atau, jangan-jangan ada sinyal tak kasat mata yang membuat mereka membiarkan serangan itu melintas? Pertanyaan ini menggantung, meninggalkan tanda tanya besar yang tak mungkin dijawab dengan pernyataan resmi belaka.
Qatar kini dihadapkan pada dilema. Jika mereka memilih merespons, risiko benturan langsung dengan Israel dan AS akan muncul. Tapi jika mereka diam, reputasi sebagai mediator independen akan terkoyak. Situasi ini mengingatkan pada respon Iran setelah pembunuhan Ismail Haniyah. Iran, dengan penuh kalkulasi, menunda serangan balasan untuk menunggu momentum yang tepat, lalu mengeksekusinya. Namun, apakah Doha akan mampu melakukan kalkulasi serupa? Atau justru memilih diam, menelan hinaan demi menjaga status quo?
Ada lapisan lain yang membuat cerita ini semakin pahit: jalur serangan Israel. Pesawat yang membawa rudal itu tak mungkin melayang sendirian tanpa melewati ruang udara negara lain. Dugaan mengarah pada beberapa negara Arab, termasuk Arab Saudi. Jadi, bagaimana mungkin mereka mengecam serangan itu dengan wajah penuh kemarahan, sementara di belakang layar justru menyediakan koridor udara? Ini seperti orang yang pura-pura kaget melihat rumah tetangganya terbakar, padahal diam-diam dia yang membuka pagar untuk sang pembakar.
Kita semua tahu, dalam politik Timur Tengah, kata “kecaman” seringkali hanya teater. Sebuah pernyataan yang dilontarkan demi menyelamatkan muka, bukan karena ada niat tulus untuk melawan. Maka, ketika Israel serang Doha dan beberapa negara Arab ikut kecam, sulit untuk tidak melihatnya sebagai sandiwara. Sebuah panggung besar di mana semua aktor memainkan peran masing-masing, sementara penonton—yaitu kita semua—dipaksa menelan cerita yang sudah diatur naskahnya.
Lalu, mari bicara soal negosiasi. Setiap kali Amerika dan Israel bicara tentang pentingnya dialog, jangan buru-buru percaya. Karena sejarah mengajarkan, negosiasi dalam kamus mereka bukanlah jalan untuk menemukan keadilan. Negosiasi hanyalah jeda, waktu untuk mengatur ulang strategi, mengulur waktu, dan pada akhirnya memukul lebih keras. Israel serang Doha di tengah pembicaraan yang melibatkan Hamas dan AS bukanlah kontradiksi, melainkan justru konsistensi. Konsistensi dalam menegaskan bahwa kekerasan adalah bahasa utama mereka.
Sebagian orang mungkin berkata: inilah realitas politik internasional. Dunia memang keras, jangan terlalu naif. Tapi saya kira, kalimat itu terlalu sering dipakai untuk menutupi kemunafikan. Kalau kita diam saja, kalau kita terus menormalisasi kekerasan semacam ini, maka wajar bila serangan seperti di Doha akan dianggap biasa. Dan inilah yang paling menakutkan: ketika tragedi berubah menjadi rutinitas, ketika darah hanya dipandang sebagai angka statistik.
Bayangkan analoginya sederhana. Seorang tetangga terus-menerus melempar batu ke rumah kita. Lalu datang orang lain, katanya ingin mendamaikan, tapi diam-diam ikut menyuplai batu. Begitu rumah kita hancur, mereka datang lagi, menawarkan perjanjian agar kita tidak marah. Bukankah itu absurd? Dan absurditas semacam inilah yang kini kita saksikan. Israel serang Doha dengan lampu hijau Amerika, negara-negara Arab pura-pura marah, sementara dunia diminta percaya bahwa semua masih bisa diselesaikan lewat diplomasi.
Saya rasa, pesan utama dari serangan ini jelas: Israel dan AS tidak mengenal istilah negosiasi sejati. Yang mereka kenal hanyalah senjata. Dan ketika mereka bicara soal dialog, itu artinya ada siasat tersembunyi di baliknya. Doha, yang selama ini berdiri sebagai panggung netral, kini menjadi simbol bahwa tidak ada ruang yang benar-benar aman dari konspirasi kekuasaan.
Pada akhirnya, serangan Israel di Doha bukan hanya serangan militer. Ia adalah serangan terhadap akal sehat kita, terhadap keyakinan bahwa diplomasi bisa berjalan jujur. Ia adalah pesan keras bahwa dalam dunia yang penuh tipu daya ini, perdamaian sejati hanya akan lahir jika ada keberanian menyingkap kemunafikan. Doha hanyalah satu bab, tapi bab ini cukup untuk mengingatkan kita: jangan pernah menaruh harapan penuh pada serigala yang memakai kulit domba. Karena pada akhirnya, giginya tetap sama tajamnya.
Sumber:
- https://www.rt.com/news/624292-trump-hamas-last-warning/
- https://www.timesofisrael.com/as-idf-targets-hamas-leadership-in-qatar-fm-says-israel-accepts-us-hostage-proposal/
- https://english.almayadeen.net/news/politics/global-outrage-over-israeli-strikes-on-doha-targeting-hamas
- https://english.almayadeen.net/news/politics/israeli-occupation-attacks-hamas-negotiators-in-qatar–bombs