Opini
Reshuffle Koma: Dua Kursi Menteri Masih Kosong

Di Istana Negara, prosesi pelantikan menteri biasanya tampil bak ritual penuh khidmat. Presiden berdiri tegak, para pejabat membacakan sumpah, musik mengiringi, kamera televisi membingkai. Namun, di balik kemegahan formal itu, ada celah yang sulit ditutupi. Kali ini, bukan siapa yang masuk atau siapa yang keluar yang paling menyita perhatian, melainkan siapa yang tak kunjung benar-benar duduk. Lima menteri diganti, empat kursi terisi, satu kementerian baru lahir, tetapi masih ada ruang kosong yang membuat publik mengernyit. Reshuffle yang semestinya memberi kepastian justru berhenti di tengah jalan. Reshuffle koma.
Istilah itu bukan lahir dari ruang redaksi atau mulut elite politik, melainkan dari seorang pengguna X. Sederhana, jenaka, sekaligus tajam. “Reshuffle koma”—sebuah ungkapan yang lebih kuat ketimbang pidato resmi, lebih melekat di ingatan ketimbang penjelasan teknis birokrasi. Dan memang begitulah kenyataannya: reshuffle ini terasa menggantung, bukan titik, melainkan koma yang memaksa publik menunggu lanjutan cerita.
Ambil contoh kursi Menko Polhukam. Pos yang dipegang Budi Gunawan kini resmi kosong setelah ia diberhentikan dengan hormat. Tetapi kosong hanya separuh kata. Sebab untuk sementara, kursi itu diisi oleh Sjafrie Sjamsoeddin, Menteri Pertahanan yang merangkap jabatan sebagai Menko Polhukam ad interim. Secara hukum, sah. Secara formal, ada wajah yang duduk. Tetapi secara politik, tetap terasa kosong. Karena kita semua tahu, ad interim hanya penjaga pintu, bukan pemilik rumah.
Apalagi, konteksnya bukan sepele. Menko Polhukam adalah pusat koordinasi keamanan negara, terlebih setelah kerusuhan dan demonstrasi yang sempat mengguncang. Justru di momen genting seperti ini, jabatan itu mestinya dipegang figur definitif dengan otoritas penuh, bukan sekadar status sementara. Menyerahkan jabatan strategis itu pada rangkap jabatan ibarat membiarkan sopir bus antar-kota juga merangkap kernet: jalan mungkin tetap, tapi risiko tumpang tindih tak bisa dihindari.
Lalu ada Menpora. Di sini absurditasnya lebih terasa. Katanya, calon penggantinya sedang berada di luar kota, sehingga tidak bisa hadir dalam pelantikan. Alasan yang nyaris menggelikan. Masa jabatan menteri seolah tunduk pada agenda pribadi, bukan agenda negara. Bayangkan jika logika serupa dipakai di sekolah: murid tak naik kelas karena wali kelasnya sedang pergi ke acara keluarga. Publik tentu paham bahwa alasan “di luar kota” hanyalah cara halus untuk menutup fakta lain yang lebih rumit—entah tarik-menarik politik, entah kebingungan memilih nama.
Dengan dua kursi yang belum definitif ini, wajah reshuffle terlihat compang-camping. Padahal reshuffle biasanya dipakai presiden untuk menunjukkan kendali, menegaskan arah baru, sekaligus memberi kesan kuat bahwa ia menguasai keadaan. Tetapi justru sebaliknya, publik menangkap ketidaksiapan. Empat kursi terisi, tetapi dua kursi menggantung. Yang terdengar lebih nyaring bukanlah nama-nama baru, melainkan kosongnya jabatan penting.
Mari kita baca tanda-tanda politiknya. Menko Polhukam adalah kursi panas. Di sana terjalin urusan keamanan, politik sipil, hingga dinamika antar-lembaga. Mungkin Prabowo masih berhitung, menunggu momen yang pas untuk meletakkan orang pilihannya. Bisa juga ia sedang merajut kompromi dengan partai-partai besar, termasuk PDIP yang posisinya ambigu: bukan oposisi, bukan koalisi, melainkan “penyeimbang”. Jika benar demikian, maka reshuffle koma ini bukan sekadar administrasi yang tertunda, melainkan hasil negosiasi yang belum rampung.
Tetapi, coba lihat dari mata rakyat biasa. Dari sudut pandang warga yang menyalakan televisi sore hari atau membaca berita daring di gawai, yang tampak bukanlah strategi besar, melainkan kebingungan. Bagaimana mungkin sebuah negara sebesar Indonesia membiarkan kursi penting dibiarkan “sementara”? Kita semua tahu, dalam keseharian saja, kursi sopir ojek daring tak bisa kosong lebih dari lima menit karena pelanggan sudah menunggu. Mengapa kursi koordinasi keamanan nasional justru dibiarkan berstatus ad interim?
Sementara itu, lahirnya Kementerian Haji dan Umrah menjadi bab lain dari drama ini. Secara rasional, fungsi itu bisa tetap berada di bawah Kementerian Agama. Tetapi politik jarang tunduk pada logika efisiensi. Ia tunduk pada logika distribusi: kursi baru berarti ruang baru untuk menempatkan orang dekat. Maka kehadiran Mochamad Irfan Yusuf dan Dahnil Anzar Simanjuntak di pos ini terasa lebih sebagai hadiah politik ketimbang solusi birokrasi.
Saya rasa, publik tidak lagi mudah diyakinkan dengan penjelasan normatif. Kata “evaluasi” atau “pertimbangan matang” sudah terlalu sering dipakai sebagai tameng. Begitu juga dengan istilah “ad interim”, yang terdengar teknis tetapi sejatinya hanya cara halus untuk mengatakan: kita belum siap. Dan ketika ketidaksiapan ini dipertontonkan di panggung reshuffle, kesan yang tertinggal justru rapuhnya konsolidasi di awal pemerintahan.
Boleh saja ada tafsir optimis: mungkin presiden sedang berhati-hati, menimbang lebih lama agar tidak salah pilih. Tetapi kehati-hatian yang terlalu panjang bisa terbaca sebagai kegamangan. Publik tidak menilai niat, publik menilai hasil. Dan hasil sementara dari reshuffle ini adalah koma, bukan titik.
Ironinya, istilah reshuffle koma yang lahir dari X justru lebih kuat menjelaskan situasi dibanding penjelasan resmi Mensesneg. Ungkapan spontan dari media sosial mampu menangkap absurditas yang dirasakan rakyat. Di sinilah letak ironi politik kita: birokrasi panjang dengan seribu alasan kalah oleh satu kalimat pendek di dunia maya.
Pada akhirnya, reshuffle koma ini adalah cermin. Cermin dari tarik-menarik kekuasaan, dari kompromi yang belum selesai, dari kerentanan yang muncul di awal periode pemerintahan. Pertanyaannya sederhana: sampai kapan koma ini dibiarkan? Karena negara ini terlalu besar untuk dipimpin dengan koma. Ia butuh titik—tegas, jelas, dan definitif. Tanpa titik itu, kita hanya akan terus berputar dalam spekulasi, menunggu kapan presiden berani menutup kalimat politiknya dengan kepastian.
Sumber:
- https://www.metrotvnews.com/read/b1oCVJj1-bg-di-reshuffle-jabatan-menko-polkam-diisi-sjafrie-sjamsoeddin-sebagai-ad-interim
- https://www.cnbcindonesia.com/news/20250908165429-4-665105/reshuffle-kabinet-ini-alasan-2-menteri-kosong-belum-diganti-prabowo
- https://news.detik.com/berita/d-8102600/alasan-di-balik-2-kursi-menteri-masih-kosong-usai-reshuffle-kabinet?page=2