Connect with us

Opini

Demokrasi Inggris Retak, Solidaritas Palestina Dikriminalkan

Published

on

Di jalanan London, pada akhir pekan yang dingin, hampir seribu orang digiring polisi. Bukan karena melempar bom molotov, bukan karena menyerang warga sipil, bukan pula karena melakukan kekerasan massal. Mereka ditangkap hanya karena berdiri, mengangkat poster, dan menyuarakan satu hal sederhana: hentikan genosida di Gaza, bebaskan Palestina. Ironi itu begitu kentara, sampai-sampai rasanya kita sedang menonton drama politik yang menertawakan akal sehat.

857 orang dituduh melanggar Terrorism Act 2000. Hukum yang katanya dibuat untuk menghadapi ancaman besar terhadap keamanan nasional kini dipakai untuk menghukum warga yang sekadar menunjukkan empati. Bayangkan, seorang ibu paruh baya yang memegang spanduk bertuliskan “I oppose genocide. I support Palestine Action” diperlakukan setara dengan pelaku teror. Absurd? Sangat. Tapi begitulah wajah demokrasi Inggris hari ini: menampilkan diri sebagai penjaga kebebasan global, namun sekaligus memenjarakan rakyatnya sendiri karena keberpihakan moral.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Pemerintah berdalih bahwa organisasi Palestine Action memang sudah resmi dilarang sejak Juli lalu. Mantan Menteri Dalam Negeri Yvette Cooper menuduh kelompok itu melakukan aksi intimidasi terhadap institusi publik dan swasta. Tetapi, mari kita jujur: sejak kapan aksi protes damai—bahkan jika dianggap mengganggu kenyamanan segelintir elite—setara dengan terorisme? Di sini terlihat jelas bahwa pelabelan teror bukan soal keamanan, melainkan strategi politik. Dengan sekali cap “teroris,” seluruh ekspresi solidaritas bisa diberangus tanpa perlu debat moral.

Polisi mengklaim mereka menghadapi kekerasan “intolerable.” Tetapi faktanya, hanya 33 orang yang ditangkap di luar tuduhan terorisme, dan dari jumlah itu hanya 17 yang disebut menyerang petugas. Dari 1.500 peserta, berarti mayoritas besar justru damai. Lalu, mengapa seluruh gerakan dipukul rata sebagai ancaman? Jawabannya sederhana: pemerintah ingin membungkam suara sebelum suara itu tumbuh lebih besar. Mereka lebih takut pada gema moral yang menular daripada pada ancaman nyata.

Saya rasa kita semua tahu, kriminalisasi ini bukanlah insiden terpisah. Ia adalah bagian dari pola global di mana isu Palestina selalu ditempatkan dalam kerangka “keamanan” untuk menutupi fakta sebenarnya: ada penindasan sistematis yang berlangsung di Gaza. Ketika rudal jatuh dan menewaskan anak-anak, pemerintah Barat bisa bersembunyi di balik narasi “hak membela diri.” Tetapi ketika warga di jantung London bersuara menolak genosida, mereka tiba-tiba menjadi kriminal. Ini bukan hanya standar ganda; ini penghinaan terhadap nalar kemanusiaan.

Lebih ironis lagi, Inggris kerap mengkritik negara-negara lain karena represi politik. Mereka menunjuk jari ke Asia, Afrika, Timur Tengah, sambil berkata, “Belajarlah demokrasi dari kami.” Tetapi lihatlah sekarang: demokrasi itu sendiri dikebiri di hadapan gedung parlemen mereka. Rakyat ditangkap bukan karena bom, melainkan karena kata. Seakan kata “Palestina” lebih berbahaya daripada senjata nuklir.

Organisasi HAM internasional dan bahkan PBB sudah memberi peringatan. Pelarangan Palestine Action dianggap ancaman serius bagi kebebasan sipil. Namun kritik itu tak digubris. Mengapa? Karena kepentingan geopolitik lebih penting daripada citra demokrasi. Inggris adalah sekutu dekat Amerika Serikat, dan keduanya berdiri tegak mendukung zionis. Dalam konteks itu, suara rakyat yang pro-Palestina dianggap gangguan. Jadi, bukan kebetulan jika hukum antiteror dipakai untuk meredam protes: ini adalah cara “halus” menjaga kesetiaan pada aliansi internasional.

Saya teringat pada satu analogi sederhana. Ini seperti pasar malam di kampung. Ada pedagang yang menjual balon. Seorang anak kecil berkata, “Balon ini bocor.” Daripada memperbaiki, pedagang justru marah, menuduh anak itu merusak dagangan, lalu mengusirnya. Begitulah Inggris memperlakukan rakyatnya: alih-alih mendengarkan kritik, mereka mengusir suara dengan ancaman penjara. Padahal, suara itu hanya mengatakan yang paling sederhana: ada yang salah di Gaza, ada genosida yang sedang berlangsung.

Kita di Indonesia pun bisa merasakan getaran absurditas ini. Bayangkan jika suatu hari, spanduk yang kita bawa di depan gedung DPR bertuliskan “Hentikan perang” dianggap dukungan terhadap terorisme. Bukankah itu menyalahi logika paling dasar dari demokrasi? Tetapi itulah yang kini nyata terjadi di jantung Eropa. Apa yang dulu kita kira mustahil, rupanya bukan sekadar mungkin, melainkan sudah berlangsung.

Yang lebih menyedihkan, kriminalisasi ini sesungguhnya adalah kriminalisasi empati. Warga ditangkap bukan karena tindakan kekerasan, tetapi karena menolak kekerasan. Ini semacam dunia terbalik, di mana nilai moral dianggap subversif. Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru berubah menjadi predator, memburu rakyatnya yang bersuara nurani. Dan nurani, kita tahu, tidak bisa dipenjara.

Namun, ada konsekuensi yang sering dilupakan oleh penguasa: represi bisa berbalik arah. Setiap orang yang ditangkap bisa menjadi simbol. Setiap poster yang disita bisa menumbuhkan seribu poster baru. Kita belajar dari sejarah, dari perlawanan rakyat Afrika Selatan terhadap apartheid hingga gerakan sipil di Amerika. Represi hanya memperkuat keyakinan bahwa perlawanan itu benar. Saya kira hal serupa akan terjadi di Inggris: kriminalisasi ini justru bisa memperluas simpati terhadap gerakan solidaritas Palestina.

Dan pada akhirnya, demokrasi Inggris lah yang sedang dipertaruhkan. Bukan Palestina saja yang jadi korban, melainkan juga rakyat Inggris sendiri. Mereka melihat bahwa hukum bisa dijadikan senjata politik, bahwa kebebasan bisa dicabut kapan saja, dan bahwa negara tak segan memperlakukan warganya sendiri sebagai musuh ketika mereka menentang kebijakan luar negeri. Itu pelajaran pahit, tapi nyata. Demokrasi, yang selama ini mereka banggakan, ternyata bisa runtuh hanya karena kata “solidaritas.”

Kita semua tahu, solidaritas bukan kejahatan. Ia adalah bagian dari kemanusiaan. Mengkriminalisasi solidaritas sama saja dengan mengkriminalisasi hati nurani. Dan nurani, betapapun ditekan, selalu mencari jalan untuk berbicara. Itulah yang mungkin kini dilupakan pemerintah Inggris: bahwa represi bukan akhir, melainkan awal dari kebangkitan suara yang lebih lantang.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer