Connect with us

Opini

Sanksi Bukan Damai, Tapi Perang Diam-Diam

Published

on

Di sebuah ruang keluarga sederhana, seorang ibu mencoba menenangkan anaknya yang demam tinggi. Obat penurun panas tidak ada, karena apotek di kotanya sudah lama kosong. Sanksi ekonomi yang dijatuhkan negara-negara kuat telah memutus jalur impor obat. Sang ibu hanya bisa membasuh kening anaknya dengan kain basah, berharap demam turun dengan doa dan air mata. Tidak ada ledakan bom, tidak ada dentuman meriam, tetapi kematian tetap hadir dengan cara yang lebih sunyi. Inilah wajah lain dari perang, perang yang tidak terdengar, namun jauh lebih licik: sanksi.

Laporan terbaru dari The Lancet Global Health memberi kita gambaran yang tak bisa diabaikan. Hampir 29 juta kematian berlebih dalam kurun lima dekade, atau sekitar setengah juta per tahun, akibat sanksi yang katanya demi “menekan rezim jahat”. Ironi paling pahit: separuh korban adalah anak-anak di bawah lima tahun, mereka yang bahkan belum sempat mengucapkan satu kalimat pun tentang politik. Bagaimana mungkin ini masih disebut sebagai langkah damai?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Kita sering mendengar jargon Barat bahwa sanksi adalah alternatif diplomasi, jalan tengah yang lebih manusiawi ketimbang perang. Tapi angka kematian jutaan manusia menunjukkan bahwa sanksi bukanlah obat penawar konflik, melainkan racun yang bekerja perlahan, masuk ke perut yang lapar, merusak tubuh yang kekurangan gizi, dan merenggut nyawa dari orang-orang yang tak tahu menahu soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan. Saya rasa, ini adalah bentuk collective punishment paling telanjang di zaman modern.

Ada yang bilang, sanksi hanya menargetkan elit penguasa, bukan rakyat kecil. Narasi indah yang gampang sekali dijual di panggung politik internasional. Padahal kenyataannya, elit selalu punya jalan untuk bertahan: rekening luar negeri, jaringan gelap, jalur barter. Justru rakyat jelata yang terjepit. Bayangkan saja, harga bahan pokok melonjak, obat tidak tersedia, lapangan kerja hilang, dan akses pangan semakin sulit. Dalam bahasa sehari-hari: hidup sudah berat, masih ditambah beban yang bukan ulah kita.

Kita tahu, di dunia yang dikuasai dolar, sanksi bukan hanya larangan dagang biasa. Dominasi mata uang global membuat AS dan sekutunya bisa menekan siapa saja dengan cara memutus akses transaksi internasional. Satu keputusan sepihak di Washington atau Brussel bisa melumpuhkan ekonomi satu negara. Ini bukan sekadar kebijakan finansial, tapi senjata geopolitik yang daya rusaknya lebih dalam dari peluru. Kalau bom bisa menghancurkan gedung dalam sekejap, sanksi menghancurkan generasi dalam perlahan.

Mari kita bicara dengan bahasa yang lebih membumi. Bayangkan Anda sedang berjualan di pasar, tiba-tiba seseorang yang punya kekuasaan memutuskan: Anda tidak boleh lagi membeli beras dari pemasok utama, tidak boleh lagi mengakses bank, tidak boleh lagi menjual dagangan Anda ke luar daerah. Hasilnya? Anda bangkrut, keluarga kelaparan, anak sakit tak bisa berobat. Apakah ini bukan bentuk kekerasan? Bedanya hanya satu: yang satu dilakukan dengan senjata, yang satu lagi dengan pena birokrat di negeri jauh.

Sebagian orang mungkin berargumen: sanksi perlu untuk menekan negara yang melanggar hukum internasional. Tapi mari kita jujur: sanksi jarang dijatuhkan karena alasan moral semata. Lebih sering ia dipakai sebagai instrumen untuk menjaga dominasi politik dan ekonomi negara-negara kuat. Irak dulu pernah menjadi contoh: sebelum perang 2003, sanksi PBB yang ditekan Amerika sudah menghancurkan sistem kesehatan dan membuat ratusan ribu anak meninggal. Atas nama apa semua itu? Stabilitas? Demokrasi? Saya kira jawabannya lebih dekat pada: kepentingan minyak dan kuasa.

Dan lihatlah hari ini. Rusia, Iran, Venezuela —daftarnya panjang. Semua dikenai sanksi berlapis. Apakah rezim mereka tumbang? Tidak. Yang tumbang justru kualitas hidup rakyatnya. Sanksi tidak mencabut kursi kekuasaan, tapi mencabut nyawa orang biasa. Kalau begitu, apa bedanya dengan kejahatan kemanusiaan? Hukum internasional boleh saja ragu memberi label, tapi nurani manusia tidak butuh Statuta Roma untuk tahu bahwa ini salah.

Saya kadang heran dengan standar ganda yang begitu kentara. Jika sebuah bom jatuh dan menewaskan seribu orang, dunia akan ramai menyebutnya tragedi. Tapi jika seribu anak mati karena kelaparan akibat sanksi, itu dianggap konsekuensi wajar dari kebijakan internasional. Seolah penderitaan yang datang perlahan boleh dianggap lebih ringan. Padahal, apakah kematian karena kelaparan lebih mulia daripada kematian karena bom?

Di Indonesia, kita mungkin merasa jauh dari lingkaran sanksi. Tapi jangan lupa, ekonomi global itu saling terhubung. Krisis pangan, inflasi, kelangkaan energi—semua bisa sampai ke dapur rumah kita. Sanksi di satu belahan dunia berarti harga beras bisa naik di pasar kampung kita. Artinya, ini bukan sekadar isu luar negeri. Ini soal kemanusiaan yang merembes sampai meja makan kita.

Mungkin ada yang bertanya: jadi apa solusinya? Apakah dunia harus membiarkan rezim otoriter berbuat semaunya tanpa tekanan? Tidak. Kritik, diplomasi, bahkan isolasi politik bisa dilakukan. Tapi menjadikan pangan, obat, dan kebutuhan hidup dasar sebagai senjata? Itu sama saja dengan membunuh dengan tangan yang bersarung putih. Kalau dunia masih waras, kita seharusnya bisa mencari cara lain untuk menekan penguasa tanpa menjadikan rakyat sebagai tumbal.

Kita sering bangga menyebut diri sebagai bangsa yang menjunjung kemanusiaan. Kalau begitu, mari kita tegaskan sikap: sanksi sepihak yang melumpuhkan rakyat adalah kejahatan. Sama saja dengan perang, hanya bedanya lebih sepi dan lebih licik. Dan kita, sebagai bagian dari masyarakat global, tidak boleh tinggal diam. Setidaknya, suara ini harus terus digemakan: jangan lagi ada anak yang mati kelaparan hanya karena negara besar ingin menunjukkan siapa yang paling berkuasa.

Saya rasa, sejarah kelak akan menulis sanksi ekonomi sepihak sebagai noda yang tak kalah hitam dibanding perang. Dan pada hari itu, mereka yang sekarang merasa diri paling bermoral akan sadar, bahwa di balik jargon “diplomasi damai”, mereka telah menandatangani jutaan sertifikat kematian. Sanksi bukanlah jalan damai. Ia adalah perang diam-diam, perang yang tak terdengar dentumannya, tapi meninggalkan kuburan yang lebih luas dari medan tempur mana pun.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer