Opini
Bandara Ramon Dihantam, Mitos Keamanan Israel Runtuh

Bayangkan sejenak, sebuah bandara yang selama ini diklaim sebagai wajah modernitas dan keterhubungan global tiba-tiba terguncang oleh dentuman drone sederhana buatan negeri yang miskin dan terkepung. Ramon Airport, yang berdiri megah di gurun selatan, luluh lantak citranya dalam sekejap mata. Bukan karena rudal supercanggih Rusia atau senjata hipersonik Tiongkok, melainkan serangan drone Yaman—sebuah negeri yang bahkan listriknya tak selalu menyala 24 jam penuh. Ironi ini menampar wajah Israel lebih keras daripada ledakan itu sendiri.
Saya rasa, yang membuat Israel kalang kabut bukanlah sekadar kerusakan terminal atau dua orang yang terluka. Luka yang lebih dalam adalah psikologis: bagaimana mungkin negara yang selama ini berkoar sebagai benteng pertahanan paling maju di dunia bisa kecolongan dari drone yang terbang ribuan kilometer, menembus lapisan radar, lalu mendarat tepat di jantung bandara? Pertanyaan ini bukan hanya menggelisahkan para jenderal, tetapi juga mengguncang rasa aman setiap warga yang duduk di kursi tunggu pesawat dengan harapan bisa terbang pulang.
Kita semua tahu, bandara bukan hanya tempat keberangkatan dan kedatangan. Ia simbol keterhubungan, jendela keluar masuk dunia. Maka ketika bandara diserang, yang hancur bukan sekadar dinding kaca, melainkan citra sebuah negeri. Bayangkan jika maskapai internasional kembali ragu mendarat di sana, seperti yang pernah terjadi pasca-serangan tahun lalu di Ben Gurion. Harga tiket melonjak, penerbangan dibatalkan, dan para pemukim mendadak sadar bahwa “tanah yang dijanjikan” ini ternyata lebih mirip pulau terisolasi.
Ada satu hal yang sering dilupakan orang ketika membicarakan perang modern: reputasi bisa lebih rapuh daripada beton. Israel boleh saja membangun Iron Dome, David’s Sling, atau Arrow System. Semua dengan nama-nama yang gagah. Namun apa gunanya teknologi bernilai miliaran dolar jika sebuah drone dari Yaman, negeri yang disebut media Barat sebagai “termiskin di Jazirah Arab,” bisa melesat mulus hingga menghantam Ramon Airport? Ibarat kunci pintu rumah yang mahal, tapi malingnya masuk lewat jendela dapur yang lupa ditutup.
Dan jangan lupa, serangan ini bukan berdiri sendiri. Brigadir Jenderal Yahya Saree dengan tenang mengumumkan bahwa bukan hanya Ramon yang jadi target. Askalan, Asdod, Yaffa, bahkan Lydd Airport ikut masuk daftar. Beberapa mungkin dicegat, tapi satu yang lolos saja sudah cukup untuk merusak narasi “Israel tak terkalahkan.” Perlawanan Yaman ini bukan sekadar solidaritas simbolik untuk Gaza, melainkan bukti nyata bahwa peta perlawanan kini membentang lebih luas dari yang pernah dibayangkan Tel Aviv.
Ironisnya, setiap kali serangan semacam ini terjadi, reaksi Israel selalu sama: membentuk tim investigasi, menyalahkan sistem radar, lalu berjanji memperbaiki. Tapi janji itu terdengar basi. Persis seperti lampu merah di jalan Jakarta yang sering padam lalu petugas berdalih “sedang diperbaiki.” Kita tahu, masalahnya bukan sekadar teknis. Ada krisis kepercayaan di baliknya. Para pemukim yang hendak terbang ke Eropa atau Amerika kini bertanya-tanya, apakah tiket mereka juga membeli rasa takut?
Bagi saya, yang paling menohok dari laporan Maariv adalah kekhawatiran akan efek simbolik di mata internasional. Media global bisa saja keliru melaporkan bahwa Ben Gurion yang diserang, dan sekali kabar itu menyebar, dampaknya lebih besar daripada ledakan fisik. Dunia bisnis bergerak berdasarkan persepsi, bukan fakta teknis radar. Maka, apakah Tel Aviv sadar bahwa musuhnya sedang memainkan orkestra psikologis yang lebih cerdas daripada parade senjata?
Dan lihatlah efek ekonominya. Setiap maskapai asing yang hengkang dari pasar Israel berarti berkurangnya kompetisi, dan berkurangnya kompetisi berarti tiket mahal. Sederhana saja logikanya. Bagi kita yang terbiasa merasakan drama harga tiket Lebaran, mudah membayangkan keresahan para pemukim yang mendadak harus membayar lebih untuk sekadar pulang kampung. Bedanya, mereka bukan sedang bersaing dengan jutaan pemudik, melainkan dengan ketakutan akan drone dari Yaman. Dalam bahasa sederhana: harga tiket naik bukan karena musim liburan, melainkan karena musim perang.
Jika saya boleh jujur, ada kepuasan getir membaca laporan ini. Bukan karena menyukai penderitaan orang lain, melainkan karena melihat sebuah rezim yang selama puluhan tahun menindas akhirnya mulai merasakan rapuhnya keamanan. Seperti kata pepatah Jawa, “sopo nandur bakal ngunduh.” Apa yang mereka tabur di Gaza kini mulai mereka panen di Eilat. Perlawanan datang dari utara, selatan, bahkan dari negeri yang selama ini dianggap tak punya daya.
Banyak orang masih meremehkan kemampuan militer Yaman. Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, mereka membuktikan bahwa blokade dan bombardir tak membuat mereka lumpuh, justru mendorong kreativitas militer. Drone yang mereka gunakan bukan sekadar mainan terbang, melainkan hasil rekayasa teknologi yang dikembangkan dalam kondisi penuh keterbatasan. Di sinilah letak ironi itu: Israel dengan segala bantuan miliaran dolar dari Barat justru dipermalukan oleh senjata murah yang lahir dari tekad bertahan hidup.
Serangan ini juga mengirim pesan yang lebih dalam ke kawasan: bahwa solidaritas bukan slogan kosong. Yaman, yang jauhnya ribuan kilometer dari Gaza, menegaskan diri sebagai bagian dari front perlawanan. Mereka bisa saja beralasan “urusan Palestina bukan urusan kami,” tapi justru sebaliknya: mereka menempatkan diri di garis depan, menanggung risiko serangan balasan, demi sebuah prinsip. Sementara sebagian negara Arab sibuk menjalin normalisasi dengan Tel Aviv, Yaman memilih jalan yang berseberangan. Kontras ini makin menelanjangi siapa yang sungguh peduli pada penderitaan Palestina dan siapa yang sekadar berbisnis.
Dari sudut pandang psikologis, dampaknya tak kalah besar. Setiap ledakan di bandara, setiap berita tentang drone yang menembus pertahanan, menambah rasa waswas warga Israel. Rasa waswas itu menular, merembes ke investor, wisatawan, hingga pejabat asing. Mereka akan bertanya: apakah Israel masih destinasi yang aman? Pertanyaan itu saja sudah menjadi kemenangan bagi lawan, karena perang modern sebagian besar adalah perang persepsi.
Di Indonesia, kita bisa menarik pelajaran penting. Jangan pernah terlena dengan klaim teknologi dan perlengkapan modern jika fondasi moral dan politik rapuh. Israel adalah contoh nyata: semua senjata canggih tak bisa menutupi kenyataan bahwa mereka berdiri di atas ketidakadilan. Kita mungkin tak sedang berperang, tapi logika ini berlaku dalam banyak hal: keamanan, pembangunan, bahkan demokrasi. Sebuah sistem hanya akan sekuat fondasi etikanya.
Akhirnya, Ramon Airport menjadi simbol runtuhnya mitos keamanan Israel. Ia bukan sekadar bandara di gurun selatan, melainkan cermin yang memantulkan kelemahan mendasar sebuah proyek kolonial. Drone Yaman yang melesat jauh itu bukan hanya menghantam terminal, tetapi juga menghantam kepercayaan, mitos, dan arogansi. Dan di situlah letak kekuatan sejatinya: membuat dunia melihat bahwa rezim yang membangun dirinya di atas penindasan selalu menyisakan celah, sekecil apa pun, yang suatu hari bisa menjadi pintu masuk bagi perlawanan.
Sumber: