Connect with us

Opini

Paris Dukung Palestina, Tapi Jual Senjata Israel

Published

on

Di jalanan Paris, spanduk-spanduk bertuliskan “Solidarité avec la Palestine” kerap berkibar. Suara lantang ribuan demonstran menggema, mengutuk kebiadaban yang menimpa Gaza. Dari jauh, Paris tampak seperti kota yang penuh kepedulian: rakyatnya berteriak, politisinya mengeluarkan pernyataan, presidennya—Emmanuel Macron—bahkan tak jarang mengaku “mendukung rakyat Palestina.” Namun, bila kita mengupas lebih dalam, kenyataan yang tersingkap sungguh getir: penjualan senjata Prancis ke Israel tidak pernah berhenti. Kata-kata indah di podium internasional lenyap saat berhadapan dengan transaksi miliaran euro yang mengalir deras dari Paris ke Tel Aviv.

Kita sering diajarkan untuk menilai orang dari perbuatannya, bukan ucapannya. Maka mari kita terapkan hal sederhana itu pada Prancis. Dukungan Prancis terhadap Palestina hanya simbolis, sebuah selimut moral untuk menenangkan rakyatnya sendiri yang banyak simpati pada Palestina. Tetapi pada saat bersamaan, industri senjata tetap bekerja, kontrak tetap diteken, dan mesin-mesin perang terus berputar. Ironi politik luar negeri Prancis di Gaza terpampang jelas: satu sisi menampilkan wajah humanis, sisi lain memperkaya diri dengan darah dan penderitaan rakyat sipil.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Dalam laporan yang beredar, penjualan senjata Prancis ke Israel mencakup komponen penting bagi jet tempur dan teknologi militer. Ini berarti, ketika sebuah pesawat tempur menjatuhkan bom di Gaza, ada kemungkinan besar bagian dari teknologi itu buatan Paris. Apakah Macron tidak tahu? Tentu ia tahu. Justru karena tahu, maka hipokrisi politik Prancis dalam konflik Palestina terasa semakin menusuk. Kita bukan sedang bicara kebetulan teknis, melainkan kebijakan terstruktur yang dirancang agar industri senjata Prancis tetap jadi raksasa global.

Saya rasa banyak dari kita di Indonesia bisa memahami logika ini. Bukankah sering kita melihat pejabat yang bicara tentang “rakyat kecil,” tetapi diam-diam meneken kontrak yang merugikan rakyat itu sendiri? Bedanya, di Prancis skala kebohongan itu global. Macron bisa berdiri di podium Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bicara soal “perlindungan warga sipil,” tetapi di saat yang sama memastikan senjata Prancis tetap sampai di gudang militer Israel. Kontradiksi Prancis antara retorika dan aksi nyata ini bukan sekadar catatan kecil, melainkan bukti bahwa kepentingan ekonomi selalu lebih diutamakan ketimbang moralitas.

Kebijakan Emmanuel Macron soal Palestina dan Israel jelas penuh kalkulasi. Macron tahu betul, mayoritas rakyat Prancis memiliki empati terhadap penderitaan Palestina. Ia juga tahu, citra internasional Prancis akan tercoreng bila terlalu terang-terangan mendukung Israel seperti Amerika Serikat. Karena itu ia memilih strategi dua wajah: satu untuk publik, satu untuk lobi industri. Dan jangan salah, industri senjata bukan sektor kecil. Ini adalah pilar ekonomi Prancis, penyumbang devisa, sekaligus alat diplomasi. Jika Amerika dikenal dengan dolar dan Hollywood, maka Prancis punya senjata dan citra “humanisme” yang ternyata hanya topeng.

Lantas bagaimana dengan rakyat Prancis sendiri? Mereka tidak sepenuhnya buta. Demonstrasi demi demonstrasi menunjukkan bahwa publik sadar akan kepalsuan kebijakan negaranya. Ribuan orang turun ke jalan, membawa bendera Palestina, menuntut agar pemerintah berhenti menjual senjata ke Israel. Namun suara rakyat kerap kalah oleh suara uang. Inilah realitas yang membuat dukungan Prancis terhadap Palestina hanya simbolis. Ia ibarat drama yang dimainkan di atas panggung besar, sementara di balik tirai, skenario aslinya ditulis oleh para pengusaha senjata dan politisi yang rakus keuntungan.

Peran Prancis dalam genosida rakyat Gaza memang sering terlupakan, karena bayangan Amerika terlalu dominan. Tetapi justru di situlah bahayanya. AS mungkin berperan sebagai algojo yang terang-terangan, sementara Prancis berperan sebagai pemasok senjata yang tampak lebih sopan. Namun apakah luka korban berbeda? Tidak. Dampak senjata Prancis terhadap warga sipil Gaza sama mematikannya dengan bom-bom buatan AS. Bedanya, Paris bisa tetap menari dengan wajah moralitas, seolah ia sekadar penonton yang prihatin, padahal diam-diam menjual tiket masuk ke panggung pembantaian.

Saya teringat pada ungkapan orang Jawa: “lamis luwih landhep tinimbang keris.” Senyum diplomasi bisa lebih berbahaya daripada sebilah senjata tajam. Macron adalah representasi sempurna dari ungkapan itu. Ia tersenyum, berbicara lembut tentang perdamaian, tapi di tangannya tersimpan pena yang menandatangani kontrak senjata. Kita sering kali lebih waspada terhadap musuh yang kasar, tetapi justru lengah pada kawan yang bermuka manis. Itulah bahaya Paris hari ini: ia berpura-pura menjadi kawan Palestina, padahal sejatinya kawan dekat Israel.

Jika kita tarik ke konteks Indonesia, absurditas ini terasa akrab. Kita juga sering melihat pemimpin yang bicara soal “keadilan sosial,” tapi membiarkan rakyatnya tercekik oleh kebijakan ekonomi yang menguntungkan segelintir orang. Bedanya, dalam kasus Prancis, harga yang dibayar bukan sekadar kemiskinan, melainkan nyawa ribuan orang di Gaza. Anak-anak, perempuan, warga sipil tak bersalah—mereka semua menjadi korban dari senjata yang mungkin diujicoba atau dirakit sebagian komponennya di pabrik-pabrik Prancis.

Apakah Prancis tidak sadar reputasinya rusak? Macron tentu sadar. Tapi dalam dunia politik internasional, reputasi bisa dinegosiasikan, selama uang mengalir. Lagi pula, siapa yang benar-benar akan menghukum Prancis? Uni Eropa? Mereka juga terikat industri senjata. Amerika? Mereka bahkan lebih buruk. Jadi, Macron bisa melanjutkan sandiwaranya tanpa rasa takut. Ia tahu, dunia akan tetap melupakan, media akan tetap menulis ulang narasi, dan pada akhirnya, kepentingan ekonomi selalu menang.

Namun sejarah punya cara mengadili. Setiap kali Prancis berbicara tentang “hak asasi manusia,” publik bisa mengingat ironi politik luar negeri Prancis di Gaza. Setiap kali Macron bicara tentang “kemanusiaan,” kita bisa bertanya: apakah kemanusiaan yang ia maksud termasuk mereka yang terbunuh oleh senjata Prancis? Pertanyaan-pertanyaan ini lambat laun akan merusak citra Paris. Sebab tak ada kebohongan yang bisa bertahan selamanya, terlebih jika kebohongan itu ditulis dengan darah.

Pada akhirnya, Paris harus memilih. Ia tak bisa selamanya bermain di dua kaki. Dunia semakin sadar, rakyat semakin berani bersuara, dan fakta semakin sulit disembunyikan. Saya rasa, saat darah Gaza terus mengalir, Macron boleh terus bicara di podium, tetapi sejarah akan menulisnya dengan tinta yang berbeda: bukan sebagai pembela Palestina, melainkan sebagai penjual senjata yang memperpanjang derita. Paris jual senjata Israel demi keuntungan ekonomi, dan itulah kenyataan yang tak bisa dipoles dengan kata-kata indah.

Dan di titik inilah, kita semua perlu bertanya: apa arti dukungan jika hanya sebatas kata? Apa gunanya retorika tanpa tindakan nyata? Untuk Gaza, kata-kata kosong itu tak lebih dari bayang-bayang. Yang mereka hadapi adalah bom, peluru, dan reruntuhan rumah. Dan di antara debu itu, ada jejak Paris yang berkilau dingin—kilau dari besi baja yang dibentuk bukan untuk melindungi, melainkan untuk membunuh.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer