Analisis
Suriah di Ambang Revolusi 2.0?

Ada sesuatu yang absurd namun tragis saat kita melihat Suriah hari ini. Bayangkan sebuah negara yang telah melewati perang bertahun-tahun, yang seharusnya menjadi pelajaran bagi dunia tentang kehancuran total dan trauma kolektif, namun tetap berdiri rapuh di atas fondasi yang nyaris runtuh. Di Sweida, tanah Druze yang biasanya tenang, api sektarian menari liar; rumah-rumah terbakar, ratusan nyawa hilang, dan ribuan luka menganga. Sementara itu, di meja-meja diplomatik jauh dari garis api, seseorang dengan jas rapi dan senyum penuh percaya diri—Tom Barrack—mengira dunia ini bisa diatur seperti kontrak bisnis. Saya rasa kita semua tahu: politik Suriah bukan transaksi real estat.
Hanan Geffen, mantan komandan intelijen militer Israel, bukan orang sembarangan. Kata-katanya tajam, penuh peringatan. Ia menegaskan bahwa Barrack tidak memahami kompleksitas realitas di Syria. Memang, bagaimana mungkin seorang teman Trump, seorang pebisnis dengan jaringan luas di Manhattan, bisa memahami jaringan persekutuan dan permusuhan antarfaksi Druze, Alawi, atau Kurdi di Syria? Kita bicara tentang kekerasan yang sudah berlapis-lapis, bukan sekadar negosiasi kontrak atau tawar-menawar saham. Ironinya, diplomat yang seharusnya menjadi mata dan telinga negara, malah menjadi telinga yang tuli, mata yang buta.
Sweida bukan sekadar titik di peta. Ia adalah simbol rapuhnya perdamaian di wilayah minoritas. Ratusan tewas dalam bentrokan antara Druze dan kelompok Badui pada Juli lalu. Lebih dari 200 cedera. Rumah-rumah hangus, al-Tira menjadi abu. Lebih dari 1.000 orang tewas dalam eksekusi dan kekerasan sektarian sejak awal kerusuhan. Bayangkan saja: setiap rumah yang terbakar itu adalah cerita, trauma, keluarga yang tercerai-berai, generasi yang melihat kekerasan sebagai norma hidup. Dan sementara itu, Barrack menegaskan dukungan pada rezim Ahmad al-Sharaa, mempromosikan pelonggaran sanksi, seperti mengira masalah ini bisa diselesaikan dengan stempel diplomatik atau konferensi internasional.
Yang lebih tragis adalah bagaimana Geffen menggambarkan rapuhnya sistem Suriah yang baru. Ekonomi tergantung Qatar menutup gaji, sementara di permukaan semua tampak “diplomatik”: senyuman, konferensi, kata-kata manis. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menyindir: ini seperti menutupi rumah yang ambruk dengan kain sutra; indah di mata, tetapi rapuh dan berbahaya bagi yang tinggal di dalamnya. Dan yang lebih menyedihkan, sistem ini bisa runtuh kapan saja. Geffen menegaskan, konflik Sweida hanya permulaan. Daerah Kurdi atau jantung Alawi mungkin akan menyusul. Satu ledakan sektarian, dan seluruh negara bisa terseret ke dalam pusaran kekacauan baru. Revolusi 2.0? Mungkin. Atau setidaknya, kegagalan sistem yang spektakuler.
Ada ironi yang pahit di sini. Ahmad al-Sharaa, interim president, pandai “memasarkan” dirinya di hadapan diplomat. Jas rapi, senyum menawan, pidato elegan. Tapi ketika para intelijen lokal memberi peringatan, ia mendengar… hening. Dan Barrack? Ia tidak mendengar sama sekali. Saya rasa kita semua tahu konsekuensi dari mengabaikan intelijen lokal dalam konteks negara yang telah hancur berkeping-keping. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Tetapi kesalahan tetap terjadi, karena di luar negeri, logika pasar kadang lebih dipercaya daripada realitas berdarah di lapangan.
Selain sisi politik dan keamanan, ada sisi kemanusiaan yang jarang disentuh: rakyat Suriah yang hidup dalam ketidakpastian terus-menerus. Lebih dari 1.400 Alawi tewas sejak Maret di pantai Suriah dalam pembantaian sistematis. Anak-anak yang seharusnya bermain, belajar, dan tumbuh dalam komunitas mereka, kini harus menghafal suara tembakan, belajar menghindar dari granat, dan menyaksikan kerabat mereka tewas. Semua ini terjadi sementara dunia luar sibuk berfoto di konferensi diplomatik, membicarakan strategi baru, dan menandatangani perjanjian yang pada dasarnya kosong. Ironis, bukan?
Kritik Geffen terhadap Barat—terutama Amerika—adalah refleksi yang layak direnungkan. Diplomasi tanpa pemahaman lokal bukan hanya sia-sia, tapi berpotensi memperburuk situasi. Saat Barrack mempromosikan “strategic fresh start,” realitas di lapangan tetap sama: konflik sektarian, ekonomi rapuh, pengungsian internal yang masif, dan rasa takut yang menghantui setiap warga. Saya tidak bisa menahan diri untuk membayangkan bagaimana absurdnya jika “strategic fresh start” ini hanya berarti senyum diplomat dan konferensi, sementara darah masih menetes di tanah yang sama yang telah kita saksikan hancur bertahun-tahun.
Jika kita menarik analogi ke kehidupan sehari-hari, Suriah saat ini seperti rumah tua yang dibiarkan runtuh karena pemiliknya sibuk mempercantik fasad luarnya. Atap bocor, fondasi retak, listrik kadang padam, tetapi tamu yang datang hanya melihat cat segar dan lampu kristal yang bersinar. Tragis? Pasti. Lucu? Sedikit. Tetapi lebih banyak getirnya. Kita, sebagai pengamat, bisa tersenyum pahit membaca laporan diplomatik yang tampak menenangkan, sementara realitas di Sweida, Alawi, dan Kurdi justru menuntut kesadaran penuh dan tindakan nyata.
Apa yang bisa kita tarik dari semua ini? Bahwa Syria berada di ambang, bukan hanya ambang konflik sektarian biasa, tetapi ambang keruntuhan sistem yang kompleks—yang berpotensi memicu apa yang saya sebut Revolusi 2.0. Ini bukan istilah bombastis. Ini refleksi dari rapuhnya struktur sosial, politik, dan ekonomi, dari ketidakpedulian diplomasi luar, dan dari ketidakmampuan beberapa aktor lokal maupun internasional untuk membaca realitas di lapangan. Setiap keputusan yang salah, setiap perhitungan yang keliru, bisa menjadi percikan yang menyalakan api konflik lebih besar.
Maka dari itu, saya menulis ini bukan sekadar sebagai pengamatan politik. Ini peringatan bagi kita semua yang menganggap konflik Suriah adalah “hal jauh” yang hanya terjadi di berita internasional. Konflik ini memiliki implikasi global, moral, dan kemanusiaan. Dan lebih dari itu, ini adalah cermin bagi diplomasi internasional: jika kamu mengabaikan intelijen lokal, jika kamu menilai konflik kompleks dengan logika bisnis, jangan kaget ketika hasilnya berbalik menghantammu.
Akhirnya, pertanyaannya tetap menggantung: apakah kita akan menyaksikan Suriah di ambang Revolusi 2.0, ataukah dunia luar, dengan segala kelalaiannya, hanya akan menjadi penonton yang tersenyum di konferensi sambil menatap reruntuhan yang membara? Saya rasa, jawaban itu masih tergantung pada siapa yang benar-benar memahami darah, tanah, dan fragilitas negeri ini—dan siapa yang hanya percaya pada senyum diplomatik dan strategi kosong.