Opini
Jerman Memblokir Nurani, Membiarkan Gaza Terus Terbakar

Di tengah ledakan yang bergulung seperti gelombang badai dan asap yang menutup langit Gaza, ada keputusan yang terdengar seperti bisik lirih tapi mematikan: Jerman memblokir dorongan Uni Eropa untuk menghukum zionis. Bukan ancaman roket yang diredam, bukan tangis pengungsi yang dihentikan, melainkan bara nurani yang ditutup-tutupi atas nama “kehati-hatian.” Ironi itu berjejal di layar televisi: rapat menteri, kata-kata rapi, dan di kejauhan, puing-puing yang terus bertambah. Saya rasa, di situlah absurditasnya.
Uni Eropa, lewat Horizon Europe—program riset kebanggaan benua—sebenarnya hendak menekan Tel Aviv. Caranya sederhana tapi tajam: menutup akses ke pendanaan startup yang terkait drone, siber, dan kecerdasan buatan—teknologi yang bisa menguatkan mesin perang. Berlin menyebutnya tidak efektif. “Tak akan mengubah tindakan zionis di Gaza,” kira-kira begitu intinya. Dalih yang kedengaran wajar, sampai kita ingat bahwa di sisi lain, aliran teknologi dan riset itu bukan soal etika, melainkan soal arah politik.
Johann Wadephul—dengan keyakinan politisi yang fasih beretorika—mengatakan pembatasan ekspor senjata tertentu lebih “terarah.” Bahasa kebijakan selalu tampak elok: presisi, dampak, akuntabilitas. Namun, ketika retorika itu menyentuh tanah, bentuknya berubah: lisensi ekspor senjata Jerman ke zionis sejak Oktober 2023 menembus ratusan juta euro, sementara Gaza menelan korban puluhan ribu. Saya tidak anti-nalar; saya hanya heran pada logika yang menepuk dada “terukur” sambil membiarkan luka membusuk.
Lalu muncullah kontras yang sering kita lihat dalam poster-poster bantuan: Jerman mengucurkan lebih dari tiga ratus juta euro untuk kemanusiaan, melanjutkan kemitraan dengan UNRWA, ikut jembatan udara dengan Prancis, Inggris, dan Yordania. Gesture ini, di ruang konferensi, tampak seperti cahaya. Tetapi di ruang darurat yang kekurangan obat, rasanya seperti setetes air di atas api yang disiram bensin sejak awal. Kita semua tahu, roti tak bisa menetralkan pecahan bom; keduanya berasal dari keputusan yang sama: kepentingan.
Kaja Kallas mengakui: Eropa terbelah. Keputusan soal sanksi memerlukan mayoritas berkualifikasi, bukan mufakat. Dalam labirin prosedur itulah, bobot Berlin terasa seperti batu karang—diam, berat, menentukan aliran. Jika Jerman bilang “jangan”, pintu tak pernah benar-benar terbuka. Saya rasa inilah momen ketika kita melihat politik sebagai griya seni: komposisi gerak, warna, dan bingkai yang telaten. Hanya saja, kanvasnya adalah krisis kemanusiaan, dan catnya adalah darah.
Ada yang tak sabar menunggu, menagih konsistensi. Denmark menyuarakan isyarat pembatasan dagang yang lebih luas. Spanyol dan Slovenia berbicara lugas: Uni Eropa belum menjatuhkan satu pun langkah tegas pada zionis. Pernyataan yang menampar memori kolektif kita tentang Ukraina, ketika sanksi meledak cepat, dalam hitungan hari, tanpa ragu. Standar ganda bukan tuduhan baru; yang baru hanyalah ketelanjangan situasi—ketika kata “nilai” terasa seperti slogan di papan iklan, bukan kompas tindakan.
Di luar itu, ada paduan suara yang terdengar sopan namun gawat: puluhan negara Barat menandatangani peringatan tentang konsekuensi bencana di Gaza, mendesak akses bantuan. Tanda tangan mudah. Instrumen kebijakan lebih sukar. Kata-kata, betapapun mulia, sering hanya menjadi selimut agar kita bisa tidur nyenyak. Sementara di utara Gaza, lembaga-lembaga PBB menyebut kelaparan sudah berlangsung, ratusan ribu di tepi jurang. Apakah Jerman tidak mendengar? Atau mereka mendengar, namun memilih menaikkan volume musik di ruang rapat?
Ada pula langkah simbolis yang mengundang tepuk tangan: pengakuan negara Palestina di forum PBB yang direncanakan beberapa ibu kota besar Eropa, bahkan Kanada. Saya tidak sinis pada simbol; mereka penting. Tapi simbol tanpa rem pada kekerasan materiil hanya menyisakan rupa-rupa ucapan selamat yang hambar. Ini seperti menempelkan stiker “kepedulian” di kemeja, lalu berlalu saat api membesar di dapur. Saya tak butuh upacara jika alat pemadam masih diparkir di halaman demi jaga wibawa tamu istimewa.
Mengapa Jerman bebal pada rute sanksi Horizon? Mari bicara sejarah, tanpa bersembunyi. Ada rasa bersalah yang menua, ada janji “tak akan terulang” yang dipegang erat—namun entah kenapa tafsirnya menyempit: membela zionis, bukan membela manusia. “Never again” dipakai seperti payung eksklusif, bukan payung kemanusiaan universal. Inilah tragedi tafsir: ketika trauma dijadikan kebijakan, dan kebijakan lupa memeriksa siapa yang saat ini sedang ditindas—bukan di masa lalu, melainkan hari ini, tepat sekarang.
Faktor domestik ikut menata langkah: koalisi pemerintahan, industri pertahanan, ekosistem riset, dan jaringan startup yang menggeliat di kampus-kampus Jerman. Horizon bukan sekadar skema hibah; ia adalah aliran oksigen bagi laboratorium, pabrik, dan citra Eropa sebagai laboratorium peradaban. Memutus akses zionis berarti potensi gesekan pada jejaring mitra, proyek bersama, paten, hingga reputasi. Pada titik itulah, etika dirundingkan seperti kontrak kerja: pasal demi pasal, klausul demi klausul, selalu ada cat kecil bertuliskan “kecuali”.
Bayangkan tetangga yang anaknya terus melempar batu ke rumah orang. RT mengusulkan teguran keras, memutus akses ke fasilitas umum. Lalu ada satu tokoh yang bilang, “Jangan dulu, tidak efektif.” Ia memilih menahan satu-dua suplai batu, sambil membagikan mi instan pada keluarga yang jendelanya pecah. Apakah ia pahlawan? Tidak. Ia hanya sedang menjaga muka sendiri: tetap terlihat murah hati, tanpa benar-benar menyentuh sumber masalah. Kita tertawa getir, karena analogi itu terlalu pas.
Angka korban di Gaza melesak melewati enam puluh ribu. Di balik angka, ada nama, ada cerita, ada sisa hidup yang dibungkus kain. Saya tahu, seorang menteri akan menyebut angka sebagai “data situasional.” Saya menolak. Angka itu adalah denting piring kosong, langkah terseret di tenda, dan doa yang terhenti di tengah malam ketika suara pesawat datang. Jika data tak mengusik hati, barangkali bukan datanya yang kurang, melainkan hati yang sudah lama ditembok oleh kalkulasi.
Sebagian akan berkata, “Politik luar negeri itu rumit.” Memang. Tetapi kerumitan tak bisa menjadi alasan abai. Kita di Indonesia paham rasanya hidup dalam bayang-bayang kebijakan besar, dari harga beras sampai kuota BBM. Kita juga paham beda antara janji dan aksi. Maka ketika Berlin menutup jalur sanksi riset, sementara menepuk punggung sendiri karena bantuan kemanusiaan, kita menangkapnya seperti iklan layanan masyarakat di jam sibuk: ramai, rapi, tapi tak mampu memadamkan api di rumah sebelah.
Di jalanan Jakarta, poster solidaritas Palestina tak diambil saat hujan; ia dibiarkan pudar untuk mengingatkan bahwa ketidakadilan bisa berlangsung lama jika dibiarkan. Di studio-studio kecil Bekasi, para kreator merangkai narasi, mengetuk hati publik, menolak lupa. Kita tidak punya lisensi ekspor senjata, tidak duduk di dewan menteri, namun kita punya hak bertanya: mengapa Jerman sibuk dengan “efektivitas” sanksi, sementara efektivitas bom tidak pernah dipersoalkan seketat itu?
“Eropa beradab.” Kalimat itu sering dipajang seperti lukisan. Indah, berbingkai, diberi lampu sorot. Namun, lukisan itu retak halus ketika diuji Gaza. Beradab bukan karena pidato, melainkan karena keberanian menahan tangan sendiri saat tangan itu membawa alat untuk menyakiti. Beradab berarti memilih jalan yang mungkin merugikan bisnis, tetapi menyelamatkan nyawa. Jika Jerman belum sanggup, sebaiknya jangan dulu bicara tentang kelas peradaban; duduklah, dengarkan dulu jerit dari tenda-tenda.
Saya tidak menuntut kesempurnaan. Saya menuntut konsistensi. Jika pada Rusia sanksi bisa meluncur secepat peluru, pada zionis mestinya keberanian yang sama bisa dipanggil. Jika Horizon bisa menjadi pengungkit moral, jangan letakkan ia di gudang. Sains yang membanggakan Eropa seharusnya tidak menjadi bengkel sunyi bagi mesin pembunuh; setidaknya, jangan biarkan dana publik menjadi minyak pelumasnya. Di titik ini, kebijakan bukan lagi spreadsheet—ia adalah cermin.
Akhirnya, kita kembali pada pertanyaan pertama: ada apa dengan Jerman? Jawabannya telanjang—perhitungan. Perhitungan sejarah, perhitungan ekonomi, perhitungan citra, perhitungan aliansi. Semua sah dalam kamus realpolitik. Yang tidak sah adalah berpura-pura: memblokir sanksi atas nama efektivitas, sembari menepuk dada karena bantuan kemanusiaan. Dunia melihat. Topeng retak. Dan Gaza, yang malamnya panjang, menjadi saksi bahwa ketika nurani diblokir, apa pun yang terbakar bukan hanya sebuah kota, melainkan reputasi sebuah benua.