Connect with us

Opini

Israel di Bawah Bayang-Bayang Revolusi

Published

on

Ada absurditas yang tak bisa ditutupi lagi. Di satu sisi, negara yang mengaku sebagai “demokrasi satu-satunya di Timur Tengah” sedang melancarkan perang brutal di Gaza, menghancurkan rumah sakit, sekolah, hingga kehidupan dasar ratusan ribu orang. Namun di sisi lain, di jantung kota al-Quds yang diduduki, ribuan warga Yahudi ultra-Ortodoks turun ke jalan, membakar tempat sampah, berhadapan dengan polisi, hanya karena menolak dipaksa menjadi tentara. Ironinya terasa pekat: sebuah negara yang obsesif menuntut kesetiaan total justru kehilangan legitimasi dari warganya sendiri.

Konflik ini bukan sekadar soal wajib militer. Ia adalah soal fondasi. Sejak awal berdirinya, rezim zionis mencoba merajut kompromi antara sekuler dan religius. Kaum Haredi diberi hak istimewa: belajar Torah seumur hidup tanpa masuk tentara. Kesepakatan rapuh itu bertahan puluhan tahun. Namun begitu Mahkamah Agung memutuskan pengecualian itu tak sah, dan militer memanggil 54.000 pelajar yeshiva, retakan kecil itu berubah menjadi jurang. Apa yang semula kompromi politik kini berubah jadi perlawanan ideologis.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Mari kita lihat kenyataannya: dari 54.000 yang dipanggil, hanya sekitar 3.000 yang mau masuk barak. Artinya, lebih dari 90 persen menolak. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah cermin bahwa negara kehilangan kendali atas warganya. Jika hukum tak lagi ditaati, dan rakyat merasa lebih tunduk pada ajaran rabbi daripada pada undang-undang negara, lalu apa artinya Israel? Apa bedanya dengan negara yang eksis hanya di atas kertas, sementara warganya menjalani realitas paralel?

Situasi ini kian parah karena militer sendiri sedang sekarat. Ada kekurangan 10–12 ribu tentara, ditambah gelombang desersi, PTSD, bahkan bunuh diri di barak. Angka korban tentara mendekati 900 sejak Oktober 2023, dengan reservis dipaksa bertugas lebih dari 400 hari. Bayangkan jika di Indonesia ada program wajib militer dan anak-anak petani atau buruh harus meninggalkan ladang serta pabriknya lebih dari setahun penuh—kemarahan sosial pasti akan meledak. Dan itulah yang kini terjadi di Tel Aviv: masyarakat sekuler marah karena merasa diperas, sementara Haredi santai belajar Torah di yeshiva.

Kemarahan itu menemukan ungkapannya dalam kalimat sederhana dari seorang profesor di Tel Aviv: “Kenapa anak kami harus mati, sementara anak kalian minum kopi dan belajar?” Kalimat itu menusuk. Ia merangkum rasa jenuh yang kian menebal. Ketika ketidakadilan sosial dipertontonkan secara terang-terangan, itu bukan sekadar masalah administratif; itu adalah bibit revolusi.

Tak heran, rezim Netanyahu pun terguncang. United Torah Judaism keluar dari koalisi, Shas ikut menarik menteri-menterinya. Netanyahu hanya bertahan dengan mayoritas tipis, bahkan kadang minoritas, sementara sidang korupsinya kembali berjalan. Seorang pemimpin yang dikepung skandal, kehilangan legitimasi hukum, ditinggalkan sekutu, dan kini menghadapi rakyatnya sendiri—itulah potret klasik rezim yang berada di ambang keruntuhan.

Apakah ini sudah revolusi? Belum. Tapi ini jelas bayang-bayangnya. Revolusi, pada hakikatnya, bukan hanya soal massa menurunkan rezim di jalanan. Revolusi bisa dimulai dari keruntuhan konsensus. Ketika warga tidak lagi percaya bahwa negara punya otoritas moral, saat itulah revolusi merayap masuk. Dan di Israel, konsensus yang sejak 1948 dijaga rapat—antara sekuler yang rela mati dan religius yang diberi keleluasaan—kini hancur lebur.

Saya rasa, inilah paradoks paling besar. Negara yang membanggakan kekuatan militernya justru kehilangan tentara. Negara yang mengklaim mewakili seluruh Yahudi dunia justru dihadapkan pada warga Yahudi yang menolak patuh. Negara yang sedang menumpahkan darah di Gaza justru berdarah dari dalam. Bagi rezim yang sibuk membantai warga Palestina, ini adalah hantaman tak terduga: musuh terbesarnya kini bukan hanya di Gaza, tetapi juga di rumah sendiri.

Jika situasi ini dibiarkan meruncing, ada beberapa kemungkinan. Pertama, rezim akan memperbesar represi: razia, penangkapan massal, bahkan kriminalisasi komunitas religius. Tapi represi terhadap jutaan Haredi hanya akan mempercepat keruntuhan legitimasi, seperti halnya represi Shah Iran dulu yang justru mempercepat revolusi 1979. Kedua, partai-partai religius bisa menarik dukungan penuh dari sistem politik, memicu pemilu dini, yang bisa menjadi awal runtuhnya Netanyahu atau bahkan pergeseran kekuasaan total. Ketiga, dan ini yang paling berbahaya bagi rezim: munculnya “masyarakat paralel” ultra-Ortodoks yang hidup sepenuhnya di luar hukum negara. Itu berarti fragmentasi internal, semacam negara dalam negara, yang lama-lama akan menggerogoti proyek kolonial itu dari dalam.

Sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan tidak selalu tumbang karena pukulan musuh dari luar. Kadang ia runtuh karena keretakan dari dalam. Uni Soviet kalah bukan karena AS menyerang Moskow, tapi karena sistemnya retak dari dalam. Afrika Selatan runtuh bukan semata karena sanksi internasional, tapi karena apartheid membuat negeri itu tak lagi bisa dikelola. Dan sekarang, Israel bisa saja menghadapi jalan serupa: bukan sekadar kalah di Gaza, tapi roboh karena tak mampu lagi mengikat warganya sendiri dalam satu kesepakatan.

Bayang-bayang revolusi itu kini terasa nyata. Mungkin belum besok, mungkin tidak dengan format klasik, tapi denyutnya sudah ada. Setiap kali seorang pemuda Haredi menolak masuk tentara, ia menyalakan api kecil. Setiap kali seorang ibu sekuler marah karena anaknya mati di Gaza sementara anak tetangganya belajar Torah, api itu membesar. Dan setiap kali Netanyahu mencoba menambal koalisi rapuhnya dengan intrik, api itu menjalar ke ruang politik.

Pada akhirnya, yang perlu kita sadari adalah: genosida di Gaza dan krisis internal di Tel Aviv bukan dua peristiwa terpisah. Mereka adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Kekerasan eksternal mempercepat keretakan internal. Penindasan terhadap Palestina adalah cermin bahwa rezim ini tidak pernah punya fondasi moral. Dan ketika fondasi itu runtuh, ia tidak hanya gagal mempertahankan tanah jajahan, tapi juga gagal mempertahankan dirinya sendiri.

Maka, apakah Israel kini berada di bayang-bayang revolusi? Saya tak ragu menjawab: ya. Bukan revolusi yang direncanakan oleh elite, bukan revolusi yang digerakkan oleh manifesto, tapi revolusi yang tumbuh dari jurang ketidakadilan, dari ketegangan antara sekuler dan religius, dari kelelahan rakyat yang muak melihat darah mengalir sia-sia. Bayangan itu makin panjang, makin pekat. Dan sejarah mengajarkan, bayangan revolusi pada akhirnya akan berubah menjadi kenyataan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer