Opini
Paradoks Kampus dan Ulama di Tengah Bayang Zionis

Bagaimana mungkin, sekelas Universitas Indonesia, dengan segala gengsi akademiknya, dengan segala klaim kecerdasan dan standar internasional, bisa begitu mudah mengundang sosok yang jelas-jelas pro-zionis ke jantung kampusnya? Pertanyaan itu menggantung di udara, bukan hanya sebagai kritik, tapi sebagai semacam tamparan. Sebab kita bicara tentang UI—ikon kecendekiaan negeri ini—yang ternyata bisa lengah pada isu paling sensitif bagi bangsa, isu yang menyentuh urat nadi moral: Palestina.
Saya rasa, absurditas ini tak berhenti di UI. Karena sebelum itu, tokoh yang sama, Peter Berkowitz, juga duduk manis bersama para intelektual NU. Ia tak hanya singgah, tak hanya menyapa, tapi diberi ruang, diberi mimbar, diberi kesempatan untuk bicara panjang tentang pandangan dunianya. Dan kita semua tahu siapa Berkowitz: seorang akademisi yang terang-terangan membela Israel, yang menolak keras kritik terhadap zionisme. Fokusnya bukan sekadar bahwa ia orang Amerika atau pejabat di Washington. Bukan. Intinya, ia adalah wajah yang mewakili kepentingan Israel di panggung global, seorang pro-Israel garis keras yang menjadikan setiap forum sebagai ruang legitimasi.
Lucu, sekaligus getir, ketika UI buru-buru merilis klarifikasi: mengakui ada “kekurangan background check”, menegaskan tetap konsisten mendukung Palestina, bahkan menyebut keterlanjuran itu sebagai bagian dari kebebasan akademik. Klarifikasi yang rapi, diplomatis, tapi hambar. Sebab publik bukan menuntut UI menjelaskan definisi kebebasan akademik; publik ingin tahu mengapa garis merah bangsa ini bisa dilanggar begitu saja. Apakah para profesor di Depok benar-benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, siapa yang mereka undang?

sumber: realclearpolitics (Peter Berkowitz di kantor NU)
Lebih getir lagi, NU yang jauh lebih besar pengaruhnya, tampak tenang-tenang saja. Tidak ada klarifikasi, apalagi permintaan maaf. Berkowitz bahkan menulis sendiri pengalamannya di forum NU, bangga bisa berbincang tentang demokrasi, liberalisme, dan Islam Nusantara. Dan jangan lupa, ini bukan pertemuan pertama. Gus Yahya, Ketua Umum PBNU, sudah mengenal Berkowitz sejak Forum R20 di Bali tahun 2022.
Relasi itu berlanjut di Amerika: mereka makan siang bersama, berbagi pujian, bahkan Berkowitz menjanjikan untuk menghubungkan NU dengan simpul-simpul strategis di lingkaran kekuasaan AS. Apa artinya? Bahwa kita sedang berhadapan dengan jejaring yang lebih dalam daripada sekadar forum akademik. Dan di balik jejaring itu, bayangan zionisme jelas tak bisa dipisahkan, sebab Berkowitz bukan sekadar diplomat atau akademisi; ia adalah pembela kepentingan Israel di jantung kekuasaan Amerika.
Dan justru dari situlah lahir ironi paling telak: ketika di kampus-kampus Amerika dan Eropa, mahasiswa berani menentang Israel, memasang poster “Free Palestine”, menolak normalisasi, bahkan siap ditangkap polisi, di Indonesia para elit akademik dan keagamaan malah membuka pintu bagi suara pro-Israel. Paradoks ini begitu nyata, begitu menohok, seolah logika kita sedang dipermainkan.
Kita sering mendengar dalih: ini demi dialog, demi pertukaran gagasan, demi memperkaya perspektif. Tapi mari jujur—apa gunanya membuka pintu bagi pandangan pro-zionis, ketika yang kita hadapi bukan sekadar wacana akademik, melainkan ideologi yang sejak awal berdiri di atas penindasan? Memberi panggung kepada Berkowitz sama saja dengan memutihkan jejak darah yang menodai Palestina. Kebebasan akademik yang digunakan untuk mengundang pembela penjajahan hanyalah kebebasan yang kehilangan nurani.
Dan publik tidak bodoh. Di warung kopi, di grup WhatsApp, di lini masa media sosial, kegelisahan itu mengalir deras. Orang-orang bertanya: apakah ini hanya ceroboh, atau ada agenda yang lebih dalam? Apakah benar hanya soal background check, ataukah kita sedang menyaksikan bab awal dari lobi zionis yang pelan-pelan merambat ke ruang-ruang strategis negeri ini? Pertanyaan itu wajar, karena rakyat sudah cukup kenyang dengan skenario gelap politik internasional. Jika pemerintah tidak bersikap tegas, jangan salahkan bila prasangka liar tumbuh subur: bahwa ada tangan-tangan zionis yang sudah masuk jauh ke dalam rumah kita.
Saya teringat paradoks keseharian kita. Di televisi, khutbah, dan seminar, kita mendengar dukungan lantang untuk Palestina. Di jalan-jalan, rakyat kecil dengan sukarela menyumbang untuk Gaza, meski dompet mereka sendiri tipis. Di pasar, ibu-ibu menolak membeli produk yang diasosiasikan dengan Israel. Solidaritas itu nyata, mengalir dari bawah. Tapi di atas sana, di ruang ber-AC, di balik podium megah, ada elite yang justru duduk nyaman mendengar ceramah dari pembela Israel. Seperti ada dua dunia yang tak pernah bertemu: dunia rakyat yang berteriak, dan dunia elite yang bernegosiasi.
Ironi ini menimbulkan rasa getir. Betapa mudahnya kita memberi ruang pada ide-ide asing dengan dalih keterbukaan, tapi begitu sulitnya kita menjaga komitmen pada prinsip sendiri. Bukankah sejak awal Indonesia lahir dengan semangat anti-kolonialisme? Bukankah konstitusi kita menolak segala bentuk penjajahan? Lalu mengapa kita begitu longgar ketika berhadapan dengan penjajahan paling telanjang di era modern: zionisme Israel? Saya rasa, inilah paradoks yang membuat publik merasa dikhianati oleh institusi yang mestinya jadi benteng moral.
Di titik ini, saya tidak hanya ingin menyalahkan UI atau NU. Mereka hanya gejala dari persoalan lebih dalam: lemahnya kesadaran elite tentang betapa sensitifnya isu Palestina di Indonesia. Ketika elite gagal membaca denyut rakyat, jurang semakin menganga. Dan jurang itu berbahaya, sebab rakyat bisa mulai percaya bahwa benar ada konspirasi besar, ada lobi tersembunyi, ada pengkhianatan yang disamarkan sebagai dialog. Kecurigaan semacam itu, sekali tumbuh, sulit dihentikan.
Saya rasa, pemerintah mesti sadar bahwa isu ini bukan main-main. Palestina bukan sekadar urusan politik luar negeri, melainkan identitas moral bangsa. Mengundang tokoh pro-Israel ke kampus atau pesantren sama saja dengan melukai perasaan kolektif rakyat Indonesia. Luka itu mungkin tak langsung terlihat, tapi percayalah, ia akan membekas. Dan semakin lama dibiarkan, semakin sulit disembuhkan.
Akhirnya, kita harus bertanya: mau dibawa ke mana bangsa ini? Apakah kita akan terus membanggakan diri sebagai bangsa yang membela Palestina, sementara di belakang layar kita diam-diam merangkul mereka yang membela Israel? Ataukah kita berani jujur pada diri sendiri, menegaskan garis tegas, dan menolak segala bentuk infiltrasi zionis dalam tubuh akademik maupun keagamaan kita?
Saya tak ingin menutup dengan optimisme palsu. Sebab yang kita hadapi bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan krisis moral. Tapi saya percaya, selama rakyat masih punya suara, selama solidaritas pada Palestina masih hidup di hati rakyat kecil, masih ada harapan bahwa absurditas ini akan terus disorot, dipersoalkan, dilawan. Dan mungkin, dengan cara itu, elite yang duduk nyaman akan dipaksa bangun dari kursi empuknya, lalu ingat kembali siapa sebenarnya yang mereka wakili—karena mereka bukan dipilih rakyat, mereka hanya mengklaim berbicara atas nama rakyat.
Sumber:
- https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/08/24/130000788/siapa-peter-berkowitz-sosok-akademisi-pro-israel-yang-diundang
- https://www.realclearpolitics.com/articles/2025/08/24/teaching_western_political_thought_in_indonesia_153211.html
- https://www.nu.or.id/internasional/melawat-ke-amerika-serikat-gus-yahya-perkenalkan-gagasan-nu-soal-peradaban-4Y07X