Opini
UEA-Israel: Diplomasi Palsu, Pengkhianatan untuk Palestina

Di Abu Dhabi, pesawat IL-76 lepas landas dari landasan yang sepi, membawa muatan yang tak terlihat oleh mata publik. Jalur penerbangannya membelah langit Arab Saudi, menuju tanah yang sedang membakar hati rakyat Gaza. Ironis, bukan? Di satu sisi, UEA bersikap diplomatis, mengumbar janji perdamaian dan menegaskan komitmen terhadap stabilitas regional. Di sisi lain, tindakan mereka memberi napas tambahan bagi kekuatan yang menindas. Saya rasa, ini bukan sekadar politik—ini adalah ironi yang pahit, seperti melihat tetangga tersenyum sambil meminjam gula, lalu menendang piringmu diam-diam.
Kunjungan rahasia Ron Dermer ke Abu Dhabi menguatkan paradoks itu. Media barat menulisnya sebagai “usaha meredam ketegangan,” seolah-olah UAE dan Israel sedang berada di titik pertengkaran yang genting. Padahal, di balik layar, ada koordinasi strategis yang jauh lebih serius. Pengiriman senjata dari UEA ke Israel—meski diam-diam—menjadi bukti bahwa kerenggangan retoris hanyalah kamuflase. Sementara rakyat Gaza terjebak di antara suara ledakan dan janji damai yang hampa, dunia menonton dari jauh, sebagian mengangguk, sebagian bersorak di balik diplomasi yang terhormat.
Saya rasa kita semua tahu, perang bukan hanya soal peluru dan bom. Ia soal harapan, moral, dan kepercayaan. Ketika UEA secara diam-diam memperkuat militer Israel, rakyat Palestina tak hanya kehilangan keamanan fisik, tapi juga keyakinan pada solidaritas regional. Abu Dhabi, yang selama ini menekankan diri sebagai penjaga perdamaian, kini menunjukkan wajah pragmatisme yang dingin: menjaga kepentingan ekonomi dan geopolitik sambil membiarkan rakyat yang lemah menghadapi api. Apakah ini realitas yang kita terima? Saya rasa tidak.
#BREAKING 🇮🇱🇦🇪⚡- For the first time, the UAE has started directly and openly supplying Israel with weapons
An IL-76 was seen taking off from Al-Reef Air Base in Abu Dhabi today, landing in an unidentified Israeli Air Base before returning to the UAE.
This military cargo plane… pic.twitter.com/BBx914cHX3
— Monitor𝕏 (@MonitorX99800) August 21, 2025
Ekspansi permukiman Israel di Tepi Barat menjadi simbol lain dari absurditas ini. UEA mengecam, berbicara dengan nada moral tinggi, menandatangani pernyataan diplomatik yang rapi. Tapi di saat yang sama, mereka menyediakan jalur udara bagi material militer yang memperkuat pihak yang melakukan agresi. Sebuah pertunjukan ironi, di mana setiap kata di konferensi pers berlawanan arah dengan setiap langkah di landasan udara. Bagi rakyat Gaza, ini bukan hanya pengkhianatan, tapi penghinaan simbolik yang menyayat.
Dalam konteks lokal kita di Indonesia, kita bisa membayangkannya seperti tetangga yang menjanjikan bantuan saat rumahmu kebakaran, tapi diam-diam memberikan bensin tambahan ke api. Kita marah, tentu. Kita tersenyum getir, tentu juga. Dan saya rasa, rakyat Palestina merasakan hal yang sama: campuran antara kemarahan, kecewa, dan frustrasi terhadap negara yang kita kira sekutu, namun ternyata pragmatis demi kepentingan sendiri.
Langkah UEA juga menunjukkan bahwa politik besar sering berjalan dua jalur: publik dan rahasia. Di permukaan, mereka bicara soal perdamaian, menekankan dialog, dan menekankan solusi dua negara. Di balik layar, jalur kargo militer, pertemuan rahasia, dan koordinasi strategis menunjukkan kepentingan yang jauh dari solidaritas moral. Sebuah dualitas yang menegaskan, kadang kata-kata di konferensi pers hanyalah sandiwara, sementara tindakan menentukan realitas di lapangan.
Bagi Israel, pragmatisme UEA menjadi angin segar. Bagi rakyat Gaza, ini seperti menerima pukulan dari arah yang tak terduga. Dampak psikologisnya tidak bisa diremehkan. Ketika negara Arab yang selama ini dianggap sebagai pendukung moral beralih diam-diam ke pihak agresor, rasa percaya hancur. Ini bukan sekadar soal senjata, tapi soal simbol, soal keyakinan, soal harga diri yang terinjak.
Kita juga harus melihat ini dari perspektif geopolitik lebih luas. UEA bukan hanya mempertimbangkan Palestina atau Israel, tetapi juga posisinya di hadapan Barat dan negara-negara besar lainnya. Dengan tetap menjaga hubungan strategis dengan Israel, mereka memposisikan diri sebagai pemain penting di Timur Tengah. Tapi apa harga yang dibayar oleh rakyat Palestina? Kita tahu jawabannya. Mereka menanggung konsekuensi langsung: korban, kehancuran, dan ketidakadilan yang semakin menumpuk.
Yang paling menyedihkan adalah bagaimana paradoks ini menjadi normal. Dunia belajar melihat dualitas seperti ini sebagai “keseimbangan diplomatik.” Tapi bagi Gaza, ini bukan keseimbangan, ini adalah ketidakadilan yang dipoles dengan retorika indah. Saya rasa, setiap kali berita seperti ini muncul, kita harus berhenti sejenak, tarik napas, dan bertanya: di mana moral dalam politik? Atau apakah moral hanyalah aksesori yang bisa dipakai dan dilepas sesuai kepentingan?
Selain aspek politik, ada dampak strategis yang lebih terselubung. Jalur udara dari UEA menunjukkan kemampuan Israel untuk memperluas operasi militer dengan lebih cepat, tanpa mengindahkan tekanan internasional. Ini bukan sekadar logistik; ini adalah penguatan posisi Israel yang langsung memengaruhi hidup sehari-hari rakyat Palestina. Setiap bom yang dijatuhkan, setiap gedung yang runtuh, dapat ditelusuri kembali pada rantai aksi yang dimulai dari landasan udara Abu Dhabi.
Bagi para diplomat dan analis, semua ini mungkin terlihat sebagai pragmatisme yang diperlukan untuk menjaga stabilitas regional. Tapi mari kita jujur: stabilitas siapa yang dimaksud? Bukankah yang mengalaminya secara nyata adalah rakyat yang kehilangan rumah, sekolah, dan kehidupan normal mereka? UEA mungkin mendapatkan posisi tawar di kancah internasional, tapi biaya moralnya dibayar oleh mereka yang tak bersalah, yang tak pernah memilih konflik ini.
Selain itu, tindakan UEA menimbulkan efek domino dalam opini publik dunia Arab. Negara yang selama ini menjadi simbol harapan bagi Palestina kini menunjukkan bahwa kepentingan strategis bisa menimpa solidaritas moral. Dampak jangka panjangnya: kepercayaan terhadap peran negara Arab dalam konflik Palestina semakin rapuh, dan generasi muda Palestina belajar bahwa dukungan politik bisa berlapis-lapis dan penuh kepura-puraan.
Secara psikologis, rakyat Gaza menghadapi dilema yang berat: hidup di bawah ancaman militer yang meningkat, sementara melihat “sekutu” mereka tersenyum di layar televisi, berbicara tentang perdamaian dan stabilitas. Ironi ini memunculkan luka yang tak kasat mata, rasa dikhianati yang menembus setiap dinding rumah yang hancur. Luka yang tidak bisa diobati dengan retorika diplomatik, hanya bisa dirasakan, ditangis, dan ditanggung.
Akhirnya, apa yang dilakukan UEA bukan sekadar strategi diplomatik. Dari sudut pandang rakyat Palestina, ini adalah pengkhianatan terselubung. Senyum diplomasi menutupi realitas pahit: ada jalur udara yang mengalirkan material militer untuk memperkuat pihak yang menindas. Ada kunjungan rahasia yang menegaskan kerja sama strategis. Ada retorika publik yang cantik, namun kosong. Dan di tengah itu, rakyat Gaza tetap menanggung api yang tak padam, luka yang tak sembuh, dan harapan yang perlahan terkikis.
Pingback: UEA, Red Line Palestina dan Tawaran Baru Israel