Connect with us

Opini

Pasukan Buzzer di Medan Lapar Gaza

Published

on

Di sebuah wilayah sempit yang dikepung blokade, anak-anak meninggal bukan karena bom, melainkan karena perut kosong yang tak lagi kuat menunggu. Antrean panjang manusia yang berharap mendapat segenggam tepung sering berakhir dengan peluru yang memberondong. Di tengah kenyataan brutal ini, pemerintah Israel justru menghadirkan tur khusus bagi para buzzer, seakan tragedi kelaparan hanyalah panggung konten yang bisa dipoles dengan kamera ponsel. Ada absurditas yang menusuk: ratusan nyawa melayang di titik distribusi bantuan, sementara Tel Aviv sibuk merias wajah propagandanya.

Saya rasa, di sinilah letak ironi yang paling telanjang. Gaza sedang dituduh berbohong soal kelaparan, padahal lembaga internasional sudah resmi menyatakan adanya famine. Integrated Food Phase Classification, sebuah badan yang tak dikenal luas tapi diakui kredibilitasnya oleh PBB, pada 22 Agustus lalu menyebut: Gaza mengalami kelaparan. Titik. Bukan sekadar krisis, bukan sekadar “risiko,” melainkan realitas yang sudah menelan ratusan korban, termasuk lebih dari seratus anak. Lalu datanglah para buzzer dengan gaya meyakinkan, mengatakan: “Saya lihat sendiri ribuan orang diberi makan.” Apakah kesaksian singkat seorang seleb medsos bisa menghapus catatan kematian 271 orang akibat kelaparan?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Inilah bentuk perang informasi yang sedang berlangsung. Israel jelas kewalahan. Biasanya, narasi mereka dijaga rapi oleh media arus utama yang lebih suka memakai istilah “konflik” ketimbang “penjajahan,” atau “bentrok” ketimbang “pembantaian.” Namun kini, ribuan video amatir dari warga Gaza sendiri menembus batas sensor. Dunia melihat bayi kurus kering, jenazah di jalanan, antrean panjang yang berakhir dengan tembakan. Fakta-fakta itu viral, dan tidak mudah lagi disapu bersih oleh press release diplomatik. Maka jurus baru pun dikeluarkan: tur buzzer.

Kita tahu, buzzer punya kekuatan magis di zaman ini. Mereka bisa menjual lipstik dengan gaya bicara kasual, bisa mendongkrak warung kopi hanya dengan satu unggahan story. Dan kini, mereka dipinjamkan untuk menjual narasi politik yang dipoles: bahwa kelaparan di Gaza hanyalah rekayasa Hamas. Seperti iklan deterjen yang menjanjikan pakaian putih lebih bersih, mereka menawarkan “fakta alternatif” bahwa Israel sedang memberi makan, bukan menutup perbatasan. Betapa tragis, betapa satir: tragedi lapar diubah menjadi bahan konten, dan penderitaan manusia dijadikan latar belakang swafoto.

Laporan yang sama menyebut, sejak GHF—mekanisme bantuan versi Israel—berdiri pada Mei lalu, lebih dari 1.400 orang terbunuh ketika mencoba mendapatkan bantuan. Angka ini seharusnya sudah cukup membungkam klaim bahwa “distribusi berjalan lancar.” Tapi apa yang dilakukan? Israel membawa buzzer Amerika dan lokal untuk berpose di lokasi distribusi, lalu menyebutnya sebagai bukti kebenaran. Di titik inilah logika benar-benar dikorbankan. Jika distribusi itu aman, mengapa begitu banyak darah tercecer di tanah? Kalau memang rakyat Gaza bisa dengan mudah menerima makanan, mengapa 14 persen saja dari kebutuhan yang masuk?

Kita di Indonesia tentu tak asing dengan istilah “settingan.” Dari acara televisi hingga drama YouTube, semuanya bisa dipoles. Nah, tampaknya logika hiburan itu kini dipakai juga dalam politik luar negeri Israel. Jurnalis lokal melaporkan bagaimana jelang kunjungan utusan AS ke salah satu lokasi GHF, tank ditarik mundur, mayat dibersihkan, dan antrean ribuan orang dikurangi hanya menjadi puluhan. Mirip sekali dengan set syuting sinetron: latar dipermak, figuran dipilih, kamera diarahkan, lalu hasilnya dipamerkan ke dunia. Bedanya, ini bukan sinetron. Ini adalah panggung lapar yang nyata, di mana orang mati hanya beberapa jam setelah “pengambilan gambar.”

Saya jadi teringat pepatah lama: kalau fakta tak sesuai dengan narasi, ganti saja faktanya. Begitulah strategi yang sedang dimainkan. Namun, mereka lupa bahwa di era digital, fakta tak bisa lagi diatur sesuka hati. Ada terlalu banyak mata, terlalu banyak kamera, terlalu banyak suara yang tak bisa dikendalikan. Justru setiap usaha untuk menutupi kebiadaban dengan kosmetik propaganda hanya mempertegas rasa putus asa rezim yang melakukannya. Bukannya meyakinkan, malah terlihat panik.

Israel mungkin berharap tur buzzer ini bisa menggeser opini publik internasional. Tapi efeknya justru sebaliknya: semakin banyak orang yang bertanya, mengapa sebuah negara perlu membawa seleb medsos ke daerah perang hanya untuk membuktikan bahwa tak ada kelaparan? Logika sehat kita akan menjawab: karena fakta di lapangan terlalu kuat, dan mereka kekurangan argumen. Ini bukan soal memberi makan 13 ribu orang di depan kamera. Ini soal menutup akses bagi dua juta lebih warga Gaza, lalu memberi remah-remah yang difilmkan seakan sebagai pesta.

Bagi kita yang tinggal jauh dari Gaza, barangkali sulit membayangkan lapar yang mematikan. Kita terbiasa dengan nasi kotak yang tersisa di acara hajatan, atau promo makanan cepat saji yang selalu ada di ujung jalan. Tapi coba bayangkan anak-anak di Gaza yang tubuhnya mengecil, matanya cekung, lalu ditembak hanya karena mencoba berebut sekarung tepung. Bandingkan dengan buzzer yang kemudian menulis di media sosial: “Israel tidak menghalangi makanan masuk.” Perbedaan realitas itu bagai siang dan malam.

Pada akhirnya, perang informasi ini memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam. Bahwa di balik propaganda, di balik semua framing, kebenaran tetap membocorkan dirinya. Lapar tak bisa disembunyikan dengan senyum seorang selebritas. Mayat di jalanan tak bisa ditutupi dengan caption penuh semangat di media sosial. Dan dunia, meskipun sering ragu, perlahan mulai melihat bahwa yang disebut “mekanisme bantuan” itu hanyalah nama lain dari kontrol kolonial atas perut manusia.

Saya rasa, tur buzzer ini justru akan tercatat sebagai salah satu babak paling ironis dalam sejarah konflik modern. Bayangkan: di tengah kelaparan yang diakui dunia, sebuah negara memilih mengimpor seleb medsos untuk menyangkalnya. Itu bukan hanya absurd, tapi juga tragikomik. Dan sejarah punya cara unik untuk mencatat absurditas: ia akan dikenang bukan sebagai bukti kebenaran, melainkan sebagai cermin kepanikan.

Mungkin inilah yang harus kita pahami: perang di Gaza bukan hanya soal rudal dan drone, melainkan juga soal siapa yang menguasai cerita. Israel boleh membawa buzzer, tapi Gaza punya sesuatu yang lebih kuat—rekaman langsung penderitaan manusia yang tak bisa dibungkam. Dan pada akhirnya, suara lapar itu akan selalu lebih keras daripada mikrofon propaganda.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Propaganda Israel Lewat Influencer MAGA: : Perang Narasi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer