Opini
Runtuhnya Citra Israel di Amerika

Ada ironi besar di dunia yang katanya modern ini: Amerika Serikat, negeri yang selalu mendaku diri sebagai kampiun demokrasi dan hak asasi, kini justru menyaksikan rakyatnya sendiri mulai kehilangan kepercayaan pada mitra abadi yang selama ini dipeluknya—Israel. Absurditasnya jelas. Pemerintah Washington masih gigih menyuplai senjata, veto di PBB, bahkan kata-kata manis demi membela tindakan militer Israel. Tetapi, rakyat Amerika—yang konon punya kekuatan menentukan arah negara melalui demokrasi—semakin lantang menyebut: “Cukup sudah.”
Angka-angka dari berbagai survei berbicara lebih keras daripada propaganda televisi kabel. Reuters/Ipsos menyebut 58 persen warga AS mendukung pengakuan negara Palestina oleh seluruh anggota PBB. Itu bukan sekadar statistik; itu adalah potret moral publik yang perlahan lepas dari belenggu narasi lama. Ketika mayoritas berkata Palestina harus diakui, itu berarti mitos Israel sebagai “satu-satunya demokrasi di Timur Tengah” mulai runtuh di mata warga Amerika sendiri. Dan bukankah ini sesuatu yang dulu tak terbayangkan?
Saya teringat bagaimana dulu media arus utama di AS hampir selalu menarasikan konflik dengan bingkai yang timpang: Israel berhak membela diri, Palestina hanyalah kerumunan pengacau. Kini, narasi itu bocor. Bocornya bukan sedikit, melainkan seperti bendungan tua yang retak di banyak sisi. Survei lain bahkan lebih gamblang. Gallup mencatat hanya 32 persen warga AS yang mendukung aksi militer Israel di Gaza, sementara 60 persen menolaknya. Kalau ini diibaratkan suara dalam rapat RT, Israel sudah kalah telak dan tidak lagi dianggap “tetangga baik”.
Kejatuhan citra ini tidak datang tiba-tiba. Ia hasil akumulasi gambar-gambar yang menyayat hati. Video anak-anak Gaza yang berlari di antara puing. Bayi-bayi yang hanya bisa menangis dengan perut lapar karena blokade makanan. Suara sirene ambulans yang tak henti terdengar di TikTok atau Instagram. Semua itu menembus layar ponsel anak muda Amerika dengan brutal, tanpa sensor, tanpa lapisan eufemisme politik. Generasi yang lahir dengan jempol selalu siap menggulir layar kini punya bukti visual bahwa slogan “self defense” Israel hanyalah tameng bagi penghancuran.
Di sinilah absurditas berikutnya muncul. Pemerintah AS tetap setia mengirim dana miliaran dolar, sementara rakyatnya—65 persen dalam survei Reuters/Ipsos—justru meminta agar negara itu mengirim bantuan kemanusiaan ke Gaza. Bukan roket, bukan bom, melainkan makanan dan obat-obatan. Bayangkan ironi ini: rakyat Amerika yang membayar pajak menuntut roti, tetapi pemerintahnya mengirim peluru. Bukankah itu semacam pengkhianatan terhadap nurani kolektif mereka sendiri?
Ada juga catatan penting tentang politik domestik. Mayoritas penolak intervensi kemanusiaan ternyata berasal dari kubu Republik yang dekat dengan Donald Trump. Mereka yang mengibarkan jargon “America First” tampaknya lebih rela membiarkan anak-anak Gaza kelaparan ketimbang melihat uang pajak dipakai untuk menyelamatkan nyawa. Sikap ini, jika kita jujur, lebih mencerminkan keegoisan politik ketimbang visi kemanusiaan. Tetapi, justru dari sini terlihat bagaimana isu Palestina kini membelah jantung politik Amerika: bukan sekadar luar negeri, melainkan juga pertarungan moral di dalam negeri.
Lebih tajam lagi, survei Brookings menunjukkan 45 persen warga AS percaya Israel sedang melakukan genosida. Kata “genosida” bukan kata ringan; ia punya bobot sejarah, mengingatkan pada tragedi Yahudi sendiri di masa lalu. Ironi sejarah ini menampar siapa saja yang masih berkeras membenarkan agresi Israel. Jika hampir separuh rakyat Amerika sudah sampai pada titik berani menyebut “genosida”, berarti ada erosi total terhadap legitimasi moral Israel di hadapan publik. Seolah dunia berbalik arah: korban sejarah kini dipersepsi publik sebagai pelaku sejarah yang kejam.
Bagi Israel, ini tentu alarm keras. Selama puluhan tahun, mereka bisa merasa aman karena tahu rakyat Amerika cenderung mendukung, dan pemerintah AS pasti membela. Kini, pondasi dukungan itu bergeser. Pew Research bahkan mencatat lebih dari separuh warga AS memandang Israel secara tidak simpatik. Bila citra itu runtuh di negeri sekutu utama, bagaimana Israel bisa menjaga pamornya di dunia internasional? Tak ada lagi “check and balance” moral; yang ada hanyalah keruntuhan legitimasi.
Saya rasa, ini bukan sekadar pergeseran opini. Ini adalah transformasi cara pandang generasi. Mereka yang tumbuh di era digital tidak lagi mudah ditipu bahasa diplomasi. Mereka menyaksikan langsung penderitaan manusia di layar ponsel, tanpa sensor CNN atau Fox News. Sama halnya seperti kita di Indonesia yang bisa langsung menonton video viral tentang bencana atau ketidakadilan tanpa menunggu siaran berita malam, generasi muda Amerika tidak mau lagi dicekoki narasi usang “terrorist versus democracy”. Bagi mereka, Gaza bukan statistik. Gaza adalah wajah, tubuh, suara, dan tangisan nyata.
Maka, runtuhnya citra Israel di Amerika adalah keniscayaan. Seperti gedung tua yang terus digedor badai, suatu hari ia akan ambruk. Survei demi survei hanyalah retakan yang terlihat. Yang runtuh sebenarnya lebih dalam: kepercayaan, simpati, bahkan imajinasi moral tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Bagi banyak warga Amerika, Israel kini tidak lagi menjadi simbol kecil yang gagah melawan ancaman, melainkan negara besar yang menindas bangsa kecil dengan brutal.
Tentu, kita tahu lobi pro-Israel di Washington masih kuat. Uang, jaringan politik, dan media arus utama masih bisa digunakan untuk membela citra. Tetapi bisakah semua itu menahan derasnya opini publik yang terus bergerak? Saya rasa tidak. Karena opini publik di era digital bukanlah air tenang yang bisa ditutup dengan pintu air, melainkan banjir bandang yang menemukan jalannya sendiri.
Kita di Indonesia barangkali bisa merasakan relevansi ini. Betapa sering kita kecewa melihat pemerintah yang jauh dari suara rakyat. Betapa sering nurani publik berkata A, sementara keputusan resmi berkata B. Sama halnya dengan warga Amerika sekarang. Mereka melihat kontradiksi jelas: pemerintah membela Israel, rakyat menginginkan Palestina diakui. Pemerintah mengirim senjata, rakyat meminta roti. Pemerintah berkata “self defense”, rakyat menyebutnya “excessive force”.
Akhirnya, runtuhnya citra Israel di Amerika bukan hanya kabar baik bagi Palestina, tetapi juga refleksi bahwa kebenaran, meski tertatih, akhirnya menemukan jalannya. Jika rakyat Amerika—yang selama ini dikondisikan untuk mendukung Israel tanpa banyak tanya—kini berbalik arah, itu berarti narasi baru sedang lahir. Narasi yang mungkin masih panjang jalannya, penuh rintangan, tetapi tetap memberi harapan bahwa suatu saat Palestina tidak hanya diakui secara formal, melainkan juga hidup bebas sebagai bangsa merdeka.
Dan mungkin, hanya mungkin, di balik layar smartphone anak muda Amerika yang terus menggulir gambar puing Gaza itu, sejarah sedang ditulis ulang. Dengan tinta empati, dengan pena kesadaran, dengan lembar-lembar yang perlahan tapi pasti menutup bab lama hegemoni Israel di mata publik Amerika.
Pingback: Pemuda Amerika Bangkit, Palestina Jadi Nurani Baru