Opini
Pengepungan Politik atas Nama Palestina

Bayangkan sebuah rumah yang dikepung dari segala arah. Di dalamnya, penghuninya sedang bertahan dari serangan api dan peluru. Mereka lapar, haus, dan nyaris tak punya jalan keluar. Namun yang mengetuk pintu bukanlah pemadam kebakaran atau tetangga yang membawa bantuan. Yang datang justru mereka yang selama ini mengaku kawan, tersenyum ramah, lalu berkata, “Serahkan semua senjata kalian, baru kami akan membantu.” Betapa absurd. Betapa getir. Dan ini bukan dongeng. Ini sedang terjadi pada Gaza.
Laporan terbaru menunjukkan bagaimana Turki—yang selama ini kerap mengibarkan bendera pembelaan terhadap Palestina—mulai memberi tekanan pada Hamas untuk melepas senjata dan kembali ke meja negosiasi. Bahasa yang digunakan memang manis, bukan “disarmament” tapi “freeze on weapons”. Seolah-olah bedanya seperti gula pasir dan gula jawa. Padahal intinya sama: Hamas diharapkan tidak lagi punya kemampuan mempertahankan diri. Kita tahu, dalam politik internasional, pemilihan kata adalah seni menutupi maksud.
Mesir ikut bermain. Negara ini, yang berbatasan langsung dengan Gaza, mendorong Hamas agar menerima kerangka kesepakatan yang katanya demi rakyat Palestina. Alasannya bisa ditebak: stabilitas regional. Sinai tak boleh terguncang. Arus pengungsi tak boleh membanjiri perbatasan. Kestabilan domestik lebih penting daripada daya tawar Gaza di hadapan Israel. Dan di tengah semua itu, diplomasi Liga Arab ikut memahat batu nisan kekuatan militer Hamas, walau masih dibungkus dengan retorika kemerdekaan Palestina.
Ironinya, di saat mereka yang mengaku pembela Palestina sibuk merancang “perdamaian” yang memudahkan Israel, para pejuang yang benar-benar mempertaruhkan nyawa—seperti Iran, Yaman, dan Hizbullah—justru diasingkan, dicap radikal, bahkan dijadikan kambing hitam ketidakstabilan kawasan. Ini seperti kisah di kampung: orang yang datang membawa nasi bungkus untuk tetangga yang kebakaran malah diusir karena dianggap mengganggu, sementara orang yang menyiram bensin di api dipuji karena membawakan selang air kecil.
Israel, tentu saja, menikmati tontonan ini. Netanyahu dan koalisinya sudah terang-terangan menolak kompromi yang tidak mencakup “penghapusan Hamas”. Bahkan ada rencana untuk menduduki Kota Gaza sepenuhnya. Dalam logika perang, melemahkan senjata lawan sebelum menyerbu adalah keuntungan strategis. Dan kini, keuntungan itu sedang diberikan oleh negara-negara yang di panggung publik masih menyebut Israel sebagai agresor. Ini adalah layanan emas tanpa harus mengeluarkan sebutir peluru pun.
Hamas sendiri tampaknya sadar bahwa lingkar dukungan diplomatiknya semakin sempit. Meski secara publik mereka menolak keras wacana pelucutan senjata, di balik layar mereka memahami realitas: tekanan datang dari segala arah, dan kartu tawar yang tersisa hanyalah para tawanan serta kekuatan bertahan di terowongan-terowongan Gaza. Tapi melepaskan senjata dalam kondisi pendudukan? Itu seperti menyerahkan payung saat badai belum reda.
Turki berkilah bahwa permintaan itu dikaitkan dengan pembentukan negara Palestina yang berdaulat, lengkap dengan jaminan internasional. Janji manis yang sudah kita dengar entah berapa kali sejak Oslo. Kita semua tahu, di dunia politik, jaminan internasional seringkali hanyalah janji di atas kertas yang dirobek begitu angin kepentingan berubah arah. Dan jika senjata sudah dilepas sebelum janji itu terwujud, maka Gaza hanya akan menjadi wilayah tanpa pelindung, menunggu nasib yang digariskan oleh mereka yang punya kekuatan militer terbesar di kawasan.
Situasi ini mengingatkan saya pada istilah “pengepungan politik”—bukan dengan tank dan bom, tapi dengan meja perundingan, konferensi pers, dan dokumen berstempel resmi. Tekanan tidak datang dalam bentuk blokade fisik, tetapi dalam bentuk isolasi diplomatik, pemangkasan legitimasi, dan penggembosan moral. Yang mengerikan, pengepungan ini dilakukan oleh tangan-tangan yang di depan kamera mengaku membela Palestina.
Kita semua tentu ingin perang berhenti. Tapi perdamaian yang lahir dari penyerahan sepihak bukanlah perdamaian, melainkan penundukan. Di sini letak kemunafikan yang menusuk: negara-negara yang memposisikan diri sebagai “mediator” justru memperkuat tuntutan pihak yang menjajah. Mereka menjadi semacam subkontraktor yang bekerja membersihkan jalan bagi operasi militer Israel berikutnya. Dan ketika Gaza jatuh, mereka akan berkata, “Kami sudah berusaha, tapi Hamas keras kepala.” Sebuah skenario yang terlalu familiar dalam sejarah bangsa-bangsa tertindas.
Sementara itu, Iran, Yaman, dan Hizbullah terus diposisikan di luar lingkar perundingan. Padahal, mereka inilah yang sejak awal konsisten membantu Palestina dengan logistik, senjata, bahkan darah. Tidak ada perjanjian meja bundar yang mereka ikuti, tapi ada medan perang yang mereka masuki. Dan bagi sebagian besar elit diplomasi dunia, komitmen semacam itu lebih berbahaya daripada rudal yang jatuh di tengah kota. Mengapa? Karena komitmen sejati tidak bisa diatur oleh kalender pertemuan atau naskah pernyataan bersama.
Saya rasa, yang sedang kita saksikan adalah pertarungan dua model pembelaan: pembelaan kosmetik yang aman bagi reputasi internasional, dan pembelaan substantif yang mahal harganya dalam bentuk sanksi, isolasi, dan risiko nyawa. Yang pertama mudah mendapat tepuk tangan di forum PBB; yang kedua sering kali hanya mendapat bisikan terima kasih di lorong-lorong sempit Gaza. Tapi sejarah, cepat atau lambat, akan mencatat perbedaan itu.
Dalam konteks lokal, ini seperti melihat pejabat yang sering berfoto di lokasi bencana sambil membawa bantuan simbolis, tapi mengusir relawan yang bekerja diam-diam membawa suplai makanan ke korban. Perbedaannya, di Gaza, “relawan” yang diusir itu memegang kunci keberlangsungan hidup seluruh komunitas. Mengusir mereka sama saja dengan memotong saluran oksigen lalu menyalahkan korban karena tidak bisa bernapas.
Pada akhirnya, kita dihadapkan pada kenyataan yang pahit: pembelaan terhadap Palestina sedang didefinisikan ulang oleh mereka yang tidak pernah merasakan apa itu hidup di bawah pendudukan. Senjata diperlakukan seperti masalah, bukan sebagai konsekuensi dari masalah yang lebih besar: penjajahan itu sendiri. Dan selagi bahasa diplomasi terus dipoles agar terdengar manis, Gaza tetap berdarah, anak-anak tetap kehilangan keluarga, dan Israel tetap memegang kendali penuh atas ritme hidup dan mati di sana.
Itulah ironi terbesar: di bawah bendera “perdamaian”, sebuah pengepungan politik sedang berlangsung. Dijalankan oleh mereka yang mengaku pembela, tapi bekerja—secara langsung atau tidak—untuk kepentingan musuh yang sesungguhnya. Kita boleh menyebutnya strategi, diplomasi, atau realpolitik. Tapi bagi rakyat Gaza, itu hanyalah bentuk lain dari pengkhianatan. Dan pengkhianatan yang dibungkus senyum selalu terasa lebih pahit daripada peluru.