Connect with us

Opini

Darfur: Saat Kamp Pengungsi Jadi Arena Eksekusi

Published

on

Di Abu Shouk, sebuah kamp pengungsi di utara El-Fasher, senapan-senapan kembali menyalak pada hari Senin (11/8), seperti mengulang babak lama yang sudah terlalu sering diputar di Darfur. Rapid Support Forces (RSF) menyerbu dengan cara yang sama sekali tak mengenal lelah, menembaki rumah-rumah reyot dan lorong-lorong sempit, seolah-olah di dalamnya bukan ada manusia, melainkan target di arena latihan tembak. Empat puluh orang tewas, sembilan belas lainnya tergeletak terluka, sementara puluhan ribu yang masih hidup hanya bisa menggenggam rasa takut dan lapar dalam satu genggaman yang rapuh. Yang tragis, ini bukan cerita tunggal. Ini hanya satu bab dari buku penderitaan yang sudah tebal, dengan halaman-halaman yang diisi oleh darah dan angka kematian.

El-Fasher adalah kota terakhir di Darfur yang masih dipegang oleh tentara Sudan, dan mungkin karena itu pula ia menjadi sasaran empuk. RSF sudah menguasai sebagian besar Darfur dan tak lagi sibuk di Khartoum; mereka kini punya waktu luang—jika kata “luang” bisa dipakai untuk menggambarkan kegiatan yang isinya meratakan kamp pengungsi. Serangan ke Abu Shouk hanyalah kelanjutan dari pola yang sudah terlihat jelas sejak mereka mengosongkan ibu kota. Pada April lalu, mereka mengamuk di kamp Zamzam, kamp pengungsi terbesar di Sudan, dan memaksa puluhan ribu orang melarikan diri lagi. Bagi mereka yang sudah kehilangan rumah sekali, dua kali, bahkan tiga kali, kata “pengungsi” sudah bukan status sementara, tapi seperti profesi yang diwariskan.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Zamzam sendiri kini menjadi simbol kebrutalan yang sulit dicerna. Investigasi The Guardian mengungkap bahwa antara 11 sampai 14 April, RSF mengeksekusi massal, menculik, dan menghancurkan komunitas yang selama ini menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi korban perang. Angka awal dari PBB menyebut “ratusan” korban jiwa, tapi tim investigasi lokal kemudian memastikan jumlahnya melampaui 1.500 orang, dan itu pun belum menghitung ratusan lainnya yang hilang entah ke mana. Muhammad Sharif, salah satu anggota komite lokal, menyebut mayat-mayat masih tergeletak di dalam rumah, di ladang, di jalan-jalan. Barangkali ia sudah kehabisan kata-kata, karena pada titik ini, bahasa tidak lagi cukup untuk menampung seluruh bobot horor yang ada.

Yang lebih ironis, semua ini terjadi di tengah bencana kelaparan yang sudah diumumkan PBB sejak tahun lalu di tiga kamp sekitar El-Fasher, termasuk Abu Shouk. Bayangkan: orang-orang yang sudah nyaris mati kelaparan malah menjadi sasaran tembak. Seolah dunia ini kekurangan cara untuk memusnahkan manusia sehingga harus mengombinasikan dua senjata paling efektif: peluru dan perut kosong. PBB bahkan sudah memperingatkan bahwa kelaparan bisa menyebar ke El-Fasher sendiri pada bulan Mei lalu, tapi tak ada langkah besar yang mampu menghentikan laju kehancuran ini. Kekurangan data resmi tentang kelaparan pun menjadi alasan formal yang anehnya justru memberi ruang bagi tragedi ini untuk terus berlangsung tanpa label “resmi”.

Kalau dilihat dari peta, RSF dan tentara Sudan sudah membagi negeri ini menjadi petak-petak kekuasaan. RSF menguasai Darfur dan sebagian selatan, tentara Sudan mengunci diri di utara, timur, dan tengah. Tapi garis demarkasi ini bukan berarti ada zona aman bagi rakyat. Semua wilayah sama saja—rentan, porak-poranda, dan di bawah ancaman konstan. Bedanya hanya, di Darfur, ancaman itu lebih telanjang. Tidak ada jeda untuk membangun kembali, tidak ada kesempatan untuk bernapas.

Konflik ini sudah masuk tahun ketiga dan memakan puluhan ribu nyawa, jutaan orang terusir dari rumahnya. Di dunia yang katanya “saling terhubung”, tragedi sebesar ini bisa saja luput dari perhatian jika tidak diangkat oleh media besar. Sudan kalah populer dibanding perang di Ukraina atau Gaza; tak ada bendera warna-warni yang ramai diunggah di media sosial, tak ada foto selebritas yang memeluk anak-anak Darfur dengan wajah prihatin. Dunia seakan punya daftar prioritas penderitaan, dan Sudan tidak masuk tiga besar.

Padahal, jika mau jujur, pola kekerasan RSF ini tidak kalah mengerikan dibanding kelompok bersenjata mana pun yang pernah masuk daftar hitam internasional. Mereka menembaki kamp pengungsi, mengeksekusi massal, menculik, dan menutup akses bantuan. Tapi nyaris tidak ada sanksi ekonomi yang berarti, tidak ada resolusi Dewan Keamanan yang tajam, apalagi intervensi kemanusiaan besar-besaran. Dunia tampaknya memilih menunggu sampai angka korban cukup besar untuk masuk ke buku rekor horor. Mungkin nanti, jika korban tembus lima ribu dalam satu kejadian, akan ada sidang darurat PBB yang penuh pidato moral, sambil tetap membiarkan pelakunya bergerak bebas.

Sebagian orang akan berkata, “Begitulah politik internasional, selalu soal kepentingan.” Ya, betul. Dan di sini, kepentingan itu jelas tidak berpihak pada korban. Sudan bukan penghasil minyak besar, bukan lokasi pangkalan strategis utama, dan tidak punya nilai simbolik yang menggerakkan massa global. Yang ada hanya jutaan warga biasa yang sudah terlalu lama menjadi korban perang saudara, kelaparan, dan sekarang, pembantaian yang diulang-ulang.

Dari jauh, kita di Indonesia mungkin merasa ini hanyalah berita luar negeri yang jauh sekali relevansinya. Tapi kalau mau jujur, pola seperti ini tidak asing bagi dunia: kekerasan yang dibiarkan karena korban tidak punya nilai tawar di meja politik. Lihat saja bagaimana nasib rakyat Rohingya, atau Palestina di masa-masa awal sebelum dunia mulai menaruh perhatian. Kita tahu rasanya menjadi bangsa yang pernah diabaikan dunia saat dijajah. Bedanya, kita dulu punya momentum dan dukungan politik internasional; mereka di Sudan sepertinya tidak.

Ada semacam ironi pahit ketika kita membaca bahwa di Abu Shouk, orang-orang tewas di tempat yang seharusnya menjadi “safe zone”. Kata “kamp pengungsi” di sini sudah kehilangan makna. Tidak ada bedanya dengan desa biasa yang bisa dibakar kapan saja, atau kota kecil yang bisa dikepung. Di hadapan RSF, garis batas antara warga sipil dan kombatan hanya ada di buku hukum internasional, bukan di lapangan.

Entah berapa lama lagi dunia akan membiarkan Darfur menjadi laboratorium kekejaman. Dan entah berapa lama lagi rakyatnya harus bertahan di tengah kelaparan sambil mendengar deru senjata mendekat. Yang pasti, selama peluru lebih mudah masuk daripada bantuan pangan, dan selama berita kematian hanya menjadi angka dalam laporan, Sudan akan terus menjadi bab sunyi dalam buku besar kemanusiaan dunia—bab yang jarang dibuka, apalagi dibaca, kecuali oleh mereka yang memang mencari kisah paling pahit untuk diingat.

Mungkin nanti, suatu hari, dunia akan menoleh ke Darfur. Bukan karena rasa kemanusiaan yang mendadak tumbuh, tapi karena ada alasan strategis yang baru ditemukan—entah tambang emas, jalur perdagangan, atau sekadar kepentingan politik yang bisa dijual di media. Saat itu, para pemimpin dunia akan berbicara panjang lebar soal penderitaan yang “tak boleh dibiarkan”, sambil menatap kamera dengan ekspresi prihatin yang sudah dilatih. Sayangnya, untuk para korban di Abu Shouk dan Zamzam, momen itu akan datang terlalu terlambat—jika memang datang meski sekali. Karena di dunia ini, ternyata, nyawa manusia tidak diukur dari jumlahnya, tapi dari siapa yang peduli.

 

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Dari Gaza ke Sudan Selatan: Lelucon Pahit di Tengah Perang - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer