Connect with us

Opini

Netanyahu Akui Kalah di Medan Perang Warganet

Published

on

“Hamas berbohong, Israel membawa kebenaran.” Begitu Netanyahu memulai kalimat pdatonya yang diposting di akun X pada 10 Agustus 2025, dengan nada percaya diri khas politisi yang sudah terlalu lama berdiri di panggung dunia. Kalimat itu singkat, tegas, tapi sekaligus telanjang dalam menyingkap tujuan utamanya: membungkus perang dengan kata-kata, menghaluskan kekerasan dengan narasi yang diulang-ulang. Di balik setiap “kebenaran” yang ia klaim, ada ribuan gambar dan video dari Gaza yang berteriak lain. Dan di era ini, sulit sekali memonopoli makna kata truth (kebenaran)—apalagi ketika warganet sudah belajar membongkar topeng bahasa resmi.

Netanyahu memang pandai memainkan retorika defensif-offensif. Ia tahu kapan harus menyebut “penyelamatan warga Gaza dari Hamas” dan kapan harus menghidupkan kembali bayang-bayang Holocaust untuk memukul balik kritik. Itu trik lama: ketika fakta di lapangan sulit dibantah, geser perdebatan ke wilayah emosional-historis yang sarat beban moral. Lalu, siapapun yang mempertanyakan bombardir Gaza akan mudah dicap sebagai bagian dari arus antisemitisme. Di kertas, taktik ini rapi. Di dunia nyata—dan terutama di dunia maya—ia bocor di banyak sisi.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Yang menarik justru datang dari pengakuannya sendiri: Israel kalah di “perang propaganda.” Katanya, algoritma media sosial melawan mereka, dan 60% respons yang menyerang Israel di platform digital hanyalah “bot” yang entah dikendalikan dari mana. Ironis, bukan? Negara yang selama bertahun-tahun digadang-gadang punya mesin lobi dan propaganda digital terbesar, yang mampu membentuk opini di koridor-koridor kekuasaan Washington dan Eropa, kini mengeluh seperti influencer pemula yang kalah trending karena “diserang akun palsu.”

Tapi ini bukan sekadar keluhan. Ini pengakuan bahwa front kedelapan—perang informasi—tidak berjalan sesuai rencana. Dan di sinilah warganet jadi tokoh utama, meskipun tanpa seragam dan senjata. Tagar, thread, infografis, potongan video, semuanya bergerak melintasi batas negara dengan kecepatan yang tidak bisa dihentikan checkpoint militer. Bahkan, akun-akun kecil yang cuma bermodal gawai dan koneksi Wi-Fi di pinggiran Jakarta atau Gaza mampu menembus ruang publik global, membuat narasi resmi terlihat rapuh.

Netanyahu mungkin tidak akan mengakuinya di depan kamera, tapi narasi tandingan ini membuat Israel berada di posisi defensif di ruang wacana internasional. Setiap klaim “kami memberi makan warga Gaza” dibalas foto antrean panjang di tenda bantuan, setiap kalimat “kami memberi peringatan sebelum menyerang” disandingkan dengan video reruntuhan rumah dan jasad anak-anak. Dan ketika ia mencoba mematahkan tuduhan kelaparan dengan contoh tiga anak penderita penyakit genetik, publik malah bertanya: kalau benar bukan karena kelaparan, kenapa PBB, WHO, dan puluhan lembaga kemanusiaan memberi data yang bertolak belakang?

Bagi publik Indonesia, pengakuan Netanyahu tentang kalahnya Israel di perang informasi adalah pengingat bahwa jangkauan suara individu jauh lebih besar dari yang kita kira. Dari obrolan warung kopi sampai ruang Twitter Space, percakapan tentang Palestina tidak lagi bergantung pada siaran berita resmi. Kita bisa membayangkan bagaimana meme, video satir, atau analisis singkat dalam bahasa gaul bisa sampai ke layar ponsel jurnalis di New York atau politisi di Brussel. Dunia digital telah mengubah “suara rakyat” menjadi “senjata global.”

Namun, jangan salah, kekuatan narasi ini bukan hanya soal keberanian mengunggah konten. Ia bertumpu pada jaringan. Setiap posting dibagikan, setiap tagar dipopulerkan, setiap berita dibedah ulang oleh kreator konten di berbagai belahan dunia. Itulah mengapa Israel, meski dengan dukungan sumber daya miliaran dolar untuk kampanye digital, tak mampu sepenuhnya menguasai narasi. Bukan karena kurang pintar atau kurang canggih, tapi karena sifat internet itu sendiri—terdesentralisasi, sulit dikendalikan, dan, yang paling mengganggu bagi mereka, demokratis dalam distribusi informasi.

Ada ironi pahit di sini. Netanyahu, yang ingin menggambarkan Hamas sebagai satu-satunya sumber penderitaan Gaza, justru membuka pintu bagi publik dunia untuk memeriksa ulang klaimnya. Setiap kali ia menuding media internasional termakan “propaganda Hamas,” ia sebenarnya mengundang pembuktian balik. Dan di dunia maya, pembuktian balik itu datang dalam hitungan menit, lengkap dengan arsip video, tangkapan layar, dan kesaksian warga sipil.

Bila perang di Gaza adalah tragedi yang memakan korban nyawa, maka perang informasinya adalah drama yang memakan kredibilitas. Israel, yang dulu punya reputasi “menguasai cerita sebelum cerita itu ditulis,” kini harus berhadapan dengan ribuan jurnalis warga yang bekerja tanpa gaji dan tanpa izin resmi, tapi punya keunggulan: mereka ada di lokasi, mereka merekam secara real-time, dan mereka tidak takut kehilangan akses karena memang tidak diberi akses dari awal.

Tentu saja, di balik semua ini, ada pertanyaan yang lebih besar: seberapa kuat perang informasi bisa mengubah jalannya perang fisik? Sejarah menunjukkan bahwa opini publik global bisa memengaruhi keputusan politik—lihat saja Vietnam atau apartheid di Afrika Selatan. Tekanan opini publik yang konsisten, ditambah biaya politik yang semakin mahal bagi sekutu Israel, bisa memaksa perubahan strategi. Dan Netanyahu tahu itu. Mungkin inilah alasan mengapa ia terdengar gusar saat bicara soal algoritma dan bot—karena ia sadar bahwa kekalahan di ranah narasi bisa jadi awal dari kekalahan diplomatik.

Bagi kita di Indonesia, ada pelajaran yang membumi. Selama ini, kita sering merasa terlalu jauh untuk “benar-benar berpengaruh” pada isu Palestina. Tapi kenyataannya, setiap unggahan, setiap diskusi daring, setiap upaya meluruskan fakta, adalah bagian dari riak yang membentuk gelombang. Bahkan ketika pemerintah-pemerintah besar berhitung soal keuntungan politik, tekanan dari basis massa—yang dibentuk lewat narasi—bisa mengubah posisi mereka.

Netanyahu mungkin akan terus menyebut lawannya pembohong, menyamakan kritik dengan kebencian kuno terhadap Yahudi, dan memuji “prestasi” militer Israel di Gaza. Tapi dari pengakuannya tentang perang propaganda yang tidak dimenangkan, kita tahu satu hal: cerita itu tidak lagi milik satu pihak. Dunia sudah berubah. Dan di dunia yang baru ini, kebenaran tidak datang dari podium konferensi pers, tapi dari kamera di tangan orang biasa.

Kalimat “Hamas berbohong, Israel membawa kebenaran” yang ia lontarkan mungkin dimaksudkan sebagai penutup argumen. Namun, di tangan warganet, kalimat itu justru menjadi bahan bakar untuk membongkar narasi. Ia berfungsi seperti lampu sorot yang tak sengaja diarahkan ke retakan dinding sendiri. Karena di era ini, siapa pun yang mengaku memonopoli kebenaran justru sedang mengundang pengadilan opini publik—dan di pengadilan itu, hakimnya adalah semua orang yang memegang ponsel dan koneksi internet.

Kalau kita bedah dari pengakuan Netanyahu soal kekalahan Israel di perang propaganda, ada beberapa strategi digital yang jelas-jelas sudah membuat mereka tertekan. Menariknya, banyak di antaranya bukan lahir dari ruang rapat lembaga besar, melainkan dari kreativitas warganet yang bergerak organik.

Pertama, kekuatan dokumentasi real-time. Rekaman langsung dari warga Gaza—meski sering kali diambil dengan kamera ponsel sederhana—membawa bobot moral yang sulit dilawan. Foto dan video yang diunggah beberapa menit setelah serangan terjadi menutup celah bagi Israel untuk mengendalikan narasi awal. Dalam komunikasi massa, momentum awal ini krusial; siapa yang menguasai kesan pertama, punya peluang besar mempengaruhi persepsi jangka panjang.

Kedua, framing kreatif dan adaptif. Gerakan pro-Palestina di media sosial jarang menggunakan bahasa kaku seperti “statement resmi”. Sebaliknya, mereka memadukan fakta lapangan dengan meme, infografis, dan bahasa santai. Hasilnya, pesan mudah menyebar ke generasi muda yang tidak membaca laporan panjang. Israel dengan narasi resmi yang serba formal sering terlihat kaku—dan di dunia digital, kaku berarti kalah cepat.

Ketiga, penggabungan fakta dan humor satir. Humor, terutama satir yang menusuk, terbukti menjadi senjata efektif. Potongan video pidato Netanyahu yang diedit dengan musik sarkastik atau teks overlay sering viral bukan karena isinya lucu semata, tapi karena ia memadatkan kritik politik menjadi format yang bisa dikonsumsi dalam 15 detik. Humor memotong jarak emosional, membuat orang yang awalnya netral jadi penasaran untuk tahu konteksnya.

Keempat, kolaborasi lintas isu dan komunitas. Banyak akun pro-Palestina menyadari bahwa isu ini tidak berdiri sendiri. Mereka mengaitkan Palestina dengan perjuangan anti-kolonial, anti-rasisme, hingga hak asasi manusia secara umum. Dengan begitu, jaringan dukungan meluas ke aktivis lingkungan, feminis, hingga komunitas seni. Ini membuat narasi pro-Palestina punya banyak pintu masuk ke audiens yang sebelumnya tidak fokus pada isu Timur Tengah.

Kelima, memanfaatkan kelemahan lawan. Setiap kali Netanyahu atau pejabat Israel mengeluarkan pernyataan yang kontradiktif atau mudah dibantah, potongan itu cepat dikemas menjadi bahan viral. Contoh klasik adalah ketika klaim “kami memberi makan warga Gaza” disandingkan dengan laporan resmi PBB tentang kelaparan. Di era digital, kontradiksi adalah bahan bakar yang meledak di tangan lawan jika dimanfaatkan dengan cepat.

Keenam, jaringan distribusi terdesentralisasi. Gerakan ini tidak tergantung pada satu akun besar. Ketika satu akun diblokir atau dibatasi, ribuan akun lain siap melanjutkan distribusi konten yang sama. Ini membuat serangan balik Israel di ranah digital (seperti melaporkan atau men-take down akun) tidak pernah sepenuhnya berhasil.

Ketujuh, penggunaan bahasa lokal untuk audiens global. Akun-akun pro-Palestina di Indonesia, misalnya, memproduksi konten dalam bahasa Indonesia yang kemudian diterjemahkan atau diadaptasi oleh jaringan internasional. Sebaliknya, konten dari Arab, Turki, atau Barat bisa cepat diterjemahkan ke bahasa lokal. Ini memperluas jangkauan tanpa kehilangan konteks budaya.

Jika strategi-strategi ini terus dijalankan dan diperkuat, posisi Israel di front kedelapan ini akan makin terdesak. Dana miliaran tidak selalu bisa membeli legitimasi di mata publik digital. Justru otentisitas, konsistensi, dan kolaborasi lintas batas lah yang membuat gerakan ini kuat. Netanyahu benar dalam satu hal: perang informasi menentukan akhir dari perang yang sebenarnya. Tapi ia keliru jika mengira itu hanya soal “menyebarkan kebenaran” versi pemerintah. Di era internet, kebenaran tidak tinggal di ruang konferensi pers—ia bersirkulasi di jutaan layar, disunting, dibagikan, dan diperdebatkan oleh orang-orang yang tidak menunggu izin siapa pun untuk berbicara.

2 Comments

2 Comments

  1. Pingback: Netanyahu di Ambang Kehilangan Negeri - vichara.id

  2. Pingback: Netanyahu di Ujung Tali yang Mulai Rapuh - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer