Opini
Saudi–UEA dan Jalur Sunyi yang Membantu Genosida Gaza

Kapal kargo itu tampak biasa saja di kejauhan, menyusuri laut menuju pelabuhan Genoa. Catnya kusam, badannya besar, namanya Bahri Yanbu—nama yang, ironisnya, dalam bahasa Arab berarti “mata air.” Tapi yang mengalir dari kapal ini bukan air kehidupan, melainkan muatan kematian: senjata, amunisi, dan perlengkapan perang. Rutin saja prosesnya, katanya. Datang dari Baltimore, singgah sebentar, lalu berangkat lagi, mengangkut perangkat pembunuh menuju tangan yang sudah basah darah. Kalau bukan karena 40 pekerja pelabuhan yang memutuskan untuk naik ke dek dan memeriksa isi perutnya, mungkin tak ada yang tahu. Mereka menemukan kebenaran yang bahkan para politisi sering pura-pura buta: kapal itu mengangkut senjata untuk Israel, di tengah genosida yang sedang berlangsung di Gaza. Dan yang lebih getir, kapal ini dioperasikan oleh perusahaan pelayaran milik Saudi Arabia, negara yang di depan publik masih rajin mengulang lagu lama tentang “dukungan pada kemerdekaan Palestina.”
Kita tahu, politik internasional itu penuh basa-basi. Tapi ada tingkat kebohongan yang begitu jahat hingga membuat basa-basi terasa seperti lelucon murahan. Saudi dan UEA sedang mempertontonkan level itu. Di muka umum, mereka membungkus diri dengan jubah solidaritas Arab, menuntut “pembentukan negara Palestina” sebagai syarat normalisasi hubungan dengan Israel. Namun di balik layar, ada jalur-jalur logistik yang mereka buka, udara yang mereka izinkan untuk dilintasi jet-jet Israel, bahkan rute darat yang dirancang rapi untuk mem-bypass blokade Yaman. Barang-barang datang ke pelabuhan UEA, diangkut lewat darat menembus Saudi dan Yordania, lalu masuk ke Israel melalui Jembatan Raja Hussein. Tak ada tanda tangan besar di depan kamera, tak ada pita peresmian, tapi infrastruktur kematian itu berjalan mulus.
Yang membuatnya semakin mengiris adalah kesadaran bahwa semua ini dilakukan sambil mengumandangkan retorika tentang “perdamaian” dan “kemakmuran kawasan.” UEA bahkan memperdalam kerja sama pertahanan lewat pembicaraan untuk membeli drone Hermes 900 dari Elbit Systems—perusahaan Israel yang teknologinya sudah teruji di medan perang Gaza. Jadi, kalau nanti drone itu beterbangan di langit kawasan, kita tidak perlu heran siapa yang memodali dan siapa yang mengasah kemampuannya. Di era ini, perang bisa jadi hanya perpanjangan dari bisnis, dan bisnis bisa jadi lebih berdarah daripada perang itu sendiri.
Bagi Saudi, bantuan itu tidak selalu berbentuk kiriman peti senjata secara terang-terangan. Terkadang cukup dengan membiarkan jalur udara terbuka, atau memberi fasilitas bagi logistik yang “secara resmi” tidak menuju medan perang, tapi entah bagaimana akhirnya tiba di sana. Bahkan seorang mantan kolonel intelijen Saudi, Rabih al-Anzi, pernah blak-blakan mengatakan bahwa Riyadh membantu mempersenjatai Israel karena kekurangan amunisi akibat perang Ukraina. Ia juga mengakui bahwa Saudi membantu Israel dalam perang melawan Iran dengan membuka ruang udara dan memfasilitasi intersepsi drone. Pernyataan ini mungkin tak akan dibacakan di sidang PBB, tapi gema kebohongannya cukup nyaring bagi siapa saja yang mau mendengar.
Mungkin ada yang akan berkata: “Ah, politik itu rumit. Saudi dan UEA punya kepentingan keamanan sendiri.” Baiklah, kita bisa terima argumen itu—kalau saja mereka tidak menjualnya sambil membungkus diri dengan klaim membela Palestina. Yang terjadi sekarang mirip seperti tetangga yang setiap hari ikut nimbrung menangis di rumah duka, tapi diam-diam menyewakan mobilnya untuk mengangkut para pembunuh. Lucu? Tidak. Tragis? Sangat.
Ironisnya, perlawanan nyata justru datang dari buruh pelabuhan di Italia atau Prancis—orang-orang yang tidak punya jet pribadi atau kursi di forum internasional. Mereka yang memutuskan, cukup sudah, kami tak akan bekerja untuk perang. Mereka memblokir kapal, menolak memuat kargo senjata, bahkan siap menghadapi risiko hukum dan kehilangan pekerjaan. Dan di sisi lain, para pangeran minyak itu sibuk menandatangani kontrak, membuka jalur logistik, dan menyiapkan meja perundingan bisnis. Sulit untuk tidak merasa muak melihat kontras ini: di satu sisi, rakyat biasa mempertaruhkan mata pencaharian demi menghentikan kematian, di sisi lain, negara-negara kaya justru memperlancar arusnya.
Di Indonesia, kita sering menganggap dunia Arab sebagai saudara seiman, tempat kiblat menghadap, sumber inspirasi perjuangan. Tapi kenyataannya, sebagian dari mereka malah menjadi simpul penting dalam rantai pasokan yang menyalakan mesin pembunuh di Gaza. Solidaritas ternyata tidak otomatis datang hanya karena satu bahasa atau satu agama. Bahkan mungkin, di dunia yang diatur oleh kalkulasi geopolitik, “solidaritas” hanyalah kata hiasan di pidato-pidato musim haji.
UEA dan Saudi suka berbicara tentang “stabilitas kawasan.” Stabilitas versi mereka rupanya adalah memastikan perdagangan tetap lancar, bahkan kalau itu berarti memfasilitasi pihak yang sedang membombardir rumah sakit, sekolah, dan kamp pengungsian. Mereka juga fasih bicara tentang “pembangunan ekonomi”—yang entah kenapa selalu bisa berjalan seiring dengan peningkatan industri senjata. Ini bukan sekadar ironi, ini adalah bentuk kemunafikan yang diformalisasi, diberi tanda tangan resmi, dan dibungkus dalam protokol diplomatik.
Ada pepatah Arab yang sering dikutip: Man syabba ‘ala syai’in syabba ‘alaihi—barang siapa tumbuh dengan satu kebiasaan, akan terus hidup dengannya. Mungkin pepatah itu tepat untuk menggambarkan bagaimana sebagian penguasa Teluk tumbuh dalam kebiasaan melihat perang sebagai peluang. Perang menjadi pasar, dan pasar harus dijaga agar tetap hidup. Gaza hanyalah satu titik di peta, di mana kontradiksi itu menjadi telanjang: di layar televisi, mereka mengutuk pengeboman; di gudang logistik, mereka memfasilitasinya.
Lalu kita bertanya-tanya: kalau negara-negara Arab besar saja bisa menutup mata, apa yang bisa diharapkan dari dunia Barat yang secara terbuka mempersenjatai Israel? Jawabannya sederhana: jangan terlalu berharap. Justru yang patut diharapkan adalah solidaritas lintas batas dari rakyat biasa, pekerja pelabuhan, aktivis, dan semua yang berani mengganggu jalannya mesin perang.
Dan mungkin, di antara semua kebohongan yang berlapis itu, ada satu kebenaran pahit yang harus kita hadapi: genosida tidak hanya dilakukan oleh mereka yang menekan tombol peluncur rudal. Ia juga dilakukan oleh mereka yang membuka pintu, menyuplai bahan bakar, merancang jalur logistik, dan menganggap nyawa manusia sebagai variabel kecil dalam neraca keuntungan. Dalam hal ini, UEA dan Saudi telah memilih peran mereka—dan sayangnya, itu bukan peran sebagai pembela Gaza, melainkan sebagai bagian dari infrastruktur yang membuat Gaza terus berdarah.
Kalau ada yang ingin membantah, silakan. Tapi sebelum bicara panjang lebar soal “diplomasi” dan “kompleksitas geopolitik,” mungkin ada baiknya menatap foto-foto anak-anak Gaza yang kurus kering karena kelaparan, mendengar rekaman tangisan di bawah reruntuhan rumah, lalu menjawab dengan jujur: jalur darat, ruang udara, dan kontrak senjata itu—apakah sungguh bukan bagian dari kejahatan? Jawabannya mungkin akan membuat kita semua tertawa getir.
Pingback: UE-Israel: Diplomasi Palsu Mengkhianati Palestina