Opini
Brigade Hasmonean dan Ironi di Ujung Bajonet Tua Israel

Militer pendudukan zionis resmi membentuk brigade baru. Namanya: Brigade Hasmonean. Satuan infanteri cadangan, katanya. Namun jangan bayangkan wajah-wajah segar dari kamp pelatihan militer yang berbaris dengan dada tegap dan seragam yang masih wangi deterjen. Tidak. Yang dikumpulkan untuk brigade ini adalah pria-pria berusia 50 hingga 55 tahun. Rambut yang menipis, lutut yang tak lagi sekuat dulu, dan mata yang mungkin kini lebih sering buta arah ketimbang tajam menatap musuh. Sebuah langkah “inovatif”, tentu saja—bukan karena daya tempurnya, tetapi karena menunjukkan dengan gamblang betapa warasnya sistem militer ini mulai dipertanyakan.
Zionis sepertinya sedang kehabisan pilihan. Setelah hampir setahun membombardir Gaza dengan brutalitas tak pandang bulu, hasilnya bukan kemenangan, tetapi akumulasi luka yang membusuk di tubuh tentaranya sendiri. Yedioth Ahronoth—media yang bukan bagian dari propaganda anti-zionis—mengabarkan bahwa lebih dari 18.500 serdadu mereka terluka sejak Oktober 2023. Jumlah ini diperkirakan akan melonjak hingga 100.000 pada 2028. Angka itu bukan hasil tebak-tebakan pasar, melainkan proyeksi realistis dari sistem militer yang mulai menyerupai rumah sakit berjalan. Dan luka-luka itu, mari kita ingat, bukan hanya sobekan daging atau tulang yang patah. Tapi juga jiwa-jiwa yang runtuh dalam senyap—trauma psikologis yang tak bisa dijahit dengan morfin atau medali kehormatan.
Lalu, datanglah si brigade baru. Hasmonean. Nama yang mengangkat kembali mitos heroisme Yahudi dari zaman dahulu kala. Tapi di balik glorifikasi nama sejarah itu, brigade ini tampak seperti proyek tambal sulam dalam darurat perang. Isinya: para bapak tua yang dulu mungkin sempat aktif di ketentaraan, tapi kini lebih cocok jadi pemandu hiking daripada pasukan infanteri. Ini bukan lelucon. Brigade ini disusun untuk menjalankan “misi perlindungan perbatasan”, dengan status penuh sebagai unit tempur.
Tak heran jika langkah ini didukung dengan gegap gempita oleh para politisi sayap kanan di Knesset. Almog Cohen, salah satunya, menyambut brigade ini sebagai bentuk perluasan kekuatan zionis. Ini adalah momen ketika politik militeristik bertemu krisis sumber daya manusia, lalu menyamarkannya sebagai visi strategis. Padahal, ini hanyalah bentuk lain dari panik yang dibungkus pidato optimisme.
Dan bicara soal panik, mari tengok satu segmen lain dari populasi yang kini diseret-seret ke arena perang: kaum Haredi. Komunitas ultra-Ortodoks ini, yang selama ini dikenal keras menolak wajib militer, kini perlahan tapi pasti ditarik masuk oleh militer zionis ke dalam barak-barak pelatihan. Sekitar 50 dari mereka telah menjalani tujuh bulan pelatihan dan kini resmi mengenakan baret biru gelap khas Brigade Hasmonean. Upacara pelantikan mereka pun dihias kata-kata manis: “Tentara dan Taurat berjalan bersama, bahu membahu,” kata MK Boaz Bismuth. Pernyataan yang terdengar seperti satire bila diucapkan di tengah komunitas yang selama puluhan tahun menganggap tentara sebagai lawan ideologis dari kehidupan religius mereka.
Namun, tak semua Haredi mau dibujuk dengan baret dan bendera. Para rabbi besar, dalam konferensi terakhir mereka, kembali menegaskan bahwa para pelajar yeshiva “diharamkan” untuk masuk ke dalam kerangka militer, bahkan yang katanya “ramah agama.” Mereka tahu, di balik semua narasi integrasi dan patriotisme itu, ada jeratan politis yang lebih besar—mengorbankan satu generasi demi perang yang tak ada akhirnya. Dari 80.000 pria Haredi usia 18–24 yang seharusnya memenuhi panggilan militer, hanya 2.700 yang mendaftar tahun lalu. Angka yang membuat militer zionis kebakaran jenggot dan para politisi nasionalis menyalakan kompor sektarian.
Situasi ini, jika dibaca dengan jujur, menggambarkan tiga hal: pertama, krisis personel yang akut; kedua, kebuntuan sistem rekrutmen militer; dan ketiga, degenerasi institusional dari pasukan yang dulunya dikenal disiplin dan profesional, kini mulai terlihat seperti campuran karikatural dari para kakek perang dan santri yang dipaksa angkat senjata. Sebuah pemandangan yang mengundang simpati sekaligus ironi.
Ironi ini semakin terasa jika kita tarik ke konteks lokal. Di Indonesia, sering kita dengar komentar bernada kagum terhadap kekuatan militer zionis. Mereka disebut presisi, strategis, bahkan “superior” secara teknologi. Tapi kekaguman seperti itu kadang lahir dari jarak yang terlalu jauh dan narasi yang terlalu rapi. Bila kita lihat dari dekat, seperti lewat laporan ini, wajah asli militer zionis tampak lebih remuk dari yang mereka izinkan muncul di media arus utama.
Di medan Gaza yang diporak-porandakan, militer zionis mungkin masih punya bom pintar dan drone canggih, tapi di dalam negeri mereka, mereka kehabisan prajurit, kehilangan arah moral, dan kini menyuruh bapak-bapak ikut berperang. Di saat Hamas tetap bisa bertahan, bahkan kadang menyerang balik, zionis justru mengatur ulang barisan karena kehilangan terlalu banyak tentara—bukan karena kalah teknologi, tapi karena kalah determinasi dan keyakinan.
Saya jadi teringat percakapan dengan seorang veteran Indonesia, yang bilang: “Perang itu soal stamina batin, bukan cuma logistik.” Dalam hal ini, stamina batin zionis tampaknya mulai keropos. Upaya membentuk brigade dari generasi senja dan memaksa Haredi ikut serta bukanlah tanda kekuatan, tapi keputusasaan yang dipoles dengan jargon nasionalis.
Ada yang menyebut ini sebagai strategi darurat. Ada pula yang menyebutnya langkah akomodasi internal. Tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai strategi desperasi yang dibungkus mitos heroisme. Brigade Hasmonean bukan langkah maju, tapi sebuah isyarat bahwa zionis mulai berjalan mundur—dengan kaki tua dan tekad yang makin rapuh. Ia adalah karikatur militerisme di era kelelahan struktural.
Maka, jika Anda membaca laporan ini sambil tersenyum getir, itu wajar. Realitas kadang memang terlalu absurd untuk ditanggapi dengan kemarahan, dan terlalu nyata untuk diabaikan begitu saja. Kemenangan sejati, dalam sejarah panjang dunia, bukan milik mereka yang paling banyak rudalnya, tapi mereka yang tetap punya nurani, bahkan ketika seluruh dunia mendorong mereka untuk ikut menembakkan peluru.
Dan itulah yang tak dimiliki Brigade Hasmonean. Sebab di antara senjata, baret, dan seragam tua itu, yang paling hilang adalah alasan yang benar untuk bertempur.