Opini
Mayoritas Warga AS Tolak Serangan Israel di Gaza

Enam puluh persen warga Amerika kini menyatakan tidak setuju dengan tindakan militer Israel di Gaza. Enam puluh persen. Bukan sekadar angka dalam survei, tapi seperti gema kegelisahan yang menyeruak dari reruntuhan bangunan: bahwa bahkan di negeri yang selama ini dikenal paling loyal kepada “sekutu demokrasinya” di Timur Tengah, publiknya mulai bertanya-tanya, “Apa sebenarnya yang sedang kita dukung?”
Laporan Gallup ini bukan laporan biasa. Ia menyingkap kenyataan yang selama ini dibungkus rapi dalam propaganda dan politik luar negeri: bahwa dukungan terhadap Israel bukan lagi konsensus universal di Amerika Serikat. Naiknya ketidaksetujuan dari 45% pada November 2023 menjadi 60% pada Juli 2025 adalah indikator perubahan atmosfer moral. Sesuatu telah retak di jantung opini publik, dan retakan itu bukan sekadar soal perang di tanah jauh, tapi soal kelelahan terhadap kebohongan yang terus-menerus diulang.
Barangkali warga AS tak bisa lagi menutup telinga dari jeritan bayi Gaza yang terkubur di bawah puing-puing rumah. Atau dari tayangan rumah sakit yang hancur, sekolah yang rata dengan tanah, wajah-wajah anak kecil yang tampak lebih tua dari usia mereka. Mungkin mereka mulai sadar bahwa “hak membela diri” bisa menjadi slogan paling keji jika yang dibela adalah kekuasaan, dan yang dikorbankan adalah manusia yang tak punya perlindungan.
Dan di tengah semua itu, berdirilah kembali di Gedung Putih sosok yang dikenal karena tak punya jeda dalam menyampaikan sesuatu secara blak-blakan: Donald J. Trump. Setelah mengalahkan Joe Biden dalam pemilu 2024, Trump kembali ke tampuk kekuasaan dengan gaya lamanya—frontal, dingin, dan antikompromi. Ia tak memerlukan pidato panjang untuk menjelaskan kebijakan luar negerinya. Cukup satu kalimat: “Bomb them.” Simpel, brutal, dan sayangnya, efektif untuk sebagian pendukungnya.
Namun, ada yang berubah. Meskipun Trump kembali berkuasa dan mendukung Israel seperti biasa, mayoritas rakyat Amerika justru mulai muak. Dukungan terhadap tindakan militer Israel runtuh, terutama di kalangan anak muda dan independen. Di kelompok usia di bawah 35 tahun, hanya 10% yang masih menyetujui serangan ke Gaza. Tampaknya, video pendek di TikTok dan potongan rekaman drone dari Gaza lebih berhasil membuka mata generasi muda daripada pidato siapa pun di Kongres.
Sementara Netanyahu—perdana menteri yang rasanya lebih cocok disebut sebagai veteran panggung geopolitik—mengalami penurunan reputasi paling tajam di mata publik AS sejak 1997. Hanya 29% warga AS yang memandangnya positif, sementara 52% menyatakan tidak suka. Sebuah ironi besar, mengingat ia datang ke Washington awal Juli dengan harapan menghidupkan kembali simpati Amerika. Tapi, yang ia bawa pulang bukan dukungan, melainkan data-data kekecewaan.
Namun, seperti biasa, Partai Republik tetap menjadi tiang terakhir dalam rumah retoris Israel. Sekitar dua pertiga dari anggota partai ini masih memandang Netanyahu sebagai pemimpin tegas dan sekutu strategis. Mungkin karena mereka menyukai gaya kasar yang membingkai kejahatan sebagai keberanian. Atau karena, bagi sebagian besar politikus sayap kanan, yang penting bukan siapa yang dibunuh, tapi siapa yang dianggap “teman dalam narasi besar”.
Trump, sebagai presiden aktif, mendapat dukungan luar biasa dari basis Republikan. Gallup mencatat sekitar 80% pendukung partai tersebut menyetujui pendekatannya terhadap situasi Timur Tengah. Bandingkan dengan Biden tahun lalu, yang bahkan dari partainya sendiri hanya mengantongi 40% dukungan. Barangkali, dalam politik Amerika, pendekatan penuh empati kini kalah populer dibanding retorika tanpa malu.
Tapi rakyat tidak sepenuhnya ikut arus. Justru di tengah kebijakan luar negeri yang semakin brutal, suara-suara di akar rumput mulai muncul. Survei Gallup menunjukkan bahwa masyarakat—terutama anak muda, independen, dan Demokrat progresif—sudah tidak lagi bisa diajak mengamini pengeboman rumah warga sipil atas nama keamanan. Gaza bukan lagi wilayah asing. Ia hadir di layar ponsel, di unggahan Instagram, di debat kampus, di ruang-ruang digital yang tak bisa dibungkam oleh satu siaran resmi.
Survei ini dilakukan dari 7 hingga 21 Juli, periode yang cukup strategis: saat kelaparan di Gaza menjadi isu global, dan sebelum Trump akhirnya menyatakan keprihatinannya atas kondisi kemanusiaan. Ini menunjukkan satu hal penting: opini publik Amerika bergerak lebih cepat dari para elite. Rakyat mendahului pemimpinnya dalam melihat absurditas yang selama ini ditutupi kata-kata manis.
Dan kita di Indonesia? Entah karena terlalu fokus pada koalisi politik lokal, atau karena diplomasi kita makin hari makin hambar, suara negara ini nyaris tak terdengar dalam isu Palestina. Padahal kita punya sejarah panjang dalam menolak penjajahan. Kita dulu memboikot apartheid Afrika Selatan, menolak hubungan dengan Israel, dan menyuarakan solidaritas. Tapi kini, sebagian besar kita hanya menghela napas, menulis “#PrayForGaza”, lalu kembali men-scroll video lucu.
Yang ironis, justru warga Amerika yang mulai sadar. Mereka yang selama ini dicap sebagai pendukung buta Israel kini justru menunjukkan empati yang lebih tulus. Mereka mendirikan tenda di kampus, menolak skorsing, melawan represi. Mereka tahu mereka bisa kalah secara hukum, tapi menang secara moral. Mereka tahu, sejarah mencatat bukan hanya siapa yang membunuh, tapi siapa yang diam.
Israel selalu menyebut diri sebagai negara yang dikelilingi musuh. Tapi barangkali, musuh terbesar mereka kini adalah kesadaran global. Ketika bahkan sekutu terdekat mulai ragu, dan rakyat negara itu mulai menolak, maka ada sesuatu yang tak bisa lagi disembunyikan. Kebenaran—meski disensor, ditekan, atau dikaburkan—selalu menemukan jalannya.
Gallup tidak sedang membentuk opini. Mereka hanya mencatatnya. Tapi catatan itu seperti alarm yang berbunyi di malam hari: mengganggu, bising, dan mustahil diabaikan.
Pada akhirnya, dunia tidak akan menilai siapa yang lebih kuat atau siapa yang punya senjata lebih canggih. Dunia akan menilai siapa yang masih punya hati. Dan dalam konteks ini, mayoritas warga Amerika sedang berkata—dengan cara yang sederhana tapi tegas: “Cukup.”
Mereka mungkin terlambat, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Pingback: Runtuhnya Citra Israel di Amerika - vichara.id