Connect with us

Opini

Sweida Berdarah: Saat Kuasa Tak Lagi Butuh Rakyat

Published

on

Satu pekan, seribu tiga ratus sebelas nyawa melayang. Seribu tiga ratus sebelas. Di tanah yang katanya sudah terlalu kenyang dengan darah, rupanya masih ada ruang untuk pembantaian baru. Sweida, provinsi selatan Suriah yang selama ini dikenal sebagai wilayah tenang kaum Druze, meledak dalam kekerasan yang digambarkan oleh Syrian Observatory for Human Rights sebagai “pembantaian yang belum pernah terjadi sebelumnya.” Sebuah ironi yang menyayat: bahkan dalam negeri yang telah menyaksikan jutaan kematian, masih ada kategori ‘belum pernah terjadi sebelumnya’.

Kekerasan dimulai pada Minggu, 13 Juli. Yang terlibat bukan entitas asing, bukan zionis yang dijadikan kambing hitam segala tragedi Timur Tengah, bukan pula monster dalam bayangan retorika anti-Barat. Yang terlibat adalah pemerintah Suriah sendiri, bersama milisi suku Badui, melawan warga Druze yang selama ini memilih jalur semi-netral, hidup di antara ketakutan dan harapan palsu. Pemerintah, seperti biasa, tidak datang membawa bantuan atau reformasi. Mereka datang membawa peluru, kendaraan lapis baja, dan hasrat lama untuk menunjukkan siapa sebenarnya yang berkuasa.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Angka-angka dalam laporan itu tak punya emosi, tapi menyisakan kepedihan yang diam-diam menyelinap ke ulu hati siapa pun yang masih menganggap manusia sebagai sesuatu yang penting. Dari total korban, 637 berasal dari Sweida sendiri. Termasuk 104 warga sipil—anak-anak, perempuan, dan mungkin seorang lelaki tua yang masih percaya bahwa tanah kelahirannya bukanlah kuburan massal. Sebanyak 196 dari mereka dieksekusi di lapangan. Eksekusi. Bukan terbunuh dalam pertempuran. Itu artinya ada jeda. Ada waktu untuk berpikir. Tapi nyatanya, keputusan untuk membunuh tetap diambil. Ratusan kali.

Mereka tidak mati karena salah sasaran. Mereka dieksekusi karena telah menjadi “yang lain”—entah karena keyakinan, asal suku, atau sekadar karena berada di tempat yang salah saat pemerintah ingin menunjukkan kekuatan. Pemerintah macam apa yang merasa berdaulat dengan menghabisi warganya sendiri?

Yang lebih menarik—dan sekaligus lebih menggelikan—adalah respons dunia. Laporan ini nyaris tak mengguncang ruang redaksi media-media besar. Tidak ada headline besar seperti ketika satu rudal nyasar di Eropa Timur. Tidak ada kampanye avatar profil di media sosial, tidak ada hashtag viral, tidak ada air mata diplomatik dari para pemimpin dunia. Mungkin karena yang mati bukan dari golongan elite global, atau mungkin karena mereka tak cukup ‘instagrammable’ untuk dikabarkan. Darah warga Sweida tak se-viral darah dari barat.

Namun satu hal tetap berjalan seperti biasa: bahasa diplomasi. Sejak 21 Juli, sebuah gencatan senjata yang ditengahi Amerika diberlakukan. Ya, Amerika, negara yang berjarak ribuan kilometer tapi tetap ingin menjadi mak comblang kekuasaan di mana pun bisa. Mereka datang membawa janji damai dan ancaman masuk daftar sponsor terorisme. Tidak ada yang benar-benar baru. Amerika datang bukan karena cinta damai, tapi karena takut kekacauan ini menjalar ke wilayah yang mereka anggap strategis. Gencatan ini juga disertai kesepakatan tukar tahanan—1.300 tahanan dari pihak pemerintah ditukar dengan 110 tahanan dari pihak Druze. Seperti barter barang di pasar loak, nyawa manusia dinegosiasikan dengan angka ganjil.

Ironi lain muncul saat Israel—negara yang namanya biasa dikaitkan dengan semua masalah Timur Tengah—ikut campur dengan gaya khas mereka: lewat udara. Serangan udara Israel menewaskan beberapa orang Suriah, termasuk warga sipil. Mereka bahkan sempat menerbangkan balon termal di atas langit Shahba—sebuah “peringatan,” katanya. Ketika negara penjajah bisa seenaknya masuk wilayah negara lain dan hanya meninggalkan balon, bukan mawar atau roti, kita tahu bahwa sistem internasional kita sedang sakit parah.

Dan di tengah semua kekacauan itu, kita bertanya: siapa yang memimpin? Di Sweida, pemimpin Druze yang dihormati, Sheikh Hikmat al-Hijri, jadi simbol perlawanan moral. Tapi kekuasaan tak cukup dijaga dengan moralitas. Sementara di pusat kekuasaan, Assad masih duduk di kursinya, ditemani para jenderal tua dan pemuda-pemuda berdarah dingin yang merasa perang adalah satu-satunya cara bertahan. Rezim ini tak dibentuk lewat pemilu, tapi lewat puing-puing kota, reruntuhan sekolah, dan mayat yang tak sempat dikuburkan. Maka, kekerasan bukanlah penyimpangan, melainkan sistem itu sendiri.

Jika kita bertanya kenapa kekerasan seperti ini terus berulang, jawabannya sederhana dan menyedihkan: karena mereka yang memimpin tak pernah benar-benar mewakili siapa pun, kecuali bayangan kekuasaan mereka sendiri. Rezim yang lahir dari senjata akan memerintah dengan senjata. Dan saat senjata bicara, suara rakyat hilang ditelan peluru.

Sweida bukan sekadar wilayah yang terbakar. Ia adalah simbol dari kegagalan panjang negara-negara yang kehilangan hakikatnya—sebagai pelayan rakyat—dan berubah menjadi mesin kekuasaan yang digerakkan oleh dendam sejarah, sekat sektarian, dan kerakusan atas teritori. Ketika pemimpin naik bukan karena kepercayaan, tapi karena mampu menggulingkan yang sebelumnya, maka kekuasaan bukan lagi amanah, tapi rampasan. Maka jangan heran jika rakyat pun akhirnya membalas dengan cara yang sama: bukan lewat pemilu, tapi lewat peluru.

Dan untuk kita yang jauh dari sana, tinggal di negeri yang sibuk memperdebatkan gaya rambut presiden dan siapa yang lebih nasionalis dari siapa, mungkin kita bisa belajar sesuatu dari Sweida. Bahwa demokrasi bukan soal rutinitas lima tahunan, tapi soal siapa yang memegang kekuasaan, bagaimana dia mendapatkannya, dan kepada siapa ia mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Kita patut bersyukur bahwa meski demokrasi kita retak di sana-sini, kita belum sampai pada titik di mana warga sipil harus memilih: mati dibombardir pemerintahnya sendiri atau dieksekusi oleh milisi lokal.

Tapi jangan cepat berpuas diri. Karena jika kita terus membiarkan kekuasaan lahir dari manipulasi, dari politik adu domba, dari kultus individu, dari lembaga yang disulap jadi alat legitimasi palsu—maka kita hanya sedang mengatur waktu sebelum tragedi serupa mengetuk pintu kita sendiri.

Sweida adalah cermin retak dari dunia Arab, dan mungkin dari dunia kita sendiri. Cermin itu tidak memantulkan wajah indah kebangsaan atau solidaritas umat, tapi bayangan muram tentang manusia yang kehilangan arah, karena terlalu lama dipimpin oleh mereka yang naik ke tampuk kuasa bukan untuk melayani, melainkan untuk menaklukkan.

Dan dalam dunia seperti itu, nyawa cuma statistik. Keadilan cuma jargon. Dan kekuasaan? Ya, seperti kata orang tua di kampung saya: “kalau naiknya pakai bedil, turunnya pasti pakai darah.”

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer