Connect with us

Opini

Warga Yunani Hadang Turis Israel: Solidaritas Hidup!

Published

on

Ketika kapal pesiar MS Crown Iris milik perusahaan pelayaran Israel Mano Maritime tiba di pelabuhan Syros, Yunani, pada 22 Juli lalu, yang menyambutnya bukanlah irama liburan musim panas atau senyum pelayan lokal. Bukan pula denting gelas dari restoran tepi pantai. Yang menanti justru adalah ratusan warga pulau itu, berdiri teguh dengan tangan mengangkat spanduk: “Stop the genocide.” Bendera Palestina berkibar di tengah kerumunan yang tak sedikit. Antara 120 hingga 300 orang hadir di pelabuhan, menghadang sebuah kenyamanan mewah demi suara nurani yang lebih besar.

Kapal itu mengangkut sekitar 1.600 warga Israel. Mereka dijadwalkan turun selama enam jam untuk menikmati suasana pulau yang damai. Namun, protes itu mengubah segalanya. Tak satu pun penumpang turun. Mereka tertahan di kapal, bukan karena kekerasan, bukan pula karena ancaman. Seorang penumpang bahkan mengakui kepada media Israel Walla, “Para demonstran tidak membahayakan kami.” Tapi ketidakterancaman itu tidak menghapus satu hal penting: bahwa mereka tidak diterima. Tidak disambut. Dan itu adalah bentuk penolakan moral yang paling tenang, namun paling menggugah.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Aksi ini tidak disulut oleh negara. Tak ada instruksi dari pemerintah Yunani, tak ada larangan resmi dari aparat. Justru yang bertindak adalah rakyat biasa. Warga Pulau Syros memanfaatkan media sosial untuk mengajak sesama melakukan aksi solidaritas. Mereka menulis dengan jelas bahwa selama rakyat Palestina dibantai, tidak layak bagi turis dari negara pelaku untuk menikmati waktu liburan di tempat mereka. “Kami angkat tangan kami dalam solidaritas untuk Gaza,” tulis mereka.

Menteri Luar Negeri Israel Gideon Saar bahkan harus menghubungi langsung Menlu Yunani, Giorgos Gerapetritis, meminta penyelesaian atas insiden ini. amun tak ada intervensi yang berarti. Kapal akhirnya dipaksa meninggalkan pelabuhan dan diarahkan ke Limassol, Siprus. Maka terciptalah satu momen penting dalam sejarah perlawanan sipil: bahwa kekuatan moral masyarakat bisa mengubah rute kapal pesiar yang mewah—dan mungkin, jika dikembangkan lebih luas, juga dapat mengubah arah sejarah.

Yang terjadi di Yunani bukan insiden tunggal. Seminggu sebelumnya, dua tentara Israel ditahan sementara oleh kepolisian Belgia saat menghadiri festival musik Tomorrowland. Laporan tersebut diajukan oleh Hind Rajab Foundation (HRF), lembaga yang aktif mengkampanyekan proses hukum bagi pelaku kejahatan perang Israel. Kedua tentara itu memang akhirnya dilepaskan, namun kejadian ini menjadi sinyal jelas bahwa pasukan Israel tak lagi aman bepergian ke negara-negara yang peduli pada hukum internasional.

Hal yang lebih mengejutkan terjadi di Brasil. Seorang tentara cadangan Israel yang tengah berlibur harus menghentikan kunjungannya lebih cepat setelah seorang hakim federal membuka penyelidikan atas dugaan keterlibatannya dalam pembongkaran rumah-rumah warga sipil di Gaza. Gugatan ini pun didorong oleh HRF. Hal ini membuktikan bahwa impunitas yang selama ini menyelimuti tentara Israel mulai dipreteli satu per satu oleh kesadaran masyarakat global.

Menghadapi kenyataan ini, militer Israel mulai mengambil langkah defensif. Pada Januari 2024, mereka menerapkan kebijakan ketat untuk membatasi peliputan terhadap tentara aktif. Larangan itu diberlakukan demi mencegah risiko hukum jika para tentara bepergian ke luar negeri. Ini bukan tindakan spekulatif. Ini respons atas kenyataan bahwa mereka tahu: dunia mulai mencatat. Satu demi satu pelaku diidentifikasi, disimpan dalam arsip, dan bersiap untuk proses hukum.

Apa yang terjadi di Syros, Belgia, dan Brasil menunjukkan bahwa kekuatan negara bukan satu-satunya alat untuk menegakkan keadilan. Saat diplomasi lumpuh dan PBB dipolitisasi, masyarakat sipil melangkah. Mereka memikul beban moral yang seharusnya ditunaikan negara. Mereka menyuarakan ketidakadilan, tidak dari mimbar, tapi dari pelabuhan, dari festival, dari pengadilan alternatif. Di sinilah rakyat menjadi aktor utama dalam konstelasi politik global.

Kita di Indonesia seharusnya tidak asing dengan gerakan semacam ini. Sejak masa Konferensi Asia Afrika 1955, Indonesia dikenal sebagai pembela tegas hak kemerdekaan Palestina. Namun seiring waktu, tekanan ekonomi, politik luar negeri, dan kepentingan pragmatis mulai mengikis keberanian itu. Di saat negara semakin diplomatis dalam bersikap, justru masyarakat terus konsisten menyuarakan solidaritas: melalui kampanye boikot, penggalangan dana, mural, hingga demonstrasi jalanan. Tapi apakah ini cukup?

Pertanyaan itu patut kita renungkan bersama. Bayangkan jika kapal yang sama bersandar di Pelabuhan Benoa, Bali. Apakah kita akan bersikap seperti warga Syros? Ataukah kita memilih diam demi pemasukan turis? Ini bukan sekadar pertanyaan idealistis. Ini soal keberanian mengambil posisi etis di tengah dunia yang membiarkan genosida terjadi secara terbuka—dan bahkan difasilitasi.

Dan tentu, ini bukan tentang membenci bangsa tertentu atau menolak individu karena identitas. Ini tentang menolak kenyamanan yang dibangun di atas reruntuhan rumah sakit, jenazah anak-anak, dan kehancuran massal. Ini tentang memutus rantai normalisasi terhadap penjajahan. Karena jika kita terus membiarkan “keseharian” mereka berjalan seperti biasa, sementara Gaza terus dihantam tanpa ampun, maka kita pun ikut bersalah dalam diam.

Aksi warga Syros tidak hanya memblokir kapal secara fisik. Mereka memblokir ilusi bahwa dunia bisa terus berjalan seolah-olah tak terjadi apa-apa di Gaza. Mereka memblokir kenyamanan palsu yang mengabaikan luka sebuah bangsa. Dan mereka melakukannya tanpa kekerasan, tanpa senjata, hanya dengan keberanian dan solidaritas. Di zaman ketika semua terasa tumpul, tindakan seperti ini adalah percikan yang menyala.

Di Indonesia, kita mungkin belum sampai pada titik itu. Tapi kita punya modal: kesadaran publik, semangat solidaritas, dan jejak sejarah. Yang kurang hanyalah keberanian untuk mengambil sikap yang berisiko. Kita bisa menolak, kita bisa menyuarakan, kita bisa bertanya lebih keras: apakah universitas kita akan terus bekerja sama dengan institusi Israel? Apakah produk-produk yang memberi keuntungan bagi penindas masih kita anggap netral? Apakah kita sanggup menyambut pelancong dari negara penjajah dengan senyum, sementara jenazah bergelimpangan di Rafah?

Apa yang dilakukan masyarakat dunia saat ini bukan semata-mata bentuk amarah. Ia adalah bagian dari kesadaran kolektif bahwa ketika negara tak mau atau tak mampu berbuat apa-apa, rakyat masih bisa memilih untuk tidak tunduk. Masih bisa menolak menjadi bagian dari kebungkaman massal. Dunia baru bisa berubah ketika ada cukup banyak orang yang berani berdiri meski harus sendirian di awal. Dan ketika mereka berdiri bersama, kapal pun bisa dipaksa berbalik arah.

 

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Hotel Eropa Tolak Warga Israel karena Genosida Gaza

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer