Connect with us

Opini

Ketika Pasukan Gagah Mulai Lelah: Krisis di Balik Seragam Loreng Zionis

Published

on

Sekitar 300 posisi perwira tempur kini kosong di tubuh tentara pendudukan zionis. Satu per satu, pos komando tingkat peleton kehilangan pemimpinnya. Di satu sisi, dunia mengenal mereka sebagai kekuatan militer superior, penuh kecanggihan dan keangkuhan strategi. Tapi di sisi lain, seperti yang dilaporkan Maariv, realitasnya mulai retak. Seseorang harus mulai bertanya: apa jadinya ketika pasukan yang biasa menggempur tanpa ampun, kini tak punya cukup orang untuk memimpin barisan?

Krisis ini bukan sekadar catatan administratif. Ini luka terbuka dari tubuh yang kelelahan. Tubuh yang selama ini dijejali mitos tak terkalahkan—yang ternyata, ketika dipaksa terus menerus berperang, mulai pincang sendiri. Satu-dua perwira mati. Puluhan terluka. Ratusan enggan kembali. Dan ribuan lainnya memilih tidak naik pangkat, tak mau ambil risiko jadi pemimpin di medan yang tak menjanjikan kehormatan, apalagi hidup.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Ini bukan situasi yang biasa. Sejak awal perang di Gaza bergulir, militer zionis terus membesarkan sayap: menambah unit, membentuk peleton tambahan, memperluas komando. Tapi semua itu dilakukan seperti menambal dinding bocor dengan perban. Dalam waktu singkat, Armored Corps membesar 30%, pasukan teknik tempur nyaris dua kali lipat. Tapi perwira untuk memimpin semua itu? Tak ada. Kosong. Bisu. Dan rakyatnya tahu, tapi memilih menengadah ke langit, seolah-olah roket Iron Dome bisa menyembuhkan luka moral.

Bayangkan sebuah pasukan besar yang terus bergerak, tapi sopirnya mulai kabur satu-satu. Bayangkan pasukan teknik yang harus menjinakkan ranjau dan bom rakitan, tapi tak punya kepala tim. Bayangkan pasukan cadangan dipanggil pulang, lalu diminta bertempur tanpa pelatihan lanjutan, tanpa kejelasan arah, tanpa perwira. Kini, para komandan dari unit reguler dan cadangan harus naik panggung sebelum sempat belajar naskahnya. Seolah dunia ini adalah panggung sandiwara, dan tentara zionis dipaksa jadi aktor dadakan dalam tragedi yang mereka tulis sendiri.

Krisis ini tak berdiri sendiri. Ia berdampingan dengan kehilangan yang nyata. Maariv menyebut, banyak perwira gugur dalam perang ini. Yang masih hidup pun banyak yang belum bisa berdiri lagi, baik secara fisik maupun mental. Medan Gaza bukan padang pasir kosong. Ia adalah labirin kepiluan yang dipenuhi jebakan, terowongan, dan perlawanan tanpa pamrih. Dan para perwira zionis, meski berdiri dengan senapan canggih dan helm pintar, tetap manusia—tetap bisa gugur, dan tetap bisa takut.

Lucunya, di tengah situasi ini, Netanyahu masih terus mendorong mesin perang. Seolah-olah dengan menekan tombol “lebih banyak serangan”, semua kekosongan akan terisi sendiri. Padahal, jika ia membuka laporan-laporan militer, ia akan tahu bahwa tentara yang ia suruh maju itu sedang berjalan sambil pincang. Tapi tentu, kekuasaan sering membuat orang buta pada arah, tuli pada peringatan, dan terlalu sibuk menghitung suara pendukung daripada menghitung jenazah pasukannya.

Kenapa perang ini terus dipaksakan? Karena bagi sebagian elit zionis, perang bukan lagi soal keamanan. Ini proyek politik. Proyek citra. Proyek kelangsungan jabatan. Netanyahu tahu betul, selama ada musuh di luar, publik tak sempat mengutuk kegagalannya di dalam. Maka Gaza dibombardir. Lebanon ditekan. Suriah diganggu. Bahkan Iran pun diprovokasi. Sementara pasukannya sendiri sudah mulai bertanya: “Kita sebenarnya sedang berperang untuk apa?”

Dalam perspektif lokal, kita—yang duduk di ruang tamu, menyaksikan berita sambil menyeruput kopi atau mengetuk layar ponsel—kadang lupa bahwa di balik keangkuhan militer zionis, ada krisis yang mendalam. Kita terlalu terbiasa melihat mereka sebagai mesin penghancur, lupa bahwa mesin pun bisa aus. Lupa bahwa ketika mesin itu dipaksa terus bekerja tanpa jeda, ia bisa meledak dari dalam. Dan suara ledakannya akan terdengar jauh, bahkan sampai ke meja-meja diplomasi dunia.

Sekarang, para perwira muda enggan masuk pelatihan. Tidak mau naik jadi komandan. Mereka tahu, jabatan itu bukan lagi kehormatan, tapi tiket satu arah menuju luka atau liang kubur. Generasi muda di sana mulai membaca ulang makna “membela negara”. Mereka bertanya: membela siapa? Membela apa? Gaza sudah luluh lantak. Dunia mulai mencibir. Dan mimpi tentang “keamanan jangka panjang” kini terasa lebih absurd dari ilusi damai buatan film-film Hollywood.

Tapi seperti biasa, para pembuat kebijakan terlalu asyik dengan peta dan kalkulasi angka. Mereka lupa bahwa perang bukan soal angka. Ia soal nyawa. Soal luka yang tak bisa dihitung dengan statistik. Dan semakin hari, nyawa yang dikorbankan bukan hanya dari rakyat Palestina yang dibombardir tanpa jeda, tapi juga dari para pemuda zionis yang dimasukkan ke dalam mesin perang tanpa persiapan cukup, tanpa arah yang jelas.

Ada ironi yang pahit di sini. Ketika sebuah entitas kolonial terlalu percaya diri dengan kekuatan senjatanya, ia sering lupa membangun kekuatan moral. Zionis, sejak lama, terlalu percaya pada mitos bahwa semua bisa diselesaikan dengan kekerasan. Tapi sekarang, pasukannya mulai lelah. Mentalnya runtuh. Perwiranya hilang. Dan moral pasukannya compang-camping, seperti baju loreng yang sudah lusuh.

Di tengah absurditas ini, kita pun belajar satu hal: tak ada kekuatan yang abadi jika dibangun di atas ketakutan, penjajahan, dan kekejaman. Gaza yang diblokade dan dihancurkan justru melahirkan generasi pejuang yang tak gentar. Sementara para pemuda zionis, yang hidup dalam sistem militeristik sejak remaja, kini mulai lelah. Bukan hanya lelah fisik, tapi lelah moral. Lelah atas dusta yang diulang-ulang: bahwa mereka berperang demi keamanan, padahal mereka dikirim untuk mempertahankan proyek kolonial.

Dan seperti cerita klasik dari sejarah panjang imperium yang runtuh, kekalahan tidak selalu datang dari luar. Kadang, ia datang dari dalam. Dari ruang-ruang gelap di markas militer. Dari bangku kosong di pelatihan perwira. Dari perwira yang enggan kembali ke medan perang. Dari rakyat yang mulai muak dan bertanya: “Kapan semua ini selesai?”

Netanyahu mungkin masih percaya bahwa dengan menambah serangan, menambah tekanan, menambah front, ia bisa mengalahkan dunia. Tapi ia lupa satu hal: ketika pasukanmu sendiri mulai menolak berjalan, sekeras apa pun kamu mendorong dari belakang, mereka tak akan sampai ke garis kemenangan. Karena kekuatan sejati bukan ada pada jumlah tank atau jet, tapi pada keyakinan orang-orang yang mengoperasikannya.

Dan jika keyakinan itu telah hilang, maka kekalahan bukan soal kemungkinan—tapi soal waktu.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer