Opini
Netanyahu Diapit Tekanan Ultranasi dan Religius

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tengah berjibaku, bukan hanya melawan Hamas di Gaza, tapi juga melawan bom waktu yang berdetik di dalam rumahnya sendiri—koalisi pemerintah yang sewaktu-waktu bisa meledak karena perang ego dan kepentingan sektoral. Dalam satu pekan yang menyesakkan, dua kutub ekstrem dari pemerintahannya mengancam hengkang: kaum ultranasionalis yang ingin perang abadi dan kaum ultra-Ortodoks yang ingin anak-anaknya tetap di bangku yeshiva, jauh dari medan tempur. Jika ini bukan pemandangan surealis, lalu apa?
Netanyahu memanggil dua menterinya yang paling keras kepala—Itamar Ben Gvir dan Bezalel Smotrich. Di hadapan mereka, ia bukan lagi pemimpin dengan otoritas penuh, tapi seperti mediator dalam keluarga yang keras kepala: satu anak ngotot terus marah kalau ada jeda pertengkaran (alias gencatan senjata), satu anak lainnya ngambek jika disuruh ikut bersih-bersih rumah (alias wajib militer). Kedua anak ini sama kerasnya, sama bisingnya, dan sama-sama merasa paling benar.
Ben Gvir, yang memimpin partai Otzma Yehudit, sudah terang-terangan menyatakan akan keluar dari koalisi jika Netanyahu menandatangani kesepakatan baru dengan Hamas. Menurut dia, menyelamatkan para sandera—yang sebagian besar adalah warga sipil Israel sendiri—adalah bentuk kelemahan. Dalam dunia pikirnya yang penuh paradoks, menyelamatkan nyawa warga Israel malah dianggap mengkhianati semangat nasionalisme. Ironisnya, pria ini adalah Menteri Keamanan Nasional.
Lebih dari 640 hari perang telah berlalu. Kota-kota di Gaza telah luluh lantak. Ribuan nyawa melayang. Tapi bagi Ben Gvir, penghentian sementara pun dianggap “lemah”. Ini bukan lagi soal strategi, ini soal teologi kekuasaan. Ia tidak ingin Hamas selamat, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan tawanan sendiri. Maka, jangan heran kalau di benaknya, menyelamatkan 10 sandera hidup dan membawa pulang 18 jenazah dianggap sebagai “kekalahan”.
Sebaliknya, Smotrich yang mengepalai Partai Zionisme Religius tampak berada di tengah persimpangan. Ia belum mengancam keluar, tapi sudah bersiap menentang jika langkah Netanyahu terlalu “lunak” pada Hamas. Keduanya—Smotrich dan Ben Gvir—sudah pernah menggertak sebelumnya. Bahkan Ben Gvir sudah sempat keluar dari koalisi awal tahun ini, lalu kembali bergabung ketika perang kembali memanas. Seolah perang adalah tiket masuk dan keluar dari kekuasaan yang bisa dikantongi kapan saja.
Di sisi lain dari spektrum, tekanan datang dari Shas dan United Torah Judaism—dua partai ultra-Ortodoks yang bernafsu besar untuk mempertahankan keistimewaan mereka dalam sistem wajib militer. Mereka menuntut agar Netanyahu segera menyodorkan rancangan undang-undang yang membebaskan pelajar yeshiva dari kewajiban menjadi tentara. Jika tidak, mereka mengancam akan keluar dari koalisi. Masalahnya, ini bukan hanya gertakan. Shas bahkan dilaporkan sudah menyiapkan skenario “keluar bareng” bersama semua anggota legislatif ultra-Ortodoks.
Lucunya, di tengah krisis keamanan nasional dan tekanan dari komunitas internasional, pembicaraan genting di dalam pemerintahan justru soal bagaimana menghindarkan satu kelompok dari ikut perang, sementara kelompok lainnya menuntut agar perang tak pernah berhenti. Kalau ini adalah bab dalam novel satir politik, mungkin judulnya akan berbunyi: “Negara di Persimpangan: Mau Berperang Terus atau Tidak Mau Perang Sama Sekali?”
Dalam sistem parlementer seperti Israel, pemerintahan berdiri di atas keseimbangan tipis: 67 dari 120 kursi di Knesset. Jika Otzma Yehudit (6 kursi) dan Religious Zionism (7 kursi) keluar, Netanyahu masih bisa bertahan—meski seperti orang yang berjalan di atas tali sambil membawa beban batu. Tapi kalau Shas dan United Torah Judaism ikut keluar, pemerintahan ini runtuh seketika. Bukan karena kalah perang, tapi karena kalah berkompromi.
Sementara itu, di Doha, negosiasi sedang berlangsung. Israel—yang ingin mengambil napas sejenak dari mimpi buruk yang tak berujung—sedang berusaha mencapai kesepakatan 60 hari gencatan senjata. Tapi, bahkan upaya itu pun menghadapi jalan buntu. Hamas menolak proposal terbaru soal penarikan pasukan IDF, meski Israel telah bersedia melakukan penyesuaian. Pihak-pihak yang paling berkepentingan dengan penghentian perang justru tidak duduk di meja negosiasi: mereka duduk di kursi pemerintahan Netanyahu dan mengancam akan menarik dukungan jika perang dihentikan.
Publik Israel pun mulai kehilangan kesabaran. Mereka menuntut pembebasan sandera. Mereka juga mulai muak dengan penghindaran wajib militer oleh kelompok tertentu. Di saat ribuan anak muda dikirim ke garis depan, para siswa yeshiva terus belajar kitab suci tanpa sentuhan medan tempur. Keadilan sosial menjadi bahan guyon sinis di jalan-jalan Yerusalem dan Tel Aviv. Bahkan warga yang dulu loyal pada pemerintahan Netanyahu mulai bertanya: “Apakah negeri ini sedang dijalankan oleh kepentingan rakyat, atau oleh sandera politik bernama koalisi?”
Netanyahu, yang dulunya dikenal lihai menjinakkan oposisi, kini justru dikepung oleh sekutu-sekutunya sendiri. Mereka bukan hanya saling bersaing memaksakan agenda, tapi juga berlomba menjadi penghalang terbesar bagi upaya normalisasi situasi. Dalam koalisi yang begitu beragam dan bertentangan secara prinsipil, tidak ada strategi jangka panjang—yang ada hanya kompromi jangka pendek. Dan seperti semua kompromi yang buruk, itu hanya menunda kehancuran, bukan mencegahnya.
Dari kacamata luar, situasi ini terlihat semakin absurd. Dunia sedang menyorot konflik berkepanjangan di Gaza, menuntut penyelesaian damai, mengutuk penderitaan warga sipil, dan menyerukan gencatan senjata. Tapi di dalam negeri, para elite politik Israel justru mempersoalkan hal-hal yang, dalam banyak demokrasi modern, akan dianggap tak masuk akal: kenapa siswa agama tak wajib militer? Kenapa menghentikan perang itu salah? Kenapa menyelamatkan sandera dianggap tunduk pada terorisme?
Di sinilah letak tragedi sekaligus ironi Israel hari ini. Sebuah negara yang dibangun dengan mimpi kebebasan dan perlindungan rakyatnya kini terjebak dalam tarik-menarik kekuasaan yang tak lagi memperhitungkan nyawa. Seperti layang-layang yang ditarik dari dua arah yang saling berlawanan: satu ke langit konfrontasi abadi, satu lagi ke tanah eksklusivisme religius. Dan sang pilot? Ia hanya ingin layang-layang itu tetap di udara, apapun caranya.
Mungkin Netanyahu percaya bahwa selama ia bisa menjaga keseimbangan ini, ia masih bisa bertahan. Tapi sejarah politik tidak ramah pada mereka yang hanya ingin bertahan tanpa arah. Dan rakyat, cepat atau lambat, akan menghitung berapa banyak harga yang harus dibayar demi ambisi satu orang dan kepuasan segelintir kelompok. Ketika politik menjadi permainan bertahan hidup, bukan lagi alat untuk melayani publik, maka negara akan terus berjalan—tapi tanpa jiwa. Dan itulah tragedi sesungguhnya.
Sumber:
- https://www.timesofisrael.com/pm-said-expecting-ben-gvir-to-resign-from-government-if-hostage-truce-deal-finalized/
- https://www.ynetnews.com/article/rjtfybzieg