Opini
Pemerintah Suriah Sibuk Merayu Musuh, Warganya Dibiarkan Berdarah

Bentrokan sengit pecah pada Senin malam di wilayah selatan Suriah, menyebabkan sedikitnya 37 orang tewas dan memicu gelombang pengungsian besar-besaran di provinsi Sweida.. Kalimat pembuka dalam laporan itu terdengar seperti berita biasa, namun sebenarnya menyimpan tragedi yang jauh dari biasa. Di bawah langit Sweida yang pernah damai, kini peluru menggantikan doa, dan jerit ketakutan menggantikan suara azan. Setidaknya 37 nyawa manusia melayang—bukan karena bencana alam, bukan karena wabah mematikan, tapi karena negara absen saat ia paling dibutuhkan. Lagi-lagi.
Konflik ini terjadi antara kelompok bersenjata Druze—yang sebagian besar adalah warga lokal yang merasa punya hak membela diri—dan kelompok suku Badui di sekitar bandara militer al-Thalaa. Dalam istilah diplomatik, ini disebut “konfrontasi antar faksi.” Tapi dalam bahasa sehari-hari warga, ini adalah “kacau balau.” Tak ada yang betul-betul tahu siapa musuh siapa, siapa yang pertama menyerang, siapa yang bersenjata legal dan siapa yang liar. Tapi yang jelas, yang mati tetap orang biasa. Dan yang pergi tetap penduduk sipil yang mencari selamat.
Laporan Al Mayadeen dan SOHR menyebutkan bahwa Kementerian Pertahanan Suriah akhirnya mengirim bala bantuan. Tentu saja, setelah 37 orang tewas dan ribuan lainnya mengungsi. Terlambat memang, tapi jangan khawatir—kalau soal unjuk kekuatan di layar televisi, pemerintah Assad memang jagonya. Pengiriman pasukan itu lebih terasa sebagai pertunjukan ketimbang penyelamatan. Lebih seperti formalitas demi mempertahankan citra, daripada refleksi dari kepedulian terhadap warga Sweida yang sudah bertahun-tahun merasa dilupakan.
Kota Khalkhala ditinggalkan penduduknya. Mereka lari ke arah kota Sweida, berharap pertempuran tidak menembus pusat kota. Di desa al-Surah, pasukan bersenjata mengambil alih. Di desa al-Tayra, kelompok lokal merebut kembali kendali. Dan di antara semua itu, ada anak-anak yang tidak tahu siapa yang menembak dan kenapa rumah mereka terbakar. Mereka hanya tahu bahwa hari itu tidak ada sekolah, tidak ada makan malam, dan tidak ada pelukan malam dari ibu yang juga sudah menghilang entah ke mana.
Kelompok Rejal al-Karamah—sebuah gerakan yang lahir dari tanah Druze dengan nilai kehormatan dan kemandirian—akhirnya mengeluarkan pernyataan yang tajam, bahkan menusuk: bahwa kerusuhan ini adalah buah dari pembiaran sistematis negara. Jalan penghubung vital antara Damaskus dan Sweida, kata mereka, dibiarkan tanpa perlindungan. Serangan terhadap warga sipil dibiarkan berulang. Dan pemerintah, seperti biasa, hanya akan bicara setelah darah mengering dan kamera datang. Seperti orang tua yang baru marah setelah anaknya terjatuh, padahal ia sendiri yang mendorongnya ke jurang.
Yang lebih menggelikan—dan menyakitkan dalam waktu bersamaan—adalah ketika kita melihat prioritas pemerintah Assad saat ini. Alih-alih memperbaiki sistem keamanan internalnya, negara ini justru sibuk merias wajah di panggung internasional. Lewat jalur belakang, sejumlah media dan diplomat menyebut adanya geliat normalisasi antara Suriah dan Israel. Ya, Israel. Negara yang selama ini disebut “musuh abadi” oleh narasi resmi Damaskus. Negara yang merampas Dataran Tinggi Golan—tanah Suriah—dan hingga hari ini tetap bercokol di sana tanpa gangguan.
Bayangkan, ketika warganya sendiri tertembak oleh konflik horizontal karena negara abai, pemerintah Assad malah melirik-lirik ke Tel Aviv, berharap dilirik balik. Hubungan yang dulu disebut “mustahil,” kini berubah menjadi “mungkin,” bahkan “strategis.” Sebuah transformasi yang mengejutkan? Tidak juga. Di dunia politik, nilai bisa ditukar asal kursnya menguntungkan.
Pertanyaannya: kenapa warga Sweida yang harus membayar ongkos dari kebijakan luar negeri yang mendua itu? Kenapa jalan ke Tel Aviv disiapkan mulus, sementara jalan ke Sweida dibiarkan berlubang dan berdarah? Kenapa yang diperjuangkan adalah legitimasi internasional, sementara legitimasi dari rakyat sendiri dibiarkan membusuk?
Sikap Rejal al-Karamah—yang meskipun mengedepankan mediasi tapi tetap menyatakan bahwa hak bela diri itu “non-negotiable”—bisa dibaca sebagai isyarat putus asa. Mereka ingin damai, tapi tahu bahwa perdamaian tanpa kekuatan hanyalah impian kosong. Mereka menyerukan ketertiban sipil, tapi sadar bahwa di negeri seperti Suriah, hukum tak lebih dari selembar kertas di tangan orang-orang bersenjata.
Dan, mari jujur: siapa yang bisa menyalahkan mereka? Ketika institusi resmi lebih sibuk membangun jembatan diplomatik dengan musuh eksternal demi kembalinya modal asing dan status internasional, siapa yang peduli pada desa-desa kecil di selatan yang hangus terbakar? Ketika elit di Damaskus sedang menghitung potensi investasi pasca-normalisasi, rakyat kecil di Sweida sedang menghitung mayat.
Di titik ini, absurditas menjadi sangat nyata. Negara yang dulu selalu menjual retorika “perlawanan” dan “kedaulatan,” kini terlibat dalam pembicaraan damai dengan penjajah. Sementara komunitas minoritas yang loyal, seperti Druze di Sweida, justru dijadikan tumbal karena mereka tidak punya daya tawar politik yang menguntungkan. Ini seperti seseorang yang lupa membayar utangnya pada tetangga tapi sibuk mengundang bank internasional untuk membuka rekening baru.
Tak bisa tidak, kita harus mengingatkan: inilah bentuk ketidakadilan yang paling menyakitkan—ketika negara bukan hanya gagal hadir, tapi juga secara aktif membiarkan luka itu bernanah. Ketika narasi besar tentang diplomasi justru dibangun di atas reruntuhan rumah rakyat sendiri. Dan ketika wacana “perdamaian regional” justru memperparah ketegangan internal yang belum pernah benar-benar sembuh sejak perang saudara dimulai lebih dari satu dekade lalu.
Mungkin di tengah kacaunya situasi ini, ada yang merasa cukup dengan mengatakan: “Yah, ini memang Suriah. Sudah biasa.” Tapi, justru di sanalah letak kegilaan yang perlu ditolak: ketika kematian menjadi rutin, ketika pengungsian menjadi norma, ketika pemerintah membungkam rasa malu atas kegagalannya dengan diplomasi pura-pura.
Dalam banyak hal, Suriah hari ini bukan sekadar medan konflik, tapi cermin buram bagi banyak rezim di kawasan yang lebih sibuk mempertahankan kekuasaan daripada membela rakyat. Yang lebih takut kehilangan kursi daripada kehilangan kepercayaan. Yang lebih cepat membalas kritik luar negeri daripada merespons jeritan dalam negeri.
Dan mungkin, dalam getirnya ironi ini, kita—yang jauh di luar Suriah—juga patut belajar: bahwa kehormatan sebuah negara bukan ditentukan oleh siapa yang diajak berdamai di konferensi luar negeri, tapi oleh siapa yang merasa aman di dalam rumahnya sendiri. Jika itu hilang, maka negara bukan lagi rumah, tapi hanya bangunan megah tanpa jiwa.
Begitulah Sweida mengingatkan kita. Bahwa negara bisa gagal. Bahwa musuh bukan selalu di luar sana. Dan bahwa terkadang, pengkhianatan terbesar justru datang dari yang seharusnya melindungi.