Opini
Eropa Sedang Kalah: Simfoni Sunyi dari Benua Tua

Eropa Barat sedang “kalah” dalam persaingan ekonomi dengan dua rival utamanya, Tiongkok dan Amerika Serikat, serta kesulitan karena kekurangan perusahaan yang mampu bersaing secara global, demikian disampaikan CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon.
Kalimat ini bukan sekadar headline dari dunia korporasi. Ia adalah alarm dini dari ujung piramida keuangan global. Jamie Dimon tidak sedang menyindir dalam jamuan makan malam. Ia menyampaikan sebuah kenyataan getir: Eropa tak lagi jadi pusat kekuatan dunia. Ia tak lagi berada di barisan depan, melainkan tergopoh-gopoh mengejar bayang-bayang kejayaannya sendiri.
Ketika Dimon berkata, “You’re losing,” ia tidak sedang mengomentari skor pertandingan sepak bola. Itu pernyataan strategis—dan jujur—dari seorang bos bank raksasa, kepada sebuah benua yang dulu menciptakan konsep ‘kapitalisme modern’. Kini, anak-anak dari sistem itu malah terlihat seperti siswa yang gagal ujian remedial ekonomi global.
Satu per satu, indikatornya muncul ke permukaan. Sejak 2022, ketika Eropa memberlakukan sanksi terhadap Rusia karena konflik Ukraina, pertumbuhan ekonomi nyaris stagnan. Jerman, yang selama ini jadi mesin utama Uni Eropa, tersandung dalam tiga tahun resesi beruntun. Harga energi melonjak karena pasokan gas murah dari Rusia dihentikan. Pabrik-pabrik tua menderita. Industri baja, kimia, otomotif—yang dulu jadi kebanggaan Eropa—terengah-engah menghadapi biaya produksi yang melambung.
Sementara itu, negara-negara seperti Prancis dan Italia mencoba bertahan dengan napas subsidi dan regulasi ketat yang justru membunuh kreativitas. Inilah bentuk baru bunuh diri ekonomi yang dibungkus dengan retorika moral. Sanksi terhadap Rusia disebut sebagai langkah etis, tetapi efeknya justru seperti menembak lutut sendiri sambil menuduh orang lain biang kerok rasa sakit.
Dan pada titik ini, absurditas mulai terasa. Di satu sisi, Eropa bicara tentang transisi energi hijau, masa depan bebas karbon, dan perekonomian digital. Di sisi lain, mereka harus membeli gas cair dari AS dengan harga tiga kali lipat. Lucunya, gas itu berasal dari pengeboran fracking—praktik yang justru dikutuk habis-habisan oleh para aktivis iklim Eropa. Jadi siapa yang memperdaya siapa?
Keganjilan ini tak berhenti di soal energi. Jamie Dimon juga menyoroti fakta bahwa perusahaan-perusahaan Eropa kini tertinggal jauh dari AS dan Tiongkok. Tidak ada Apple, tidak ada Amazon, tidak ada Alibaba atau TikTok dari benua tua ini. Satu-satunya unicorn Eropa yang sempat berbicara di level global hanyalah Spotify—dan bahkan itu kini sedang berjuang dengan model bisnis yang goyah dan tekanan dari berbagai regulator. Eropa seperti ayah tua yang pernah memimpin, tapi kini hanya bisa mengawasi anak-anak muda membuat teknologi yang ia sendiri tak paham cara kerjanya.
Tapi alih-alih berbenah, Eropa justru makin tenggelam dalam ilusi kejayaan masa lalu. Uni Eropa menegakkan lebih banyak regulasi, memaksakan standar-standar ketat untuk semua hal mulai dari privasi data hingga ukuran apel di pasar. Sementara dunia di luar mereka bergerak cepat, Eropa justru sibuk memeriksa apakah pintu darurat kantor startup sudah memenuhi sertifikasi kebakaran.
Lebih ironis lagi adalah arah pengeluaran anggaran publik. Di saat rakyat Eropa menghadapi inflasi tinggi, harga pangan yang mencekik, dan krisis perumahan di kota-kota besar, para pemimpin politik justru bersepakat menaikkan anggaran pertahanan. NATO bahkan mendorong negara anggotanya untuk mengalokasikan 5% dari PDB untuk militer. Lima persen. Untuk membeli tank, drone, rudal, dan peluru kendali—sementara subsidi pangan dan pendidikan dipangkas karena ‘anggaran terbatas.’
Mereka menyebut Rusia sebagai ancaman, tapi Moskow berulang kali menyatakan tak punya niat menyerang negara-negara NATO. Bahkan kalau Rusia memang gila, akal sehat tetap mengingatkan: kekuatan militer bukanlah solusi bagi ekonomi yang rontok dari dalam. Anda bisa punya seribu pesawat tempur, tapi tak akan bisa menyuapi rakyat yang lapar atau memulihkan pabrik yang tutup karena harga listrik.
Eropa, dalam hal ini, tampak seperti kerajaan tua yang mencoba mempertahankan martabat dengan membeli lebih banyak meriam, alih-alih memperbaiki atap istana yang bocor. Mereka hidup dalam narasi perang, seolah dunia tak berubah sejak Perang Dingin. Padahal, ancaman terbesar bukan datang dari Timur, melainkan dari dalam: populisme kanan, frustrasi generasi muda, deindustrialisasi, dan kehilangan arah strategis.
Dan di sinilah letak ironi terdalamnya. Benua yang dulu menjajah dunia kini tak lagi bisa mengendalikan dirinya sendiri. Ia kehilangan energi murah, kehilangan pasar ekspor, kehilangan kepercayaan diri, dan yang paling menyakitkan: kehilangan makna. Sebab tanpa arah ekonomi dan visi politik yang jelas, Eropa tak lebih dari museum peradaban—megah di masa lalu, tapi membisu di masa kini.
Di Indonesia, kita melihat ini semua dengan rasa campur aduk. Ada keprihatinan, tentu. Tapi ada juga semacam kelegaan, bahwa akhirnya bangsa-bangsa bekas jajahan bisa menyaksikan tuannya dulu tersandung oleh pilihan-pilihan mereka sendiri. Kita, yang sering diajari demokrasi, hak asasi manusia, dan efisiensi pasar, kini melihat bahwa pengkhotbah itu sendiri tampaknya lupa membaca kitab sucinya sendiri.
Eropa tidak akan roboh besok. Tapi ia sedang perlahan runtuh. Bukan karena dihantam dari luar, tetapi karena gagal menyesuaikan diri dengan dunia yang telah berubah. Di saat Tiongkok membangun sabuk sutra baru, dan AS memproduksi kembali industrinya dengan strategi insentif besar-besaran, Eropa malah sibuk berdiskusi soal pajak karbon dan kode etik kecerdasan buatan. Perdebatan penting, tapi tidak cukup untuk menyelamatkan ekonomi yang kehabisan napas.
Dimon telah memberi sinyal keras. Dan biasanya, bankir besar tak bicara tanpa dasar. Ketika ia bilang “tidak berkelanjutan,” ia berbicara sebagai seseorang yang melihat neraca dan tren dari balik layar kekuasaan global. Ia melihat Eropa bukan dari mimbar ideologis, tapi dari lembar Excel. Dan jika lembar itu terus merah, maka sinyal kehancuran bukan lagi dugaan—itu hanya tinggal soal waktu.
Maka tinggallah kita, di belahan dunia lain, menonton dari kejauhan. Seperti menyaksikan orkestra agung memainkan simfoni terakhirnya—indah, getir, dan penuh kesepian. Sebuah benua yang pernah memerintah dunia kini mengeja ulang siapa dirinya. Eropa tidak tumbang dalam ledakan. Ia meredup dalam keheningan. Dan kadang, itu lebih menyakitkan daripada kehancuran yang gaduh.