Opini
‘Perdamaian’ yang Disusun di Atas Abu: Rencana Jahat di Balik Abraham Accords

Di jantung Tel Aviv, pada sebuah billboard raksasa, wajah-wajah para pemimpin Arab berjajar rapi di samping Donald Trump. Mereka tersenyum. Saling berdempetan. Sebuah pesan besar membentang di atas mereka: “The Abraham Alliance – It’s Time for a New Middle East.” Dari kejauhan, gambar ini terlihat seperti lambang optimisme; janji akan masa depan baru yang damai dan penuh harapan. Tapi bila dilihat lebih dekat, senyuman itu bukan harapan. Itu senyuman palsu dari wajah-wajah yang sedang menandatangani kontrak perdamaian palsu, di atas tumpukan puing dan mayat anak-anak Gaza.
Di sinilah dimulai cerita “damai” yang sesungguhnya bukan untuk perdamaian, melainkan untuk normalisasi ketidakadilan. Abraham Accords, yang diprakarsai oleh Donald Trump dan Israel, bukanlah perjanjian damai, tapi skema geopolitik penuh tipu daya. Tujuannya bukan menyelesaikan konflik Palestina-Israel secara adil, melainkan mengalihkan perhatian dunia dari penjajahan dan penindasan yang terus berlangsung, sambil menciptakan musuh bersama baru: Iran.
Musuh Bersama: Iran, dan Ilusi Koalisi Moderat
Sejak awal, Trump merancang Abraham Accords bukan karena dia mencintai perdamaian. Ia tidak lebih dari seorang makelar senjata dan kekuasaan yang ingin meninggalkan warisan politik—betapa ironisnya itu disebut “warisan damai”. Strateginya jelas: menyatukan negara-negara Arab di bawah bendera anti-Iran, menyingkirkan Hamas sebagai suara perlawanan Palestina, dan menjadikan Israel sebagai pusat gravitasi geopolitik Timur Tengah.
Iran dijadikan musuh bersama. Bukan karena agresinya, tapi karena penolakannya untuk tunduk. Karena dukungannya terhadap kelompok-kelompok perlawanan. Karena ia tidak sudi menandatangani pakta pengkhianatan yang melegalkan penjajahan atas tanah Palestina. Maka dimulailah narasi “ring of fire”—sebuah frasa dramatis yang digunakan untuk menakut-nakuti dunia, seolah-olah Hizbullah, Hamas, milisi Irak, dan Houthi di Yaman adalah satu jaringan teror yang harus dibasmi, bukan ekspresi dari perlawanan terhadap imperialisme.
Arab “Moderate”: Di Mana Hati Nurani Mereka?
Yang menyedihkan adalah bagaimana negara-negara Arab—yang seharusnya menjadi penopang umat dan pembela Palestina—malah terjerembab dalam proyek ini. Mereka disanjung sebagai “moderate Arab states”. Istilah yang tampaknya terhormat, tapi sejatinya menyakitkan. Karena di balik embel-embel moderasi itu tersembunyi makna tunduk, patuh, dan siap menjadi pion dalam permainan besar Amerika dan zionis.
Saudi Arabia, misalnya, menunggu waktu yang tepat untuk masuk ke lingkaran normalisasi. Tapi dengan syarat: tanpa Hamas, tanpa Gaza yang bersuara, dan dengan syarat bahwa Pemerintah Palestina diisi oleh teknokrat yang bisa dikendalikan. UEA lebih dulu loncat ke pangkuan perjanjian. Mesir dan Yordania sudah sejak lama terjebak. Dan kini, satu per satu negara Arab lainnya mengantre, berharap mendapat secuil keuntungan ekonomi dan keamanan, sembari menutup mata terhadap penderitaan yang terus berlangsung di Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Tidakkah mereka terlihat bahwa ini bukan soal damai, tapi dominasi? Bahwa proyek Abraham Shield Plan bukan solusi, tapi kolonisasi baru dalam bentuk diplomasi dan ekonomi?
Gaza, Tanpa Cash, Tanpa Perlawanan
Lihat bagaimana rencana ini menyusun masa depan Gaza: tanpa Hamas, tanpa uang tunai, tanpa suara rakyat. Semuanya diganti dengan “pemerintahan teknokrat”, “rekonstruksi Barat”, “polisi Arab”, dan sistem kontrol keuangan canggih. Gaza akan dijadikan laboratorium eksperimen kolonialisme modern—tanah yang tidak punya kuasa atas dirinya, rakyat yang tak lagi berdaulat, dan generasi muda yang disterilkan dari semangat perlawanan lewat program deradikalisasi.
Apakah ini “perdamaian”? Atau rekayasa diam-diam untuk membunuh harapan rakyat Palestina secara perlahan?
Abrahamstan: Fantasi Neo-Kolonial
Mereka menyebut masa depan ini sebagai Abrahamstan—sebuah wilayah stabil dan makmur, bersatu di bawah visi bersama. Tapi yang mereka maksud adalah Timur Tengah yang dikendalikan oleh Israel dan AS, dengan negara-negara Arab menjadi kaki tangan penjaga perbatasan agar tidak ada lagi “Hamastan”, tidak ada lagi Hizbullah, tidak ada lagi suara yang berani berkata “tidak” pada penindasan.
Dalam visi mereka, rakyat Palestina hanya boleh hidup jika mereka diam. Jika mereka pasrah. Jika mereka melupakan Nakba, Yerusalem, dan Al-Aqsa. Jika mereka mengganti bendera mereka dengan logo proyek ekonomi.
Kita Tidak Lupa Siapa Penjajah Sebenarnya
Kenyataannya adalah: akar konflik bukanlah Iran. Bukan perlawanan. Bukan kelompok bersenjata. Tapi penjajahan. Pendudukan. Penyangkalan atas hak-hak dasar manusia. Tak peduli seberapa banyak uang yang ditawarkan, atau seberapa indah billboard yang dipasang di Tel Aviv, dunia yang punya mata tak bisa dibohongi: Israel adalah negara apartheid, dan Abraham Accords adalah upaya untuk mencuci tangan berdarah mereka dengan tinta perjanjian diplomatik.
Kita tidak lupa siapa yang membangun tembok di Tepi Barat. Siapa yang menggusur keluarga Palestina di Sheikh Jarrah. Siapa yang menyerang ambulans, masjid, rumah sakit. Siapa yang setiap hari menciptakan penderitaan yang tidak tertanggungkan.
Penutup: Saatnya Negara Arab Berkaca
Seharusnya, negara-negara Arab tidak menari dalam perjamuan kemunafikan ini. Mereka seharusnya tahu bahwa setiap tanda tangan dalam proyek Abraham adalah pengkhianatan atas sejarah, atas umat, atas janji moral yang diwariskan sejak awal. Mereka harus sadar, bahwa dalam “koalisi moderat” ini, mereka bukan pemimpin, tapi pelayan kepentingan asing. Bukan pembawa damai, tapi penjamin stabilitas palsu yang dibangun di atas penderitaan rakyat Palestina.
Jika mereka masih punya sedikit hati nurani, seharusnya mereka bertanya: siapa yang sebenarnya mereka bela? Keadilan atau kekuasaan? Rakyat tertindas atau penjajah? Sejarah akan mencatat pilihan mereka—dan sejarah tidak pernah berpihak pada para pengkhianat.