Opini
Diplomasi dengan Abu: Iran Diminta Duduk di Meja yang Sudah Hancur

Gedung Putih kini tampaknya ingin kembali ke sesuatu yang dulu mereka sendiri bakar dengan sengaja. Permintaan Amerika Serikat kepada Iran untuk kembali ke meja perundingan nuklir terdengar nyaring namun penuh absurditas, apalagi disampaikan bukan secara langsung, melainkan melalui pesan berantai lintas negara. Turki, salah satunya, berperan menjadi pengantar surat cinta diplomatik yang dibungkus dalam amplop penuh sejarah pengkhianatan. Lucunya, Iran tidak sedang butuh surat cinta—mereka sedang menghitung jumlah peluru yang baru saja ditembakkan ke fasilitas nuklir mereka.
Diplomasi macam apa yang dimulai setelah agresi militer? Apa bentuk normalisasi yang ditawarkan ketika bara serangan belum lagi padam? Tak ada pertanda itikad baik, tak ada sinyal permintaan maaf, bahkan sekadar pengakuan bahwa “kami salah” pun tak terdengar. Alih-alih itu, yang datang hanyalah kabar bahwa Washington ingin bicara lagi. Seolah-olah semua ini hanya salah paham kecil, seperti cekcok antara sahabat lama yang bisa diselesaikan dengan secangkir kopi. Padahal, yang satu baru saja meluncurkan rudal, sementara yang lain tengah memakamkan martabat diplomatik yang telah dua kali dikoyak.
Seseorang yang waras tak akan kembali ke rumah yang dua kali dibakar oleh tamunya sendiri. Begitu juga dengan Iran. JCPOA dulu diteken dengan susah payah, dinegosiasikan selama bertahun-tahun, menjadi simbol pencapaian diplomasi multilateral. Tapi apa yang terjadi? Trump, dengan keangkuhan khasnya, menarik AS dari perjanjian itu seperti anak kecil bosan bermain puzzle. Dunia terkejut. Iran kecewa. Tapi tetap bertahan, menahan diri, berharap masih ada nalar dalam politik global. Harapan itu kemudian dihancurkan secara lebih brutal: saat perundingan kembali dibuka, rudal-rudal justru beterbangan ke arah fasilitas nuklir Iran. Diplomasi versi Washington ternyata mengandung opsi “bunuh dulu, bicara nanti.”
Dan kini, AS datang lagi. Kali ini katanya sungguh-sungguh. Katanya ingin bicara soal penghapusan sanksi, soal pembatasan pengayaan uranium, dan soal kompensasi—ah, kata yang belakangan ini mendadak terdengar manis. Tapi lihatlah, tak ada satu pun keputusan konkret. Tidak ada sanksi yang dicabut. Tidak ada permintaan maaf terbuka. Tidak ada pengakuan kesalahan. Tidak ada jaminan bahwa kesepakatan baru tidak akan kembali dibatalkan oleh presiden AS berikutnya. Yang ada hanya kabar bahwa “kita harus kembali ke meja perundingan.” Meja yang mereka sendiri jungkirbalikkan dua kali.
Iran, dalam pernyataannya, menjawab dengan cara yang tepat: skeptis, berhati-hati, dan berprinsip. Mereka bilang, kepercayaan telah rusak. Dan siapa bisa menyalahkan mereka? Negosiasi memerlukan landasan minimal—trust, rasa hormat, dan keinginan sungguh-sungguh untuk menyelesaikan konflik, bukan memanfaatkannya sebagai instrumen tekanan baru. Iran bukan pihak yang ingin bermain drama geopolitik. Mereka hanya ingin hak mereka sebagai bangsa berdaulat dihormati. Tapi tampaknya, dalam kamus diplomasi Barat, kedaulatan negara yang tak tunduk pada hegemoni dianggap masalah.
Perlu ditegaskan: Iran tidak menutup pintu diplomasi. Tapi mereka meminta harga yang masuk akal untuk membukanya kembali. Mereka minta agar sanksi dicabut. Mereka ingin pengayaan uranium tetap berjalan dalam batas damai. Mereka ingin jaminan tidak akan diserang lagi ketika sedang berunding. Mereka menuntut kompensasi atas agresi yang mereka alami. Dan mereka ingin semua ini tidak ditentukan oleh siapa yang duduk di Gedung Putih—tapi oleh komitmen yang mengikat dan menghormati hukum internasional.
Permintaan ini bukan keras kepala. Ini adalah syarat minimal untuk mempercayai lawan bicara yang sudah dua kali menjebak. Bahkan dalam hubungan pribadi, orang waras tidak akan kembali percaya pada pasangan yang sudah dua kali berselingkuh, apalagi kalau yang ketiga kalinya dia datang dengan bunga plastik dan janji yang kabur.
Sikap Iran yang kini menangguhkan kerja sama dengan IAEA, bahkan melarang direktur Rafael Grossi masuk ke negara mereka, bukan tanpa alasan. Mereka menuduh Grossi membocorkan informasi nuklir sensitif ke zionis, yang kemudian menyebabkan pembunuhan terhadap ilmuwan dan warga sipil. Tuduhan itu mungkin terdengar berani, tapi bukan tak masuk akal. Dunia tahu betapa rapuhnya netralitas lembaga internasional ketika tekanan datang dari kekuatan besar. Dan bagi Iran, setiap celah pengkhianatan adalah soal hidup dan mati.
Lucunya, AS dan sekutunya masih berbicara seolah mereka adalah korban. Seolah-olah Iran yang mengingkari perjanjian, seolah-olah Iran yang menyerang lebih dulu. Padahal semua orang tahu, bahkan publik Barat sendiri tahu, bahwa pendekatan “tekan dulu, ajak bicara kemudian” adalah jurus lama yang sudah terlalu sering gagal. Dunia berubah. Tapi tampaknya, Washington belum paham bahwa masa pascakolonial bukan berarti semua negara bisa terus diperlakukan seperti bawahan yang harus patuh atau dihukum.
Lebih jauh lagi, permintaan perundingan ini datang bukan karena niat baik, tapi karena kegagalan. Serangan AS-Israel gagal total. Fasilitas nuklir Iran hanya rusak ringan. Iran cepat memindahkan aset strategisnya. Dunia pun tidak mendukung agresi itu. Maka, seperti biasa, AS kembali memainkan kartu diplomasi, berharap Iran melunak karena tekanan internasional. Tapi ternyata tidak. Iran tidak bergeming. Dan itu membuat mereka kembali mengirim sinyal-sinyal manis, padahal masih menyimpan amarah di balik senyum.
Bayangkan jika skenario ini terjadi di Indonesia. Misalnya, suatu negara kuat menyerang kilang minyak kita, lalu seminggu kemudian berkata, “Ayo kita berdialog soal energi dan stabilitas kawasan.” Apakah kita akan menyambut dengan karpet merah? Atau kita akan bilang, “Maaf, kami bukan boneka.” Iran sedang mengatakan hal yang sama, hanya dengan bahasa yang lebih diplomatik.
Karena itulah, narasi “peluang emas untuk perundingan” yang digembar-gemborkan media Barat terasa kosong. Peluang apa? Tidak ada satu pun tawaran nyata di atas meja. Yang ada hanya bayang-bayang ancaman, janji samar, dan pengulangan pola lama. Iran tahu itu. Mereka belajar dari pengalaman. Dan mereka tak sudi menjadi korban tiga kali.
Maka jangan heran jika sampai hari ini, Iran belum menyambut ajakan AS dengan tangan terbuka. Mereka tidak sedang bermain keras. Mereka sedang menjaga akal sehat. Dan dunia—terutama negara-negara Global South—mulai memahami posisi itu. Karena dalam diplomasi, kadang yang disebut keras kepala hanyalah nama lain dari tekad untuk tidak mau dibodohi lagi.
Sumber: