Connect with us

Opini

Dari Gaza ke Glastonbury: Jerit Keadilan dalam Nada Kasar

Published

on

Di Glastonbury, festival musik yang sering dirayakan sebagai panggung kebebasan, tempat para pemuda menari di lumpur sambil melarikan diri sejenak dari kebisingan dunia, tahun ini diguncang bukan oleh bass keras atau dentum drum, tapi oleh satu kalimat: “Death to IDF.”

Teriakan itu bukan bagian dari lirik lagu. Bukan pula efek teatrikal. Itu adalah kalimat mentah, tanpa bungkus, keluar dari mulut Bob Vylan, seorang rapper Inggris keturunan Jamaika, yang berdiri di tengah ribuan penonton dan menumpahkan amarah yang telah lama mendidih. Sebagian penonton bertepuk tangan. Sebagian lainnya terdiam. Dunia maya pun gempar. Ada yang menyebutnya teror verbal, ada yang menyebutnya keberanian. Tapi bagi mereka yang menyaksikan kehancuran di Gaza hari demi hari, suara itu terdengar seperti kebenaran yang tak sanggup lagi menahan diri.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Dan mungkin memang tak seharusnya ditahan. Karena di waktu yang hampir bersamaan, ribuan kilometer dari Glastonbury, sebuah laporan muncul dari Sky News—laporan yang mengangkat suara seorang prajurit cadangan Israel, yang pernah tiga kali menjalani tur militer di Jalur Gaza. Bukan musuh Israel. Bukan aktivis HAM. Seorang bagian dari sistem itu sendiri. Dan apa yang ia sampaikan, seandainya benar, bukan hanya membenarkan amarah Bob Vylan—tapi juga mengungkap wajah mengerikan dari apa yang disebut “pertahanan diri” oleh negara yang menyebut dirinya sebagai satu-satunya demokrasi di Timur Tengah.

Kata prajurit itu, “Kami punya wilayah yang kami duduki, dan perintahnya adalah: siapa pun yang masuk ke wilayah ini, harus mati.” Frasa itu begitu telanjang. Tak ada basa-basi. Tak ada prosedur. Tak ada pertimbangan ancaman atau identifikasi. Jika seseorang—anak kecil, nenek-nenek, atau remaja yang sedang naik sepeda—melangkah ke dalam area tertentu, maka ia menjadi target yang sah. Tidak karena dia membawa senjata. Bukan karena ada intelijen. Tapi karena kakinya salah menginjak bumi.

Bumi yang dulu mungkin adalah halaman rumahnya sendiri.

Zona itu disebut “no-go zone”, wilayah yang tak boleh dimasuki warga Gaza. Tapi perbatasannya bukan dinding nyata atau pagar berduri. Melainkan garis khayal yang, menurut militer Israel, “semua orang Palestina tahu.” Ironi terbesar adalah—bagaimana mungkin seseorang tahu bahwa ia sudah melanggar garis yang tidak terlihat, tidak tertandai, dan tidak diberi tahu keberadaannya?

Bayangkan berjalan di kebun, lalu dari balik reruntuhan, peluru datang. Tidak ada peringatan. Tidak ada megafon yang memberi tahu bahwa Anda sudah “berada di sisi salah realitas.” Dunia macam apa yang menciptakan zona bunuh seperti ini, lalu menyebutnya sebagai “upaya menjaga keamanan”?

Lebih jauh lagi, laporan itu menunjukkan bahwa keputusan untuk menembak bisa berubah tergantung “mood” komandan. Ini bukan metafora. Mood. Suasana hati. Hari ini bisa ditangkap, besok bisa langsung ditembak, tergantung siapa yang pegang komando dan apakah dia sedang lapar, marah, atau ingin naik pangkat. Ini menjadikan nyawa manusia lebih murah dari koin logam. Bahkan tidak layak diperhitungkan. Hanya deret statistik dalam laporan tempur.

Dalam satu cerita, seorang pria ditembak mati saat memasuki zona itu. Beberapa jam kemudian, seseorang yang mendekati jenazahnya tidak ditembak, tapi ditangkap hidup-hidup. Lalu tak lama berselang, perintah berubah lagi: siapapun yang datang ke area tersebut harus ditembak mati. Tidak ada yang konsisten kecuali satu hal—semua yang “datang dari Gaza” dianggap berbahaya, bahkan ketika yang dibawa hanyalah tubuh lelah dan harapan untuk hidup.

Dan semua ini terjadi dalam sistem yang seharusnya memiliki rantai komando, aturan perang, standar etik. Tapi menurut prajurit itu, “semacam Wild West,” hukum rimba, versi berteknologi tinggi. Bedanya, ini bukan film koboi. Ini nyata. Ini menyangkut bayi, ibu menyusui, pelajar, dan tukang roti yang semua bisa menjadi target hanya karena salah berdiri di tempat dan waktu yang tidak ditentukan.

Yang lebih mengerikan: laporan ini bukan anomali. Tahun lalu, Haaretz—media terkemuka Israel sendiri—menerbitkan kesaksian serupa. Tentara-tentara yang mengkritik aturan tembak yang longgar, bahkan menuduh komandan mereka, Brigjen Yehuda Vach, ikut memanipulasi narasi kematian warga Israel dalam serangan 7 Oktober 2023. Banyak korban warga sipil Israel, menurut laporan, justru tewas oleh helikopter militer Israel sendiri, berdasarkan Hannibal Directive—sebuah kebijakan yang mengizinkan tentara membunuh warga sendiri jika mereka hampir diculik oleh musuh.

Bayangkan: negara yang mengklaim diri paling moral, menjalankan operasi militer yang bahkan mengorbankan rakyatnya sendiri demi alasan “jangan sampai ditawan.” Tapi ketika publik mendengar kabar 1.200 orang tewas, mereka tidak diberi tahu oleh siapa. Maka Hamas pun dituduh total, dan perang pun digelar besar-besaran. Dan seperti biasa, yang membayar harga tertinggi bukan para pemimpin, bukan para jenderal, tapi warga Gaza yang sudah belasan tahun hidup di bawah blokade, pembatasan, dan pembunuhan rutin yang diberi nama “operasi militer.”

Apakah dalam konteks ini teriakan Bob Vylan menjadi terlalu kasar? Terlalu ekstrem?
Atau justru terlalu jujur?

Ketika hukum internasional gagal menjerat. Ketika PBB hanya bisa merilis resolusi yang diabaikan. Ketika negara-negara Arab hanya sempat mengecam di forum, tapi kembali diam di meja dagang. Ketika Eropa hanya bisa “mengkhawatirkan situasi.” Maka suara dari panggung konser menjadi suara yang paling nyaring. Karena semua suara “berkemeja rapi” terlalu sibuk menjaga diplomasi, bukan menyelamatkan nyawa.

Dan tentu saja, beberapa akan berteriak: antisemit!
Tapi mari kita tegaskan garisnya. Kritik terhadap IDF bukanlah kebencian terhadap Yahudi. Kritik terhadap Zionisme militeristik bukanlah penolakan terhadap eksistensi komunitas Yahudi. Sebaliknya, justru demi menyelamatkan martabat umat manusia—termasuk Yahudi yang menolak penjajahan dan pembantaian atas nama mereka. Ada banyak Yahudi yang pro-Palestina. Ada rabi yang berdiri bersama Gaza. Ada organisasi Yahudi yang memprotes IDF setiap hari.

Kritik terhadap IDF adalah kritik terhadap mesin kekerasan negara yang sudah melampaui batas. Sebagaimana kita mengutuk kejahatan ISIS, tentara junta Myanmar, atau milisi Rwanda, maka IDF pun tidak boleh dikecualikan hanya karena menyandang identitas nasional tertentu.

Gaza bukan hanya tempat. Gaza adalah cermin. Ia memperlihatkan pada dunia bagaimana kekuasaan bisa membungkam empati. Bagaimana dunia modern bisa menciptakan sistem pembunuhan yang legal, terorganisir, dan bahkan dibanggakan. Dan cermin itu memperlihatkan pula kepada kita semua: siapa yang berani bersuara, dan siapa yang memilih diam.

Maka ketika Bob Vylan berteriak “Death to IDF,” itu bukan kebencian membabi buta. Itu jerit ketidakadilan yang sudah terlalu lama dibiarkan mengering tanpa nama. Ia kasar, ya. Tapi kekasaran itu lahir dari dunia yang tak lagi memberi ruang bagi kesantunan yang steril.

Karena bagaimana mungkin kita mengharapkan kesopanan dari mereka yang menyaksikan anak-anak dibunuh di depan mata, lalu disuruh menulis esai netral?

Dari Gaza ke Glastonbury, jaraknya ribuan kilometer. Tapi dari tubuh yang tergeletak di zona tembak bebas hingga panggung konser tempat amarah dilantangkan, hanya ada satu benang merah: keadilan yang tak kunjung datang. Dan kadang, satu-satunya cara agar dunia mendengar adalah dengan berteriak—bahkan jika itu terdengar tidak nyaman.

Sebab dunia yang nyaman terlalu sering membiarkan kekejaman bersuara paling nyaring.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer