Connect with us

Opini

Mengirim Beras, Mendiamkan Blokade: Solidaritas yang Tak Sampai

Published

on

Di tengah suasana formal pertemuan antarmenteri di Jakarta, Menteri Pertanian RI Andi Amran Sulaiman secara simbolik menyerahkan 10.000 ton beras untuk Palestina. Bersamanya hadir Mentan Palestina Rezq Basheer-Salimia, dalam forum resmi yang menandai komitmen bantuan Indonesia. Lokasinya: Kantor Pusat Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan. Tanggalnya: 7 Juli 2025. Suasana yang hangat, mungkin, jika kita anggap panggung diplomatik adalah ruang doa. Tapi di luar gedung, Gaza tetap terbakar.

Di situ letak absurditasnya. Di saat beras ditimbang, warga Gaza ditimpa. Ketika sambutan dibacakan, di Rafah suara rudal tak sempat mengucap selamat datang. Dan saat Indonesia bicara tentang kerja sama pertanian, Gaza masih mencari sepetak tanah yang belum jadi kuburan massal. Apakah ini bentuk bantuan, atau hanya upacara rasa bersalah global yang dibungkus nasi putih dan plastik kemasan?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Sederhana saja logikanya: beras tidak tumbuh di atas puing. Traktor tak berjalan di jalanan yang dipenuhi serpihan mortir. Tak ada kerja sama pertanian tanpa ladang. Dan Gaza, hari ini, bukan ladang. Ia kamp pengungsian abadi yang dirancang oleh sistem kolonialisme modern bernama blokade. Mengirim beras ke Palestina hari ini—tanpa memastikan bahwa beras itu akan sampai dengan aman dan tidak dibajak atau dibom di tengah jalan—sama seperti melempar botol air ke rumah yang sedang terbakar, lalu berharap api padam dengan sendirinya.

Indonesia, tentu, tidak sendirian. Dunia punya cara elegan untuk merasa peduli tanpa benar-benar berbuat banyak. Bahasa diplomasi memungkinkan satu negara berkata “kami prihatin” sebanyak seribu kali tanpa satu pun pasokan bantuan yang berhasil menembus pagar blokade. Dan kita, Indonesia, tampaknya mulai menguasai bahasa itu—diksi yang manis namun kosong. Kita sediakan 10.000 ton beras, tapi tak satupun pernyataan tegas keluar dari bibir pejabat tentang siapa yang menghalangi bantuan itu masuk. Kita bicara pertanian masa depan, padahal hari ini warga Gaza tak bisa memastikan apakah mereka bisa hidup sampai besok.

Tak cukupkah pemandangan bayi-bayi kelaparan di kamp pengungsi untuk membangkitkan sedikit keberanian? Ataukah kita telah begitu nyaman di ruang berpendingin AC hingga tak lagi peka terhadap udara berdebu yang dihirup para relawan Gaza saat menggotong karung bantuan dengan ancaman drone di atas kepala?

Di manakah posisi Indonesia saat lembaga seperti Gaza Humanitarian Foundation (GHF) tak hanya mengalami intimidasi atau sabotase, tapi kini bahkan disebut-sebut sebagai bagian dari jebakan mematikan? Warga Gaza yang datang untuk mengambil bantuan di lokasi distribusi GHF justru menjadi sasaran tembak tentara zionis. Bantuan berubah menjadi umpan, dan antrean berubah menjadi tempat jagal. Ini bukan kesalahan logistik; ini adalah kejahatan yang dipertontonkan terang-terangan. Dan di sinilah seharusnya suara Indonesia menggema lebih lantang: bukan hanya soal mengirim, tapi memastikan bahwa yang dikirim tidak berubah jadi alasan kematian baru.

Tak hanya itu, sebagian besar bantuan kemanusiaan kini tertahan di Mesir, karena blokade zionis membuat perbatasan Rafah tertutup nyaris total. Truk-truk penuh logistik kemanusiaan mengantri hingga membusuk di panas padang pasir, sementara perut anak-anak Gaza tetap kosong. Percuma mengirim, jika yang dikirim tak bisa menembus tembok kekuasaan kolonial. Maka pertanyaannya: fokus kita ke mana? Ke pengemasan bantuan, atau ke pertempuran diplomatik agar bantuan itu bisa benar-benar sampai?

Sungguh, bantuan itu bukan hal buruk. Tidak salah. Tapi, alangkah lucunya dunia ini jika bantuan itu lebih banyak berhenti di ruang konferensi dan berita resmi, ketimbang mendarat di meja makan warga Palestina. Dan lebih lucu lagi jika kita justru bangga atas kerja sama pertanian 20.000 hektare, padahal tanah di Gaza bahkan belum bebas dari ranjau. Indonesia menyebut ini “komitmen Presiden Prabowo”. Tapi komitmen macam apa yang tidak disertai sikap politik yang tegas terhadap penjajahan zionis? Bukankah kemerdekaan adalah syarat utama bagi pertanian? Bagaimana mungkin kita mengembangkan benih, jika akar pohonnya diinjak setiap hari?

Mungkin kita terlalu cepat puas. Sebab di negeri ini, seremoni sering lebih penting dari substansi. Kita rayakan hari pahlawan dengan parade, tapi lupa makna perlawanan. Kita bangga mengirim beras, tapi tak punya cukup keberanian untuk menyebut kata “zionis” secara langsung di sidang-sidang internasional. Dan ketika Gaza diblokade, kita memilih jalur sunyi: diam atau sekadar prihatin. Bukankah ironis, bahwa bangsa yang dulu berteriak lantang tentang hak menentukan nasib sendiri, kini bicara soal “kerja sama teknis” sambil menghindari isu paling mendasar: kemerdekaan Palestina belum ada?

Gaza hari ini bukan sekadar krisis kemanusiaan. Ia adalah panggung ujian bagi moral dunia. Dan sejauh ini, banyak yang gagal. Termasuk kita—yang terlalu terpikat pada diplomasi tanpa tekanan. Kita memilih jadi penonton elegan ketimbang aktor yang menyuarakan perlawanan. Kita tak ingin konfrontasi, tapi juga tak ingin ketinggalan panggung. Akhirnya kita berdansa di tengah abu: mengirim beras, tapi tidak mengutuk blokade; mengadakan kerja sama pertanian, tapi lupa bahwa tanah Gaza telah dijajah secara brutal.

Apa yang dibutuhkan Gaza hari ini bukan janji pembangunan, bukan sketsa pertanian modern. Mereka butuh jaminan hidup. Butuh ruang untuk mengubur mayat tanpa diganggu drone. Butuh makanan yang tidak dibajak. Dan mereka butuh negara-negara seperti Indonesia, yang berani menyebut bahwa penjajahan zionis atas Palestina adalah bentuk kekerasan kolonial yang paling terang-terangan di zaman ini. Kita harus bicara lebih dari “dukungan moral”. Kita harus bertindak. Karena diam hari ini, berarti bersengkongkol dalam penderitaan mereka.

Kita bisa mulai dari hal sederhana: bersuara lebih keras. Menggalang tekanan diplomatik. Mendorong pembukaan koridor bantuan secara permanen. Mengawal setiap karung bantuan agar tidak hilang di tengah perjalanan. Dan yang paling penting: mendampingi Palestina bukan dengan proposal proyek, tapi dengan komitmen politik yang nyata. Kita tidak sedang menanam padi untuk panen simbol. Kita sedang bertaruh: apakah kita masih punya moral untuk membela yang tertindas, atau hanya ingin terlihat baik di depan kamera?

Saat ini, bantuan pangan hanyalah awal. Ia belum cukup. Bahkan belum berarti. Ia hanya jadi ritual kosong, jika kita tak memastikan bahwa Gaza bisa menerimanya dengan aman, tanpa bom, tanpa peluru, tanpa kehilangan nyawa lagi. Dunia tidak butuh seremoni, ia butuh keberanian. Dan Gaza, yang terus dikepung kematian, tak butuh nasi dari Jakarta jika tak disertai suara lantang yang berkata: bebaskan Palestina sekarang juga!

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer