Opini
Harga yang Terlalu Berat: Saat Israel Mulai Mengakui Kegagalannya di Gaza

Tiga puluh satu tentara Israel tewas di Gaza sejak Israel melanjutkan kembali serangan brutalnya pada Maret lalu. Jumlah itu, sebagaimana dilaporkan Yedioth Ahronoth pada 1 Juli, disebut sebagai “harga yang berat.” Bukan oleh media Palestina atau LSM hak asasi manusia internasional, tapi oleh pers Israel sendiri. Mereka mengakui bahwa penundaan mengakhiri perang justru memperparah beban ini. Nyawa prajurit menjadi angka—sementara peperangan kehilangan arah dan makna.
Sejak invasi darat dimulai pada akhir Oktober 2023, tercatat 436 tentara Israel tewas dan 2.743 lainnya luka-luka. Jika ditotal sejak awal perang, lebih dari 6.000 tentara dan perwira telah terluka. Tak hanya di medan tempur, banyak dari mereka kehilangan anggota tubuh, penglihatan, atau kendali atas pikirannya. Sementara itu, pemerintah masih berbicara tentang kemenangan yang belum jelas bentuknya, taktik yang kabur, dan tujuan yang terus bergeser.
Lebih memilukan lagi, dari laporan yang sama, disebutkan bahwa 41 tawanan Israel—orang-orang yang ditahan dalam serangan 7 Oktober—justru tewas akibat serangan udara yang dilakukan oleh tentara mereka sendiri. Alih-alih menyelamatkan, pemboman membunuh. Bukankah itu ironi paling getir dari perang modern? Ketika tubuh sendiri yang meremukkan tulang sendiri? Bagaimana mungkin ini bisa dibenarkan secara moral, apalagi strategis?
Operasi besar yang disebut Gideon’s Chariots diluncurkan pada Mei 2024. Dinyatakan sebagai operasi pamungkas, dengan tujuan mengalahkan Hamas sepenuhnya dan membebaskan para tawanan. Namun menurut Channel 13, operasi ini telah gagal. Di lapangan, perlawanan tak surut, Hamas tetap aktif, dan tentara terus berjatuhan. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya dicapai oleh operasi ini selain kematian dan kehancuran?
Dalam satu minggu saja sejak awal Juni, 20 tentara Israel tewas. Beberapa di antaranya terkena jebakan eksplosif, seperti yang menewaskan seorang prajurit pada Minggu terakhir Juni. Sementara itu, unit-unit pasukan darat menghadapi perlawanan sengit dari Brigade Al-Qassam dan faksi-faksi lain yang tersebar di Gaza. Ketika satu wilayah dibombardir dan disapu bersih, wilayah lain kembali menyala. Perlawanan tidak hancur—ia berpindah, menyebar, dan tumbuh kembali.
Pada akhir Juni, Israel Hayom mengutip pejabat pemerintah yang menolak klaim tentara bahwa operasi besar ini sudah mendekati akhir. Menurut mereka, Hamas masih memiliki pimpinan senior, struktur militer, dan kendali operasional di lapangan. Artinya, klaim tentang “kehancuran Hamas” tak lebih dari retorika kosong untuk menutupi kebuntuan. Bila Hamas masih berdiri, lalu untuk apa semua ini?
Pekan lalu, tujuh tentara Israel tewas dalam satu penyergapan oleh Al-Qassam. Satu ambush. Tujuh nyawa. Ini bukan sekadar statistik, tapi bukti nyata bahwa kekuatan bersenjata konvensional tak bisa menjinakkan semangat gerilya yang menyatu dengan rakyat dan medan. Israel telah menjatuhkan ribuan bom, menghancurkan ribuan bangunan, dan memaksa jutaan orang mengungsi. Tapi perlawanan masih tetap berdiri. Bukankah ini seharusnya menyadarkan dunia bahwa tak semua bisa dimusnahkan dengan kekuatan militer?
Gambaran yang muncul hari ini adalah perang yang kehilangan arah. Operasi demi operasi dilakukan tanpa ujung. Serangan darat menyasar utara Gaza, sementara pesawat tempur menghancurkan bagian timur dan barat kota. Perintah evakuasi dikeluarkan hampir setiap minggu. Tapi ke mana warga sipil bisa lari? Gaza sudah tak punya sudut aman. Semuanya menjadi target. Rumah sakit, sekolah, kamp pengungsian, bahkan lorong-lorong kecil tempat anak-anak bermain sebelum bom jatuh.
Di tengah semua itu, diam-diam kegelisahan muncul di tubuh Israel sendiri. Jika media mainstream mereka mulai mempertanyakan hasil dari operasi militer, ini menandakan sesuatu yang lebih dalam. Bukan hanya kelelahan fisik, tapi juga kebingungan moral dan kehilangan kompas politik. Bagaimana mungkin negara yang mengklaim sebagai demokrasi satu-satunya di Timur Tengah, terus-menerus melanggar hukum internasional dengan dalih pertahanan diri?
Dan bagaimana dengan para pemimpin dunia? Mereka masih terus mengulang narasi usang tentang “hak Israel untuk membela diri,” tanpa mempertimbangkan hak rakyat Palestina untuk hidup, bernafas, dan bertahan. Seolah perlawanan bersenjata rakyat tertindas setara dengan agresi sistematis negara bersenjata nuklir. Apakah dunia benar-benar tuli, atau hanya memilih untuk tidak peduli?
Tidak ada yang menyangkal bahwa kematian warga sipil di kedua belah pihak adalah tragedi. Tapi perlu ditegaskan: agresor dan korban tidak berada di pijakan yang sama. Dalam laporan ini, bahkan Israel sendiri mengakui bahwa kematian tentaranya adalah harga yang harus dibayar karena terlalu lama berperang. Ini pernyataan ganjil. Bukan karena perang itu salah, tapi karena perang itu tidak segera diselesaikan. Dengan kata lain, mereka tak menyesal membunuh, hanya menyesal belum menang.
Lalu kita bertanya: apa sebenarnya tujuan dari semua ini? Apakah penghancuran Gaza akan membawa keamanan? Atau justru memperpanjang lingkaran balas dendam dan kekerasan? Jika 31 tentara tewas dalam tiga bulan terakhir dan operasi besar pun dianggap gagal, lalu berapa lagi yang harus mati sebelum mereka menyadari bahwa kekuatan tidak akan bisa menyelesaikan konflik yang bersifat historis dan struktural?
Mungkin sudah waktunya dunia berhenti melihat perang ini sebagai sekadar bentrokan antara dua pihak. Karena kenyataannya jauh lebih timpang: satu pihak adalah kekuatan militer terkuat di kawasan, didukung penuh oleh kekuatan global; sementara pihak lain adalah rakyat yang terjajah, terkepung, dan diserang setiap hari. Dan ketika para jenderal berbicara tentang “kerugian,” kita seharusnya tak hanya melihat angka—tapi menimbang nurani.
Jika kematian tentara menjadi momen refleksi bagi media Israel, maka kematian lebih dari 37.000 warga Palestina seharusnya mengguncang dunia. Tapi mengapa tidak? Mengapa sebagian besar dunia hanya bereaksi saat tentara Israel tewas, tapi bungkam saat satu keluarga Palestina musnah dalam satu ledakan? Apakah nilai manusia tergantung pada paspor dan afiliasi?
Dalam perang ini, yang mati bukan hanya manusia. Yang turut terkubur adalah akal sehat, moralitas, dan kemungkinan damai. Karena selama narasi pembenaran tetap diulang dan logika kekerasan terus dijustifikasi, maka Gaza akan tetap berdarah—dan dunia akan tetap menjadi penonton yang setengah tertidur.