Opini
Dari Revolusi ke Pembantaian: Suriah di Bawah Bayang HTS

Hampir 1.500 nyawa melayang dalam hitungan tiga hari. Bukan karena bencana alam. Bukan pula karena kelaparan atau penyakit. Mereka dibantai. Secara sistematis. Di lebih dari 40 titik berbeda, para warga sipil Alawiyin—komunitas minoritas yang sejak lama menjadi target kebencian sektarian—dihabisi oleh kelompok bersenjata yang kini, ironisnya, berada dalam struktur resmi pemerintahan Suriah yang baru. Ini bukan sekadar tragedi, tapi potret telanjang dari kekuasaan yang lahir dari dendam.
Reuters membuka tabir yang selama ini diragukan banyak pihak: bahwa satuan-satuan elite dari Hay’at Tahrir al-Sham (HTS)—kelompok yang dahulu dikenal sebagai afiliasi Al-Qaeda di Suriah—berada di balik pembantaian itu. Unit 400, Osman Brigade, dan General Security Service, yang kini menjadi bagian dari aparatus negara, terekam melakukan aksi brutal sepanjang 7–10 Maret lalu. Tak ada eufemisme yang bisa menutupi kenyataan ini: kejahatan terhadap kemanusiaan sedang dinormalisasi di Suriah.
Kematian lebih dari seribu orang dalam kurun waktu yang begitu singkat tak mungkin dilakukan tanpa koordinasi tingkat tinggi. Laporan Reuters menyebut peran langsung Kementerian Pertahanan Suriah yang baru dalam pengorganisasian operasi ini. Nama Hassan Abdel-Ghani, juru bicara kementerian, muncul sebagai aktor sentral. Di balik layar, ia memimpin percakapan Telegram para komandan milisi, menyampaikan instruksi, mengatur posisi, dan—tanpa banyak keraguan—membiarkan darah tumpah tanpa pertanggungjawaban.
Mohammed al-Jassim, komandan Brigade Sultan Suleiman Shah, menyebut dirinya ditambahkan dalam grup percakapan oleh seorang pejabat tinggi kementerian yang ia kenal sebagai Abu Ahd. Reuters mengonfirmasi bahwa nama itu adalah alias dari Abdel-Ghani. Dalam obrolan digital itu, strategi disusun, wilayah dibagi, dan jalan M1—penghubung Latakia dan Jableh—dibuka kembali oleh para milisi. Semua dalam nama stabilisasi. Semua dengan dalih “mengetatkan jerat” pada sisa-sisa rezim lama.
Namun yang terjadi di lapangan bukan hanya operasi militer biasa. Saksi dan dokumen membuktikan terjadinya aksi pembantaian, penjarahan, dan pembunuhan acak terhadap warga Alawiyin, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia. Di salah satu lokasi, seorang milisi menulis di media sosial: “Matikan kamera. Bunuh semua laki-laki. Darah mereka lebih kotor dari babi.” Kalimat ini mencerminkan mentalitas di balik senjata yang mereka genggam—dan sayangnya, senjata itu kini dilindungi oleh lambang resmi negara.
Pemerintah Suriah yang baru, di bawah Ahmad al-Sharaa—yang dulunya dikenal sebagai Abu Mohammad al-Julani, pemimpin HTS—berusaha menyangkal keterlibatan. Mereka menyatakan bahwa pasukan General Security Service justru dikerahkan untuk melindungi warga Alawiyin. Tapi fakta berkata lain. Reuters mengidentifikasi keterlibatan mereka di setidaknya 10 lokasi pembantaian, dengan jumlah korban mencapai 900 jiwa. Nama Unit 400, pasukan elite HTS dengan pelatihan tinggi dan senjata modern, juga tercatat aktif dalam operasi ini.
Kegilaan ini bukan hal baru dalam sejarah berdarah Suriah. Pada 2013, kelompok Nusra Front dan ISIS pernah menyerbu 10 desa Alawiyin di Latakia, menewaskan 190 warga sipil dan menculik ratusan lainnya. Pada 2015, dalam wawancara dengan Al Jazeera, Sharaa sendiri menyatakan bahwa Alawiyin harus dibunuh jika menolak pindah ke Islam Sunni. Kini, orang yang pernah mengucapkan ancaman itu memimpin sebuah negara. Dan dunia hanya mengangkat alis, tanpa bertindak.
Lebih mencemaskan lagi, banyak dari kelompok milisi yang kini beroperasi secara resmi dalam struktur negara merupakan bagian dari Syrian National Army (SNA), faksi yang dahulu mendapat dukungan Turki dan secara nominal diasosiasikan dengan “oposisi moderat”. Sultan Suleiman Shah Brigade dan Divisi Hamza, misalnya, tercatat oleh Human Rights Watch sebagai pelaku penculikan, kekerasan seksual, dan penjarahan. Mereka juga aktif dalam pembantaian Maret lalu di sedikitnya delapan titik, dengan korban mendekati 700 jiwa.
Sejak jatuhnya Bashar al-Assad, banyak yang berharap akan lahir Suriah baru. Tapi harapan itu pupus dalam genangan darah. Yang terjadi bukan transisi menuju keadilan, melainkan penyerahan kekuasaan dari satu rezim brutal ke rezim lainnya—yang lebih ekstrem, lebih ideologis, dan tak kalah kejam. Bedanya, orientasi politik luar negeri kini berubah. Rezim Assad yang dikenal pro-Palestina dan dekat dengan Iran, kini digantikan oleh rezim HTS yang justru menunjukkan sinyal keterbukaan terhadap blok Barat dan bahkan Israel.
Mengapa dunia diam? Mengapa lembaga-lembaga HAM global tak segera menyelidiki dan menyeret para pelaku ke pengadilan internasional? Apakah karena para korban berasal dari komunitas yang dianggap “dekat dengan Assad”? Apakah karena kini rezim baru dianggap lebih ramah terhadap kepentingan Barat? Pertanyaan-pertanyaan ini menggantung di udara, tak terjawab. Tapi satu hal pasti: keadilan tidak boleh ditentukan oleh arah politik kekuasaan.
Lebih dari 20 orang Alawiyin kembali terbunuh dalam serangan terpisah di Latakia dan Hama pada Mei dan Juni lalu. Pemerintah mengklaim telah menahan puluhan tersangka, tapi hingga hari ini belum ada satu pun dakwaan formal diumumkan. Komite penyelidikan dibentuk—itu pun hanya untuk meredam publikasi laporan Reuters. Komite itu meminta penundaan penerbitan laporan demi “menjaga integritas kebenaran”. Tapi kebenaran macam apa yang bisa dijaga, bila darah belum kering dan pelaku masih merayakan kemenangan?
Dunia tidak butuh narasi damai palsu atau janji penyelidikan kosong. Dunia butuh keberanian untuk menamai kejahatan sebagaimana mestinya, dan menuntut pertanggungjawaban secepatnya. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa sekali lagi, dunia memilih diam ketika kekuasaan tumbuh di atas kuburan massal. Dan rakyat Suriah, terutama dari komunitas Alawiyin, akan terus hidup dalam bayang-bayang pembalasan yang tak berujung—tanpa tempat berlindung, tanpa suara yang membela.
Sumber: