Opini
Israel Kewalahan: Perang Jalan Terus, Duit Macet, Rakyat Tersingkir

Sementara dentuman bom masih bersahutan di Gaza dan langit Tel Aviv belum sepenuhnya pulih dari jejak rudal Iran, di meja-meja rapat pemerintahan Israel sedang terjadi perang lain yang tak kalah sengit—perang antara angka dan ambisi, antara dompet dan dominasi. Ironisnya, kali ini lawan yang paling menyakitkan datang bukan dari Teheran atau Rafah, tapi dari kantor keuangan negaranya sendiri.
Bayangkan sebuah negara yang begitu sibuk menaklukkan dunia, tapi lupa menyisihkan anggaran untuk membeli bensin truknya sendiri. Kementerian Pertahanan Israel datang terbirit-birit meminta tambahan 60 miliar shekel—bukan untuk membangun menara Babel atau menggali jalur kereta bawah tanah ke surga, tapi sekadar menutup ongkos perang yang mereka mulai sendiri. Bukan rencana jangka panjang, bukan proyek rahasia tingkat tinggi. Ini untuk bayar cadangan pasukan, beli rudal yang sudah ditembakkan, dan kendaraan yang nyaris mogok karena sudah sejuta kilometer lebih melaju di tanah Gaza.
Namun Kementerian Keuangan menggeleng. Dengan wajah datar dan suara datar pula, mereka bilang: tidak. Seolah permintaan itu hanyalah daftar belanjaan istri di akhir bulan, bukan kebutuhan operasional sebuah militer yang konon paling ditakuti di Timur Tengah. Lebih jauh, mereka bahkan menahan dana yang sudah disetujui bersama sebelumnya, dan mengingatkan: terlalu banyak pasukan cadangan dikerahkan, terlalu banyak dana yang terbakar, terlalu sering perang yang tak direncanakan digelar seperti konser musik jalanan.
Sebentar. Ini Israel. Negara yang katanya punya sistem pertahanan paling mutakhir, radar tercanggih, dan aliansi yang tak terkalahkan. Tapi hari ini mereka khawatir tidak bisa membeli 500 kendaraan tempur baru karena dana ditahan. Bahkan kendaraan lapis baja buatan sendiri bisa dijual ke negara lain—karena belum dibayar. Rasanya seperti menonton rumah mewah dengan kaca jendela berlapis emas, tapi air PDAM-nya sudah tiga minggu mati karena belum bayar tagihan.
Dan ini belum menyentuh langit. Arrow 3, sistem pertahanan misil kebanggaan Israel—yang bisa menjatuhkan rudal musuh di luar atmosfer—harganya 4 juta dolar per peluncuran. Dalam 12 hari konfrontasi dengan Iran, jumlah peluncuran hampir mencapai titik gila. Satu hari saja, negara ini bisa menghabiskan lebih dari 200 juta dolar hanya untuk menangkis misil. Belum termasuk biaya F-35 yang terbang ke Iran, bahan bakar, amunisi pintar, dan kesombongan yang harus terus dibayar dengan harga sangat mahal.
Sementara itu, rakyatnya mulai dipindahkan ke hotel karena rumah mereka hancur diterjang rudal. Kilang minyak terbakar. Bandara utama ditutup. Dan ribuan warga disuruh tinggal di rumah, bukan karena pandemi, tapi karena negeri yang mereka percayai bisa menjaga mereka, ternyata lebih sibuk menjaga ego dan ilusi ketangguhan.
Ini bukan lagi sekadar perang militer. Ini perang eksistensial—antara mitos dan kenyataan. Mitos bahwa Israel adalah negara tak terkalahkan, tak terjamah, dan selalu unggul dalam segala hal. Kenyataannya, sistem pertahanan mereka bisa ditembus. Infrastruktur mereka bisa dihancurkan. Dan lebih tragis lagi, mereka tidak bisa sepakat siapa yang akan bayar semua tagihan ini.
Kita di Indonesia tahu rasanya anggaran negara berantakan. Tapi setidaknya, kita belum pernah mengirim jet tempur ke negara tetangga tanpa tahu dari mana uang rokoknya besok. Kita belum pernah menembakkan rudal seharga miliaran, lalu bingung beli oli buat tank. Dan kita, walaupun sering disalahkan karena “terlalu banyak rapat”, setidaknya tidak sedang mengalami pertengkaran kabinet karena menteri-menterinya tidak ingin membayar perang yang mereka setujui sendiri.
Masalahnya bukan cuma uang. Ini tentang ketelanjangan struktur negara yang terlalu percaya pada superioritasnya sendiri. Mereka pikir bisa melawan Iran, mengurung Gaza, mengintimidasi Hizbullah, dan sekaligus mempertahankan citra stabil di hadapan investor global. Tapi bahkan S&P, lembaga pemeringkat kredit dunia, mulai mengangkat alis. Dunia bisnis tidak suka ketidakpastian. Mereka bisa menoleransi perang, asal perang itu bisa diprediksi. Tapi perang yang ditarik-tarik oleh ego dan dendam, tanpa peta jalan atau anggaran yang jelas? Itu adalah taruhan yang bahkan Wall Street enggan mainkan.
Lucunya, semua ini terjadi saat Netanyahu masih duduk nyaman sebagai perdana menteri, seolah dunia baik-baik saja. Ia tidak mundur, tidak meminta maaf, tidak mengubah arah. Ia hanya terus maju, berharap dunia percaya bahwa semua ini terkendali. Padahal, seperti yang dilaporkan Wall Street Journal, biaya satu bulan perang bisa mencapai 12 miliar dolar. Dan itu baru untuk Iran. Belum untuk Gaza. Belum untuk Lebanon. Belum untuk kemungkinan perang dalam negeri jika rakyat yang makin marah akhirnya turun ke jalan.
Kita bisa pura-pura kagum pada keberanian Israel. Atau kita bisa jujur dan menyebutnya kebodohan strategis. Dunia sedang berubah. Ketahanan negara tidak hanya diukur dari rudal dan jet tempur, tapi dari seberapa kuat pemerintahannya bekerja sama, seberapa bijak mereka mengatur sumber daya, dan seberapa rendah arogansi yang mereka pelihara. Dan hari ini, Israel sedang kalah dalam semua itu.
Jadi, ketika mereka berkata, “kami tak akan mundur sebelum Iran dilumpuhkan,” mungkin kita perlu bertanya balik: siapa sebenarnya yang sedang lumpuh sekarang? Ketika seorang pemimpin lebih takut terlihat lemah di mata publik daripada menghitung keruntuhan negaranya sendiri, maka runtuhnya bukan lagi sekadar kemungkinan—itu hanya soal waktu.
Mereka yang gemar bermain api biasanya tahu risikonya. Tapi mereka yang sudah lama merasa kebal terbakar, cenderung lupa bahwa percikan terkecil pun bisa menghanguskan seluruh rumah. Dan jika hari itu datang, dunia mungkin tak akan kaget. Hanya mengangguk pelan, dan berkata, “Akhirnya.”