Opini
Lonjakan Impor, Anomali dalam Politik Dagang Trump

Ekonomi Amerika Serikat menyusut 0,5% pada kuartal pertama 2025. Bukan sekadar fluktuasi biasa, bukan dampak dari guncangan eksternal atau bencana alam, melainkan hasil dari kekacauan yang bersumber dari dalam negeri sendiri. Lebih buruk dari perkiraan awal 0,2%, penurunan ini mencerminkan bahwa sesuatu yang lebih dalam sedang retak di fondasi ekonomi Amerika—dan retakan itu berbunyi nyaring dalam bahasa impor, angka GDP, dan kebijakan yang melawan arus zaman.
Penyebab utama kontraksi ini cukup mencengangkan: lonjakan impor sebesar 37,9%—terbesar sejak 2020. Ini bukan pertanda kepercayaan pada pasar global, tapi gejala panik massal di kalangan pelaku usaha AS. Mereka memborong barang-barang luar negeri, terutama dari China, untuk menimbun stok sebelum tarif tinggi Trump berlaku penuh. Alhasil, bisnis yang semestinya menggeliat justru tersandung oleh strategi menghindari hukuman yang belum sepenuhnya dijatuhkan.
Inilah paradoks paling telanjang dari proteksionisme ala Trump. Dalam upaya melindungi industri dalam negeri dari “serbuan asing,” ia justru mendorong lonjakan konsumsi barang impor dengan cara yang paling ironis: menciptakan rasa takut. Ketika pelaku usaha takut harga akan melambung akibat tarif, mereka membeli lebih banyak sekarang—dan angka itulah yang menghantam neraca dagang dan pertumbuhan ekonomi. Membentengi pasar dari luar, tapi lupa bahwa pasar bisa bereaksi dari dalam.
Bisa dibayangkan bagaimana ruang rapat para CEO raksasa manufaktur dipenuhi perdebatan bukan tentang inovasi atau ekspansi, tapi tentang kontainer—berapa yang harus dibeli, disimpan, dan diangkut sebelum segalanya menjadi lebih mahal. Perekonomian menjadi ladang logistik, bukan laboratorium ide. Ini bukan kapitalisme yang Trump janjikan di panggung kampanye. Ini kapitalisme yang berubah jadi bunker—penuh barang, penuh kecemasan, dan penuh ironi.
Secara teknis, angka GDP turun karena impor menggerus komponen ekspor neto dalam perhitungan. Tapi secara politis, ini adalah luka simbolis bagi kepresidenan Trump. Ia berkuasa dengan janji membalik peta perdagangan dunia: memaksa China tunduk, menekan Uni Eropa, dan mengembalikan kejayaan industri Amerika. Namun yang terjadi justru sebaliknya—China belum mundur, Eropa menjauh, dan sektor industri AS justru gemetar karena ketidakpastian yang dibuat oleh tangan pemimpinnya sendiri.
Trump bisa saja mengklaim ini sebagai “sakit sementara menuju pemulihan besar,” semacam fase pembersihan dalam revolusi ekonomi. Tapi bagaimana kita bisa menyebut revolusi ketika yang jatuh justru rakyat sendiri—usaha kecil yang tak bisa menimbun, konsumen yang harus membayar lebih mahal, dan negara yang angkanya melorot di laporan resmi? Kalau ini adalah rencana, maka rencana itu cacat sejak awal.
Bahkan jika benar kuartal kedua akan bangkit hingga 3%, seperti diprediksi beberapa ekonom, pemulihan itu bersifat kosmetik. Ia hanyalah efek dari lonjakan sebelumnya yang tidak berulang. Sebuah technical rebound—bukan tanda kesehatan yang sesungguhnya. Seperti tubuh yang berhenti demam setelah berhenti menyuntik dirinya dengan zat beracun, tapi tidak menjadi lebih kuat, hanya tidak sekarat. Dan dalam politik, angka bisa sembuh, tapi kepercayaan publik tak semudah itu pulih.
Sementara itu, dunia tidak menunggu. Uni Eropa dan China mulai memalingkan pandangan dari AS, mencari mitra dagang baru di Indo-Pasifik dan negara-negara Global South. Mereka tidak mau berjudi dengan pemimpin yang mengubah arah kebijakan seperti mengganti saluran TV. Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, mulai dilirik sebagai pasar alternatif, sebagai jalur cadangan jika Washington terus menutup diri. Ini peluang bagi kita—ya, bagi Indonesia—jika bisa memanfaatkan kekacauan global dengan kecermatan diplomatik dan strategi dagang yang terbuka, terukur, dan stabil.
Tapi peluang tidak akan datang dua kali. Jika kita hanya menjadi pelengkap, sekadar target ekspor tanpa memperkuat kapasitas industri sendiri, maka kita hanya menjadi korban baru dari turbulensi global. Pelajaran dari Trump bukan hanya tentang kegagalan proteksionisme, tapi juga tentang pentingnya ketahanan ekonomi domestik yang tidak mudah goyah oleh gejolak luar. Trump menunjukkan bagaimana mudahnya negara besar kehilangan kendali ketika kebijakan ekonomi didekati seperti pertempuran ego.
Dan jangan lupakan sisi diplomatiknya. Dalam KTT NATO terakhir, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut perang dagang Trump sebagai “aberration”—penyimpangan. Kata itu bukan kritik semata, tapi sinyal bahwa bahkan sekutu terdekat pun sudah lelah dengan pendekatan unilateral dan populisme dagang. Ketika NATO sepakat meningkatkan anggaran pertahanan hingga 5% GDP, Trump justru menyulut ketegangan lewat tarif. Sekutu bukan lagi merasa diajak berperang bersama, tapi merasa dikenai pajak untuk bertahan di pertemanan.
Kita sedang melihat sebuah pola. Amerika Serikat, di bawah Trump, tidak lagi bertindak sebagai pemimpin pasar bebas dunia. Ia berubah menjadi semacam penguasa gudang yang terus mengubah peraturan permainan, kadang membuka pintu, kadang menguncinya, dan seringkali menyalahkan tamu atas kekacauan sendiri. Jika ada istilah untuk ini, mungkin “anarki terorganisir”—di mana setiap keputusan mengklaim punya tujuan, tapi semua akibatnya berjalan ke arah yang berlawanan.
Bagi warga Indonesia, barangkali situasi ini terdengar jauh. Tapi dunia global tak lagi mengenal jarak. Ketika ekonomi AS terguncang, harga komoditas bisa naik-turun, pasar modal bergetar, nilai tukar rupiah ikut tersedak. Ketika barang China membanjiri pasar AS sebelum tarif naik, kemungkinan besar sebagian dari itu dialihkan ke pasar negara berkembang, termasuk kita, saat AS menutup pintunya. Maka ketika Trump bermain api di dapurnya, percikan apinya bisa menyambar dapur tetangga.
Dan di sinilah letak absurditasnya. Sebuah kebijakan yang bertujuan menyeimbangkan neraca perdagangan justru membuatnya makin timpang. Sebuah presiden yang berjanji memulihkan supremasi industri Amerika justru mengundang keraguan dari sekutunya sendiri. Sebuah ekonomi yang mestinya menjadi mercusuar dunia, kini tampak seperti rumah kaca yang retak dari dalam.
Mungkin Trump dan para pendukungnya melihat semua ini sebagai bagian dari “perjuangan besar melawan globalisme”. Tapi seperti orang yang menggali lubang untuk menjatuhkan musuh, kadang lupa bahwa dia sendiri sedang berdiri di tepi. Dan lubang ekonomi ini sudah terlalu dalam untuk diabaikan.
Akhirnya, pertanyaan yang tersisa bukan lagi soal apakah kebijakan tarif efektif atau tidak. Tapi lebih mendasar: apakah para pemimpin kita memahami bahwa ekonomi bukan arena pertarungan, melainkan ruang koordinasi? Bahwa ketegasan tak harus berarti gegabah? Bahwa keberanian membuat kebijakan tak berarti mengabaikan realitas pasar?
Karena jika tidak, kita bisa saja mengulang ironi ini di tanah sendiri—dengan jargon nasionalisme ekonomi, dengan perang dagang lokal, dan dengan keyakinan keliru bahwa semakin tertutup kita, semakin kuat jadinya. Padahal dunia sudah lama bergerak ke arah sebaliknya.
Dan dalam absurditas global hari ini, barangkali hanya satu yang tetap konsisten: pasar tidak pernah bohong. Tapi para pemimpin… ah, itu soal lain.