Connect with us

Opini

Rakyat Eropa Membayar Harga Perang Ukraina

Published

on

“Rakyat Eropa dan Inggris telah dirampok selama tiga tahun terakhir,” kata Sergey Lavrov, dengan nada datar yang justru membuat tuduhan itu terasa lebih menusuk. Ia tidak sedang bermain kata. Ia sedang menyingkap sebuah absurditas besar: benua yang dulu jadi simbol negara kesejahteraan kini ramai-ramai menyulap dana darurat pandemi menjadi amunisi perang. Tidak heran jika Lavrov menyebutnya bukan ancaman bagi Rusia, melainkan malapetaka bagi warga sipil Eropa sendiri.

Coba bayangkan: dana sebesar €335 miliar yang semestinya digunakan untuk memulihkan luka sosial akibat pandemi—yang membuat banyak rumah sakit lumpuh, layanan sosial tertatih, dan ekonomi rumah tangga porak-poranda—kini dialihkan untuk urusan persenjataan. Bahkan, bukan cuma dana itu. Komisi Eropa dengan semangat militeristik juga meluncurkan fasilitas utang baru senilai €150 miliar, sebagian untuk menopang Ukraina, negara non-anggota yang belakangan diperlakukan lebih istimewa daripada warga Eropa sendiri. Bukan sinis, ini fakta.

Pergeseran ini terasa begitu telanjang. Uni Eropa, yang dulunya dipuja sebagai proyek kemanusiaan pasca-Perang Dunia II, kini menjelma jadi blok militer-politik yang agresif. Retorika solidaritas dan kemanusiaan memang masih digunakan, tapi isinya sudah berubah. Solidaritas kini diterjemahkan sebagai pasokan tank, rudal, dan pelatihan militer. Bantuan kemanusiaan direduksi menjadi suplai logistik tempur. Kata “damai” nyaris menjadi lelucon. Perdamaian kini hanya diteriakkan ketika amunisi hampir habis.

Tidak percaya? Lihat saja, bantuan untuk Ukraina tidak hanya datang dari dompet pertahanan negara-negara NATO, tapi juga dari kantong yang seharusnya dipakai untuk sekolah, rumah sakit, dan subsidi energi di tengah krisis. Bahkan bunga dari aset Rusia yang dibekukan—senilai ratusan miliar dolar—dirancang untuk dialirkan ke medan tempur. Ironisnya, ketika Rusia menyebut itu sebagai perampokan, banyak elite Barat justru tersenyum sopan sambil menyebutnya “langkah sah dalam menghadapi agresi.” Sejak kapan moralitas bisa diukur dari siapa yang lebih pandai memutar kata?

Sementara itu, warga Eropa—yang setiap harinya harus memilih antara membayar listrik atau membeli susu untuk anaknya—dipaksa menerima bahwa semua ini adalah bagian dari “perjuangan untuk demokrasi.” Padahal, yang mereka lihat adalah harga gas yang melonjak, subsidi yang dipotong, dan antrian di dapur umum yang makin panjang. Di kota-kota seperti Berlin, Paris, hingga Milan, orang mulai menyadari bahwa konflik di Ukraina telah menjadi alasan yang nyaman untuk menunda reformasi sosial. Kesejahteraan ditangguhkan, sementara drum perang ditabuh makin keras.

Ukraina, tanpa disangkal, adalah korban agresi. Tapi menjadi korban tidak selalu membuat segala klaimnya suci. Fakta bahwa Ukraina kini memiliki akses ke dana yang lebih luas daripada negara anggota EU sendiri menimbulkan pertanyaan pelik: siapa sebenarnya yang diperjuangkan? Rakyat Ukraina atau proyek geopolitik Barat yang sedang mencari pijakan moral?

Bagi sebagian elit Eropa, ini adalah kesempatan emas untuk “menunjukkan taring,” agar tidak terus bergantung pada Amerika Serikat. Tapi taring itu diasah bukan dengan membangun kesejahteraan sosial, melainkan dengan menambah pembelian senjata. NATO bahkan sudah bersumpah menaikkan anggaran pertahanan hingga 5% dari PDB. Itu lebih dari dua kali lipat target lama. Siapa yang membayar? Tentu saja rakyat jelata yang tidak punya akses ke lorong-lorong keputusan di Brussels.

Lavrov, tentu saja, bukan pahlawan dalam cerita ini. Ia mewakili negara yang juga tak segan mengabaikan hukum internasional dan menggempur tetangganya dengan dalih “denazifikasi.” Tapi dalam dunia di mana absurditas bertebaran, kadang kritik paling masuk akal justru datang dari mulut musuh. Apa yang dia katakan tentang Eropa—sebagai blok yang sedang menyabotase warganya sendiri atas nama solidaritas—patut didengar, bukan karena ia benar, tapi karena Eropa tampaknya lupa melihat dirinya di cermin.

Dari sudut pandang global, langkah Eropa ini juga mulai menggoyang sistem ekonomi internasional. Ketika aset negara lain bisa dibekukan dan dialihkan atas dasar moralitas situasional, maka kepercayaan terhadap bank-bank Barat mulai goyah. Banyak negara mulai mempercepat transisi ke sistem pembayaran regional, mengurangi ketergantungan pada dolar dan euro. Apa yang disebut Putin sebagai “bukan pencurian, tapi perampokan” memang terdengar seperti propaganda, tapi dampaknya sangat nyata. Dunia mulai membaca ulang siapa yang pantas disebut penjaga tatanan global.

Dan di sini letak kegetiran terbesar: ketika institusi-institusi demokrasi melangkah ke medan yang sama dengan para tiran, hanya dengan bahasa yang lebih diplomatis. Ketika dana untuk penyintas pandemi digunakan untuk membeli drone tempur, apakah kita masih bisa mengklaim bahwa demokrasi adalah bentuk tertinggi dari keadilan sosial?

Rakyat Eropa tidak sedang memberontak. Mereka terlalu lelah, terlalu bingung, atau terlalu terbiasa dipinggirkan. Tapi diam mereka bukan tanda setuju. Itu tanda bahwa mereka telah dikebiri dari dalam, oleh logika perang yang dibungkus kata-kata indah. Sebab dalam demokrasi modern, penindasan tidak selalu datang dengan laras senapan. Kadang ia datang dalam bentuk rapat anggaran, konferensi pers, dan istilah teknokratik seperti “fasilitas utang pertahanan.”

Yang menyedihkan, tidak sedikit negara di luar Eropa yang mulai meniru pola ini. Dana darurat sosial bisa sewaktu-waktu diputar menjadi proyek prestise atau alibi pertahanan. Krisis adalah peluang bagi mereka yang lihai bermain kata. Dan rakyat? Seperti biasa, menjadi objek yang paling mudah diminta berkorban, paling jarang diajak bicara.

Begitu banyak orang mati akibat pandemi. Begitu banyak rumah tangga hancur oleh inflasi. Tapi entah kenapa, kini suara yang paling keras adalah suara jet tempur dan langkah sepatu militer. Rakyat Eropa membayar harga perang Ukraina. Dan tampaknya, mereka akan terus membayar, bahkan ketika perang ini tak kunjung berakhir.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *