Connect with us

Opini

Lebih dari Rudal: Gencatan Iran dan Kekalahan Mitologi Israel

Published

on

Dalam tempo hanya 48 jam, dunia menyaksikan bagaimana Presiden Donald Trump bergerak dari euforia ke kemarahan, dari pengakuan akan kemenangan menuju frustasi. Ia mengumumkan bahwa sebuah kesepakatan gencatan senjata antara Iran dan Israel telah dicapai—dengan nada penuh kemenangan, seolah perang yang mengancam kawasan telah dihentikan oleh tangan dinginnya. Namun, kenyataan di lapangan jauh dari linier. Kesepakatan yang diklaim sebagai “Complete and Total Ceasefire” itu bukan hanya rapuh, tapi sejak awal tak pernah sepenuhnya disepakati oleh para pihak utama.

Trump tampak ingin mengemas semua itu sebagai cerita heroik, satu lagi capaian yang bisa ia jual ke publik menjelang puncak agenda-agenda internasional seperti KTT NATO. Namun di balik layar, Netanyahu memilih diam selama berjam-jam setelah Trump mengumumkan gencatan, sementara Iran justru masih meluncurkan serangan setelah batas waktu yang mereka tetapkan sendiri. Bahkan Ayatollah Khamenei menegaskan di media sosial bahwa Iran “tidak akan menyerah.” Jika ini disebut kesepakatan, maka ia adalah sebuah kesepakatan yang lahir dari tekanan sepihak, bukan pertemuan kehendak yang setara.

Iran memang berada dalam posisi kuat ketika gencatan diumumkan. Setelah 12 hari agresi Israel, Iran bukan hanya mampu bertahan tetapi juga berhasil melancarkan serangan balasan yang menyasar jantung militer Israel dan bahkan menargetkan pangkalan militer AS di kawasan. Dari 14 rudal yang ditembakkan ke pangkalan militer AS di Qatar, hanya satu yang lolos—bukan karena kesalahan, melainkan karena diarahkan ke wilayah nonstrategis sebagai bagian dari sinyal: kami mampu, tapi kami menahan diri. Ini bukan tindakan dari negara yang lemah atau panik, melainkan negara yang paham kapan harus menyerang, dan kapan harus berhenti.

Tentu saja, publik—terutama mereka yang mengikuti jejak Iran dalam mendukung Palestina—merasa harap-harap cemas. Banyak yang bertanya, mengapa gencatan senjata disepakati ketika lawan sedang limbung? Mengapa tidak diselesaikan hingga tuntas? Apalagi rakyat Iran sendiri, yang dalam berbagai demonstrasi dan pernyataan publik, menunjukkan dukungan besar terhadap serangan balasan terhadap Israel. Tidak sedikit yang berharap Iran terus maju, setidaknya untuk menegaskan bahwa zionis tak lagi kebal hukum, tak lagi mampu menyerang tanpa balasan.

Namun logika Iran bukan logika penaklukan. Iran bukan Israel yang menolak gencatan senjata saat membombardir Gaza selama berbulan-bulan. Iran hanya menyerang sebagai bentuk pembalasan atas agresi, bukan sebagai bentuk ekspansi atau pendudukan. Saat lawan menawarkan jalan damai, Iran justru menerimanya. Karena jika Iran terus menyerang ketika musuh sudah mundur, maka apa bedanya dengan mereka yang membantai tanpa ampun di Rafah, Khan Younis, dan Jabalia? Perang bukan sekadar soal kekuatan dan kehendak, tapi juga etika dan prinsip. Dan prinsip inilah yang, dalam diamnya, justru menjadi senjata paling tajam Iran.

Dalam pernyataannya, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Saeed Khatibzadeh, menegaskan bahwa Amerika-lah yang pertama kali menghubungi Teheran untuk meminta gencatan. Washington, katanya, mengirim pesan lewat jalur-jalur diplomatik setelah menyadari bahwa Iran bukan hanya tidak terkejut, tapi juga sudah siap merespons serangan terhadap fasilitas nuklirnya. Bahkan, kata Khatibzadeh, Iran akan membawa serangan terhadap fasilitas ilmiahnya ke Dewan Keamanan PBB, sebagai bentuk protes atas tindakan yang ia sebut sebagai agresi terhadap peradaban.

Dan di titik ini, kita melihat bahwa Iran memandang konflik ini jauh melampaui urusan militer. Serangan terhadap pusat sains dan teknologi Iran bukan sekadar sabotase strategis, tapi serangan terhadap nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Dalam narasi resmi Teheran, diplomasi tak mungkin dijalankan setelah lawan menghancurkan simbol-simbol pengetahuan dan kemajuan. Namun tetap, Iran tak menutup pintu perdamaian. Bukan karena mereka mempercayai lawan, tetapi karena mereka tahu bahwa perdamaian tidak selalu lahir dari kepercayaan—seringkali justru lahir dari pengendalian diri.

Ini adalah pengendalian diri yang sulit dipahami oleh banyak kalangan di luar Iran, termasuk di Indonesia. Di negeri ini, yang jauh dari pusat konflik tapi tidak jauh dari dampaknya secara moral dan emosional, banyak yang mengidolakan perlawanan Iran sebagai simbol keteguhan dunia Islam. Banyak yang kecewa, karena melihat potensi kemenangan belum diraih sepenuhnya. Tapi mungkin di sinilah letak kedewasaan Iran. Mereka paham bahwa perlawanan bukanlah balapan. Bukan pula panggung popularitas. Tapi proses panjang, berlapis, penuh tekanan, dan tidak selalu memuaskan dalam jangka pendek.

Pertanyaan yang patut kita renungkan bersama adalah ini: apakah kemenangan sejati dalam sebuah konflik adalah saat lawan hancur, atau saat kita tetap utuh sebagai manusia yang menjunjung tinggi martabat? Ketika Israel menolak gencatan saat membantai warga Gaza, dunia tahu siapa agresor dan siapa korban. Ketika Iran justru menerima gencatan meski dalam posisi kuat, maka dunia juga tahu siapa yang bertindak dengan kehormatan.

Tidak ada kemenangan yang sempurna dalam perang, hanya ada luka dan harapan agar perang tak terulang. Dan dalam narasi seperti ini, sering kali tindakan menahan serangan jauh lebih kuat daripada ribuan rudal yang ditembakkan. Iran mungkin belum menghancurkan seluruh kekuatan militer Israel, tapi mereka sudah menghancurkan mitos bahwa Israel tidak bisa diserang. Mereka juga telah menunjukkan pada dunia bahwa kekuatan sejati tidak selalu ditunjukkan dengan letusan, tetapi juga dengan keputusan untuk tidak meledakkan semuanya.

Jika ini bukan kemenangan, lalu apa?

Dan jika perdamaian ini bersifat sementara, maka mungkin memang begitulah ritme sejarah perlawanan: bertahan, menyerang, mundur, lalu kembali lagi—dengan kepala tegak, bukan karena nafsu, tapi karena prinsip. Iran tidak memenangkan semua pertempuran, tapi mereka mempertahankan hal paling penting dalam perang: kemanusiaan.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *