Connect with us

Opini

Gencatan Senjata: Masihkah AS dan Israel Layak Dipercaya?

Published

on

Ketika Benjamin Netanyahu mengumumkan bahwa Israel menerima usulan gencatan senjata yang digagas Donald Trump dengan Iran pada 24 Juni 2025, dunia seolah menahan napas. Kata “damai” yang keluar dari mulut dua pemimpin yang selama ini dikenal gemar memicu badai terasa seperti angin sepoi yang tak bisa dipercaya. Di Tehran, langit yang baru saja digemuruhkan oleh jet-jet tempur Israel kini mendadak sunyi. Tapi rakyat Iran tahu: keheningan ini rapuh. Sejarah mengajarkan bahwa gencatan senjata sering kali bukanlah awal dari perdamaian, melainkan hanya jeda menuju babak kekerasan berikutnya.

Tak butuh waktu lama, tanda-tanda kerapuhan itu segera muncul. Hanya beberapa jam setelah pengumuman gencatan, tuduhan pelanggaran langsung menyeruak. Israel mengklaim Iran menembakkan dua rudal ke wilayahnya, yang konon berhasil dicegat sistem pertahanan udara. Iran membantah keras, dan justru menuduh Israel yang pertama kali menyerang pasca-gencatan. Sirene kembali meraung di wilayah utara Israel, sementara di Tehran, ledakan mengguncang pagi yang seharusnya damai. Donald Trump, yang sebelumnya bersorak atas apa yang ia sebut sebagai “kemenangan dunia”, kini justru mengeluh di Gedung Putih. Ia menyalahkan kedua belah pihak—“Mereka melanggar, tapi Israel juga,” katanya, sebelum menyerukan penghentian pemboman lewat unggahan media sosial.

Kekacauan ini, sejatinya, bukan kejutan. Associated Press mencatat bahwa gencatan senjata ini sejak awal memang tidak memiliki mekanisme implementasi yang jelas. Tanpa kehadiran pengawas independen, siapa pun bisa menuduh dan menyangkal semaunya. Tuduhan saling langgar bukan lagi kejadian luar biasa, tapi justru menjadi rutinitas dalam konflik Timur Tengah.

Latar belakang sejarah memperkuat keraguan terhadap kesungguhan gencatan ini. Israel memiliki catatan panjang dalam melanggar perjanjian serupa. Ambil kasus gencatan senjata dengan Hizbullah pada November 2024. Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701, Hizbullah telah menarik pasukannya dari selatan Sungai Litani, namun Israel terus melancarkan serangan udara ke Lebanon dengan dalih “pencegahan ancaman”. Kota-kota seperti Beirut dan Bekaa kembali dihantam rudal, meninggalkan warga sipil dalam ketakutan dan kekecewaan. Hizbullah yang semula menahan diri demi menjaga kesepakatan, justru dipaksa kembali bersiap menghadapi eskalasi.

Pola serupa terlihat di Gaza. Pada Januari 2025, gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang dimediasi Qatar dan Mesir ternyata diwarnai oleh serangan udara Israel menjelang implementasinya. Serangan terhadap Jembatan Wadi Gaza pada 21 Januari—yang terjadi justru saat perjanjian larangan agresi sudah diteken—menewaskan 119 warga Palestina. Warga Gaza yang sempat menyambut harapan baru, kembali dikhianati oleh kenyataan pahit.

Tak heran jika Iran kini merespons dengan penuh kecurigaan. Laporan dari RT dan Al Mayadeen menyebut bahwa Israel melancarkan serangan ke fasilitas nuklir Iran pada 13 Juni 2025, tepat saat Iran tengah bernegosiasi dengan Amerika Serikat terkait program nuklirnya. Negosiasi pun bubar di meja runding, dan Iran membalas melalui Operasi True Promise III—serangkaian rudal menghantam wilayah Israel. Serangan itu menewaskan ilmuwan nuklir dan komandan penting IRGC. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menegaskan bahwa Tehran menolak berunding di bawah ancaman. Meski dihantam, Iran bersikeras bahwa program nuklirnya akan terus berlanjut. Kini, ketika gencatan diumumkan, Iran tetap waspada: “kami siap dengan tangan di pelatuk,” ujar juru bicara militer mereka.

Di tengah segala kegaduhan ini, peran Amerika Serikat sebagai mediator kembali dipertanyakan. Alih-alih bersikap netral, AS justru terlihat memainkan peran sebagai mitra strategis Israel dalam serangan ke Iran. Pada 21 Juni, beberapa fasilitas nuklir utama Iran—Fordow, Natanz, Isfahan—dibom oleh koalisi AS-Israel. Iran pun merespons dengan menghantam pangkalan militer AS di Al Udeid, Qatar. Meski kemudian Trump menyebut gencatan senjata sebagai “kemenangan diplomasi dunia”, pernyataannya soal “menguasai” Gaza dan merelokasi penduduknya ke Mesir dan Yordania, yang didukung Netanyahu, menyingkap agenda kolonial yang terselubung.

AS bahkan disebut memberikan “jaminan rahasia” kepada Israel dalam kesepakatan gencatan senjata dengan Hizbullah: Israel tetap diberi ruang untuk “membalas serangan”. Dengan mediator semacam ini, bagaimana bisa kesepakatan damai diharapkan bertahan? Qatar dan Mesir, yang sejauh ini relatif berhasil memediasi gencatan di Gaza, tampak lebih netral. Namun, pengaruh mereka terhadap Israel sangat terbatas.

Korban manusiawi dari konflik ini adalah cerminan paling tragis dari kegagalan diplomasi global. Menurut Human Rights Activists, sedikitnya 974 orang tewas di Iran dalam dua pekan konflik terakhir, termasuk 387 warga sipil. Di Israel, 28 orang meninggal, termasuk warga Beersheba yang rumahnya hancur dihantam rudal. Di Gaza, sejak Oktober 2023, lebih dari 46.707 nyawa melayang—mayoritas perempuan dan anak-anak. Lebanon pun tak luput, dengan lebih dari 2.400 kematian dalam setahun terakhir. Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka adalah ayah yang tak pernah pulang, anak yang kehilangan masa depan, dan ibu yang menangis di antara reruntuhan. Bagi mereka, gencatan senjata, betapapun rapuhnya, adalah nafas di ujung derita.

Namun apa arti gencatan senjata jika ia hanya jeda untuk mempersiapkan serangan berikutnya? Kekhawatiran bahwa Israel dan AS tengah menyusun rencana baru bukan sekadar teori konspiratif. Netanyahu secara terbuka menyatakan tujuannya bukan sekadar menghentikan program nuklir Iran, tetapi “menggulingkan rezim” di Tehran. Trump, dengan retorika khasnya soal “penyerahan total”, tampak mendukung visi ini. Laporan dari PressTV menyebutkan bahwa Israel telah melanggar gencatan setidaknya tiga kali hingga pukul 09.00 di hari yang sama saat kesepakatan diumumkan—meski rincian verifikasinya belum tersedia. Ini mengulang pola yang sama seperti di Gaza dan Lebanon, di mana gencatan senjata sering kali dijadikan topeng untuk mengintensifkan tekanan militer.

Tentu, Iran juga tidak sepenuhnya tanpa kesalahan. Serangan ke Qatar dan Israel, meskipun sudah diperingatkan sebelumnya, tetap memperlihatkan bahwa Tehran siap mengambil jalan eskalasi. Tapi berbeda dengan pendekatan Israel yang semakin agresif dan penuh ancaman, Iran justru menunjukkan keterbukaan terhadap jalur diplomasi—asal tekanan dihentikan. Menteri Araghchi menegaskan bahwa Iran tidak menginginkan perang, namun “siap bertahan hingga tetes darah terakhir.” Sementara itu, ancaman Menteri Keuangan Israel, Betzalel Smotrich, yang mengatakan bahwa “Tehran akan gemetar”, justru mencerminkan pendekatan kekerasan yang terus-menerus.

Dunia tak bisa terus diam menyaksikan ini. Seruan dari 23 negara—termasuk Indonesia—yang mendesak gencatan senjata pada 17 Juni adalah sinyal penting bahwa masyarakat internasional mulai jenuh dengan pendekatan militeristik yang tak berujung. PBB, Uni Eropa, bahkan Arab Saudi ikut menyerukan penghentian konflik. Rusia menyambut baik gencatan, meski skeptis terhadap keberlangsungannya. Namun, tanpa kehadiran pengawas internasional yang independen—seperti UNIFIL di Lebanon yang kerap diabaikan Israel—harapan itu akan cepat luntur. Qatar dan Oman, dengan rekam jejak sebagai mediator yang lebih netral, mungkin dapat menawarkan jalur alternatif. Tapi mereka butuh dukungan global nyata untuk menekan AS dan Israel agar menghentikan pendekatan koersif.

Di tengah semuanya, rakyat biasa tetap menjadi korban yang paling sunyi. Di Beersheba, warga masih membersihkan puing rumah yang hancur. Di Tehran, keluarga menguburkan korban sambil berdoa agar tidak ada lagi perang. Di Gaza dan Lebanon, harapan pada gencatan senjata bercampur dengan ketakutan akan pengkhianatan. Dunia berbicara tentang perdamaian, tetapi bagi mereka yang hidup di bawah bayang-bayang bom, kata “damai” telah kehilangan makna.

Gencatan senjata, dalam prinsipnya, adalah langkah yang baik. Ia memberi jeda, membuka ruang diplomasi, dan memberi nafas bagi mereka yang hidup di bawah deru rudal. Tapi kebaikan itu hanya berlaku jika dijalankan oleh pihak-pihak yang menghargai janji dan menghormati kehidupan manusia.

Sayangnya, dalam konflik ini, Israel dan Amerika Serikat telah berulang kali menunjukkan bahwa mereka bukanlah pihak yang dapat dipercaya dalam perjanjian damai. Dengan rekam jejak pelanggaran yang terus berulang, dari Gaza hingga Lebanon, dari meja perundingan nuklir hingga operasi militer tersembunyi, mereka justru menggunakan kata “damai” sebagai alat untuk menyesatkan, menekan, bahkan menyerang.

Israel berbicara soal keamanan sambil melanggar kesepakatan yang baru saja diteken. AS mengklaim sebagai mediator, tapi malah ikut mengebom dan diam-diam memberikan lampu hijau untuk agresi. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin dunia bisa mempercayai gencatan senjata yang mereka rumuskan?

Damai sejati hanya bisa lahir dari komitmen, bukan dari kelicikan. Dan gencatan senjata hanya layak dihargai jika ditegakkan oleh mereka yang memegang ucapannya, bukan mereka yang memelintirnya menjadi senjata. Dunia harus berhenti memperlakukan pelanggar kesepakatan sebagai penjaga perdamaian. Karena perdamaian yang dibangun di atas kebohongan dan pengkhianatan hanya akan melahirkan perang yang lebih panjang.

Jeda ini memang memberi nafas, tapi jika dibiarkan dikendalikan oleh mereka yang bermain kotor, maka jeda ini bukan jalan menuju damai—melainkan lorong gelap menuju siklus kekerasan berikutnya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *