Opini
Megafon Sang Jagoan: Dunia Ribut, Trump Ribut Lebih Keras

Dunia sedang ribut. Di tengah hiruk-pikuk itu, Donald Trump berdiri dengan megafon, berteriak seakan menjadi dirigen orkestra kekacauan global. Nada yang ia pimpin bukan simfoni kepemimpinan, tapi mars ketegangan—perang dagang dengan China, ancaman keluar dari NATO, deportasi massal yang bikin Meksiko dan Kanada naik darah, hingga serangan mengejutkan ke fasilitas nuklir Iran. Semua itu dilancarkan dalam tempo yang nyaris bersamaan, seperti anak kecil yang tak sabar memainkan semua pion di papan Monopoli.
Masalahnya, dunia bukan permainan papan Monopoli, dan Trump bukan pemain jenius. Ia tampak lebih seperti bocah yang merobek-robek aturan main dan menganggap tiap krisis sebagai peluang berteriak lebih keras.
Alih-alih membuat Amerika kembali hebat, langkah-langkahnya justru mendorong AS masuk ke lubang persoalan multidimensi: krisis ekonomi, isolasi diplomatik, instabilitas global, dan kekacauan domestik. Jika inilah yang disebut “strategi,” maka itu adalah strategi sembrono yang dibungkus dengan ego dan disajikan di atas meja kaca opini publik.
Bayangkan saja: tarif 145% untuk barang dari China. Tentu saja Beijing tak tinggal diam dan membalas dengan tarif 125%. Hasilnya? Harga ponsel, pakaian, hingga mainan anak-anak di AS melonjak. Efek domino melanda hingga pasar-pasar kecil di Jakarta. Konsumen AS menjerit, tapi Trump berseru bahwa ini demi “melindungi” pekerja lokal.
Lindungi siapa? Industri baja AS mungkin senyum sebentar, tapi sektor elektronik dan furnitur babak belur karena rantai pasok global kacau. Menurut IMF, perang dagang ini bisa memangkas pertumbuhan ekonomi global sampai 0,5% pada 2025. Ekspor Indonesia anjlok 32% karena terganggu rantai dagang. Ini bukan sekadar soal angka statistik; ini soal perut rakyat, toko yang gulung tikar, dan pekerja yang kehilangan mata pencaharian.
Lalu ada tekanan terhadap Eropa. Ancaman keluar dari NATO, desakan agar sekutu bayar lebih, dan tarif tambahan 10-40% ke Uni Eropa. Ini bukan sekadar diplomasi keras. Ini seperti menagih utang sambil membakar rumah tetangga. Sekutu lama dibuat gelisah. Mobil Jerman di AS melonjak harganya, anggur Prancis jadi barang mewah, dan suasana hubungan transatlantik yang dulu hangat kini berbau terbakar.
NATO, aliansi yang dibangun selama puluhan tahun dengan darah dan kepercayaan, kini diperlakukan seperti organisasi sewa tentara. Padahal kekuatan NATO bukan cuma uang, tapi solidaritas. Ketika Trump menggoyangnya, Rusia mungkin sedang mengangkat gelas dan bersulang atas kehancuran yang bahkan tak perlu mereka usahakan sendiri.
Beralih ke soal imigrasi. Trump menyebutnya “perang”—kata favoritnya untuk apa saja yang tidak ia mengerti. Tarif ke Meksiko dan Kanada dijatuhkan demi menghentikan migran dan fentanil, seolah dua negara itu adalah pengedar narkoba dan penyelundup manusia. Padahal hasilnya justru kontraproduktif. Harga avokad naik, suku cadang mobil langka, dan petani California bingung cari tenaga kerja. USMCA, perjanjian dagang yang dulu ia banggakan, sekarang goyah karena sikapnya sendiri.
Meksiko dan Kanada bukan musuh. Tapi Trump tampaknya lebih suka menciptakan musuh daripada mempertahankan sahabat. Entah dia ingin negosiasi ulang segalanya, atau sekadar ingin melihat siapa yang masih mau bermain dengannya di meja Monopoli ketika semua sudah menyerah.
Yang paling membuat jantung tercekat tentu saja serangan udara ke tiga fasilitas nuklir Iran pada 22 Juni 2025. Trump menyebutnya “sukses besar.” Tapi siapa yang diuntungkan? Harga minyak langsung meroket, dan rakyat AS mulai mengeluh di pom bensin. Selat Hormuz kembali jadi titik api. Iran mungkin terluka, tapi mereka bukan tipe yang akan diam. Proksi mereka tersebar di seluruh Timur Tengah. Rusia mungkin mengintip kesempatan.
Inilah yang membuat banyak pihak menggigit bibir. Ini bukan sekadar AS vs Iran. Ini potensi konflik regional yang bisa meletus menjadi perang terbuka. Dan seperti biasa, biaya perang ditagihkan kepada rakyat—melalui pajak, utang, dan inflasi. Lupakan jargon “deal of the century.” Yang ada adalah “blunder of the decade.”
Trump tampaknya benar-benar berpikir bahwa diplomasi adalah negosiasi kasino. Anggap Iran seperti dealer nakal yang bisa dilipat dengan gertakan. Sayangnya, Timur Tengah bukan Las Vegas. Di sini, tiap gertakan bisa dibalas dengan roket.
Saya tak bisa tak berpikir: apakah ini semua hanya sandiwara seorang jagoan palsu? Trump, dengan rambut seperti sarang burung yang disemprot hairspray dan cuitan-cuitan X-nya yang lebih keras dari bom cluster, tampak tak sadar bahwa dunia bukan panggung reality show. China tak tinggal diam. Mereka melemahkan yuan, memperluas stimulus ekonomi, dan bersiap menyerap pasar global yang AS tinggalkan. Uni Eropa mulai membuka pintu ke Beijing, dan negara seperti Indonesia pun kini harus menari di antara dua gergasi yang saling senggol.
Trump mungkin menuai tepuk tangan di panggung globalnya. Tapi di luar stadion, banyak negara sedang mengemas kopernya dan mencari mitra baru. Amerika tak lagi jadi pemimpin global. Ia berubah jadi pemecah suasana.
Oke, mari kita bersikap adil sejenak. Mungkin ada semacam “logika kasar” dalam taktik Trump. China terguncang. Yuan melemah. Beberapa perusahaan mulai hengkang ke Vietnam dan India. NATO dipaksa berpikir ulang soal beban biaya. Iran dikejutkan. Semua itu mungkin membuat Trump merasa seperti pemenang.
Tapi logika ini terlalu mirip strategi dagang kelas kaki lima. Ia mungkin menang dalam satu transaksi, tapi kalah besar dalam keseluruhan hubungan. Trump main catur sambil tutup mata, lalu marah ketika bentengnya sendiri tumbang.
Tarif memicu inflasi di dalam negeri. Harga barang naik, daya beli turun. Serangan ke Iran bisa memantik perang besar, dan rakyat AS-lah yang menanggung akibatnya. NATO yang retak akan membuat Eropa berpaling. Sementara itu, utang nasional AS sudah melewati 33 triliun dolar. Jika ekonomi goyah dan perang menganga, siapa yang akan menambal semua itu? Rakyat, tentu saja.
Saya membayangkan seorang ibu di Ohio, yang dulu percaya Trump akan membawa pekerjaan kembali. Kini ia harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli susu dan bensin. Anaknya yang bertugas di militer gelisah akan dikirim ke Timur Tengah. Mereka tak peduli pada strategi geopolitik. Mereka hanya ingin hidup yang layak.
Atau pedagang kecil di Jakarta yang kehilangan pelanggan karena ekspornya anjlok. Dunia ini terhubung. Satu “ribut” di Gedung Putih bisa mengirim guncangan hingga ke kios kecil di sudut Pasar Rebo.
Alih-alih membuat “America Great Again,” langkah Trump malah membawa Amerika ke arah yang sebaliknya—ke arah kerapuhan strategis, konflik yang tak perlu, dan ekonomi yang mengorbankan rakyat bawah. Ia menjadikan megafon sebagai senjata utama, bukan kebijakan. Dunia ini sudah bising. Trump membuatnya lebih bising, tapi bukan membuat dunia lebih baik.
Mungkin dalam pikirannya, dia sedang main Monopoli: beli properti, bangun hotel, hajar lawan, dan menangkan semuanya. Tapi dunia bukan papan permainan. Ini nyata. Ini tentang nyawa, stabilitas, dan masa depan.
Dan seperti kita tahu, di akhir permainan Monopoli, semua kembali ke dalam kotak. Termasuk sang pemain yang terlalu asyik berteriak “aku menang!” tanpa sadar, dunia sudah malas bermain dengannya lagi.