Connect with us

Opini

Ketika Rudal Iran Menggetarkan Narasi Trump

Published

on

Usai serangan rudal Iran mengguncang Pangkalan Udara Al-Udeid di Qatar, dunia seakan menahan napas. Dentuman yang menggema di langit Doha, meski sebagian besar dicegat oleh sistem pertahanan udara, tetap menyisakan ketegangan global: apakah kawasan Timur Tengah akan sekali lagi terperosok ke dalam jurang perang berkepanjangan? Presiden Amerika Serikat Donald Trump, melalui akun Truth Social, menyebut serangan itu “lemah”, tanpa korban jiwa dari pihak Amerika, dan mengumumkan adanya gencatan senjata besar antara Iran dan Israel. Namun, pernyataan tersebut segera dibantah keras oleh Teheran yang menyebutnya sebagai “penipuan besar”. Maka pertanyaan pun muncul: apakah AS benar-benar mundur setelah menghantam fasilitas nuklir Iran, atau ini sekadar manuver narasi?

Kekhawatiran ini bukan milik Timur Tengah semata. Di Indonesia, masyarakat sudah sangat familiar dengan dampak nyata dari ketegangan di Teluk Persia. Kita pernah merasakannya ketika harga minyak mentah melonjak, disusul antrean panjang di SPBU, harga cabai yang melambung, dan keluhan para ibu rumah tangga di pasar-pasar tradisional. Apa yang terjadi ribuan kilometer jauhnya itu bisa menciptakan efek domino yang nyata di keseharian kita. Menurut laporan Reuters, serangan rudal Iran ke Al-Udeid dilakukan sebagai balasan atas serangan bunker-buster AS yang menghantam fasilitas nuklir mereka. Operasi yang disebut Annunciation of Victory itu tampak dirancang sebagai sinyal, bukan deklarasi perang. Dengan hanya meluncurkan 6 hingga 19 rudal—sebagian besar berhasil dicegat dan tanpa menimbulkan kerusakan besar—Iran tampaknya ingin menunjukkan kemampuan tanpa melintasi ambang batas konfrontasi langsung.

Pendekatan ini mencerminkan strategi terukur yang konsisten diterapkan Iran dalam menghadapi ancaman dari musuh-musuhnya. Baik terhadap Israel maupun Amerika Serikat, Iran memulai respons dengan memberikan peringatan keras—serangan terbatas yang menunjukkan kemampuan, namun tidak langsung mengarah ke konfrontasi penuh. Ketika Israel pertama kali menyerang wilayah Iran, Teheran pun merespons dengan cara serupa: serangan balasan yang disertai sinyal bahwa eskalasi lebih lanjut akan dibalas dengan perang terbuka. Pola ini kembali terlihat dalam serangan ke Pangkalan Al-Udeid. Iran menunjukkan bahwa mereka siap berhadapan dengan kekuatan besar, namun tetap menahan diri agar tidak memicu perang besar, kecuali jika serangan terus berlanjut. Perhitungan seperti ini bukan tanda kelemahan, melainkan ekspresi dari strategi defensif aktif yang menjadi ciri khas kebijakan luar negeri Iran dalam dua dekade terakhir.

Namun, apakah Washington benar-benar menangkap sinyal tersebut?

Trump sendiri memberikan respons yang ambigu. Di satu sisi, ia memuji Iran karena telah memberi peringatan yang “menyelamatkan nyawa”, dan mengumumkan bahwa gencatan senjata akan diberlakukan dalam dua tahap masing-masing 12 jam. Ia bahkan menyatakan harapannya agar Iran membawa perdamaian dan harmoni di kawasan. Pejabat Gedung Putih yang dikutip CNN menegaskan bahwa Presiden AS ingin meredakan konflik, bukan memperluasnya. Channel 12 Israel bahkan melaporkan bahwa Trump telah menyampaikan kepada Netanyahu bahwa Amerika “tidak ingin perang, melainkan kesepakatan”. Jika ini benar, maka pernyataan Trump merupakan sinyal deeskalasi. Tetapi, apakah prosesnya akan semudah itu?

Kita tahu, dalam pengalaman politik—termasuk di Indonesia—kata-kata pemimpin tidak selalu berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan. Janji-janji bisa dengan mudah menguap, terlebih ketika narasi menjadi alat politik. Iran, melalui seorang pejabat senior kepada CNN, membantah pernah menerima proposal gencatan senjata. “Kami tidak melihat alasan untuk itu,” ujarnya, menegaskan bahwa operasi akan terus dilanjutkan hingga perdamaian yang adil tercapai. Bahkan di Teheran, menurut koresponden Al Mayadeen, tak ada indikasi resmi mengenai adanya kesepakatan damai. Lebih buruk lagi, serangan Israel ke wilayah Iran masih berlanjut bahkan setelah Trump mengumumkan “gencatan senjata megah”. Maka muncul pertanyaan lanjutan: apakah semua ini hanya propaganda belaka?

Riwayat Trump dalam menyampaikan pernyataan yang berlebihan memang bukan hal baru. Ia kerap memanfaatkan narasi untuk membentuk persepsi publik—baik dalam isu COVID-19, pemilu 2020, maupun kebijakan luar negeri. Maka, tidak mengherankan bila pengumuman gencatan senjata ini pun dicurigai sebagai manuver politik belaka: mungkin untuk tampil sebagai pemimpin damai, atau sekadar mengalihkan perhatian dari tekanan dalam negeri yang terus membesar. Tetapi, situasi nyata di lapangan tidak mudah untuk dikaburkan. Iran menyebut pernyataan tentang gencatan senjata dari AS atau Israel sebagai bentuk “penipuan” yang bertujuan menutupi agresi yang masih terus berjalan. Di sisi lain, Israel sebagai sekutu dekat AS juga tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan intensitas serangan.

Bagi masyarakat Indonesia, konflik semacam ini kerap dilihat dari sisi kemanusiaan. Solidaritas terhadap Palestina, misalnya, sering digaungkan di masjid-masjid, media sosial, hingga aksi jalanan. Namun, konstelasi Iran-AS-Israel jauh lebih kompleks. Meski Iran dikenal vokal dalam melawan Israel, mereka juga memiliki agenda dan kalkulasi geopolitik tersendiri. Serangan ke Al-Udeid, menurut media Tasnim, diarahkan ke pangkalan militer AS yang menampung sekitar 10.000 personel—sebuah simbol dominasi AS di kawasan. Tapi dengan jumlah rudal yang terbatas dan pemberitahuan dini kepada pihak ketiga, Iran seperti berkata: “Kami mampu menyerang, namun belum saatnya perang besar dimulai.”

Dari sini kita bisa belajar tentang strategi—tentang bagaimana Iran merespons ancaman dengan tetap menjaga perhitungan. Meskipun sebelumnya Trump pernah mengeluarkan ancaman keras, Iran memilih untuk tidak mundur. Mereka membalas, tapi secara terukur. Ini sangat berbeda dengan pola konfrontasi mereka terhadap Israel yang bersifat lebih frontal. Sementara itu, Reuters melaporkan bahwa Qatar, yang selama ini berperan sebagai mediator, sempat dikabarkan berhasil menjembatani gencatan senjata. Tapi tanpa ada konfirmasi dari Iran, klaim ini tetap menggantung. Bahkan Qatar, dalam pernyataan resminya, menyebut serangan Iran sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan, tanpa menyebut langkah konkret sebagai respon.

Jika pernyataan Trump benar adanya dan AS berniat menarik diri dari eskalasi lebih lanjut, maka tampaknya strategi Iran cukup berhasil: serangan terbatas bisa menghentikan AS untuk sementara, tanpa memancing perang terbuka. Tapi, dengan Israel yang terus menggencarkan serangan, kawasan tetap berada di ambang bahaya. The New York Times melaporkan bahwa juru bicara militer Israel bahkan enggan berkomentar soal gencatan senjata yang disebut Trump. Sementara itu, Iran tetap menegaskan bahwa jika ada serangan lanjutan dari AS, maka konflik akan berkembang menjadi perang yang lebih luas. Ini bukan sekadar ancaman kosong, melainkan sikap yang ditegaskan secara resmi.

Dan Indonesia, meskipun tampak jauh dari episentrum konflik, tidak berada di luar jangkauan dampaknya. Sejarah telah mencatat bagaimana Krisis Teluk pada 1991 dan invasi Irak 2003 turut memengaruhi ekonomi nasional. Saat ini, dunia belum benar-benar pulih dari hantaman pandemi. Dalam situasi seperti ini, ketegangan geopolitik baru bisa menjadi pukulan telak berikutnya. Bayangkan para nelayan di pesisir utara Jawa yang kesulitan mendapatkan solar, atau para pedagang kecil yang setiap harinya harus menyesuaikan harga bahan pokok karena fluktuasi global. Konflik ini bukan sekadar soal rudal dan pangkalan militer—tapi juga soal perut rakyat kecil dan stabilitas sosial kita sendiri.

Maka, pertanyaannya: apakah perdamaian yang diumumkan oleh Trump benar-benar nyata, atau hanya lembaran baru dari drama geopolitik global? Iran tampaknya bermain cerdas—tegas tapi tidak sembrono. Sementara AS, di bawah Trump, mungkin sedang mencoba keluar dari jebakan perang tanpa kehilangan muka. Namun, selama Israel masih terus menekan dan tidak ada konsensus internasional yang kuat, maka kawasan itu akan tetap menjadi ajang pertarungan pengaruh dan kekuatan. Dan kita, di Indonesia, hanya bisa terus bertanya: sampai kapan Timur Tengah akan jadi ladang taruhan politik global? Dan apakah kita hanya bisa berdoa—atau seharusnya mulai lebih siap menghadapi dampaknya?

Sumber:

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *