Opini
Netanyahu Tersudut, Apakah Palestina Akan Menang?

Pada hari Rabu yang penuh ketegangan, parlemen Israel menghadapi ujian paling genting sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Oposisi mengajukan rancangan undang-undang untuk membubarkan Knesset, parlemen negara itu. Di saat yang sama, dua partai ultra-Ortodoks yang menjadi mitra utama dalam koalisi pemerintahan Netanyahu mengancam akan mendukung langkah itu. Bukan hanya tekanan politik biasa, tetapi gejolak yang lahir dari luka yang belum sembuh—sebuah negara yang masih berperang, tetapi juga sedang pecah dari dalam.
Konflik ini bukan soal kekuasaan semata. Ia meletup dari kegagalan pemerintah menyelesaikan persoalan yang telah lama membelah masyarakat Israel: wajib militer untuk komunitas Haredi, kelompok Yahudi ultra-Ortodoks. Selama puluhan tahun, mereka dikecualikan dari wajib militer dengan dalih studi agama di yeshiva, lembaga pendidikan agama Yahudi. Namun perang yang tak kunjung usai di Gaza telah membuat pertanyaan itu membesar menjadi bara: mengapa sebagian rakyat mati di medan perang, sementara sebagian lain dilindungi oleh tafsir keimanan?
Sejak perang pecah, 866 tentara Israel dilaporkan tewas. Di saat banyak keluarga kehilangan anak-anak mereka yang berjuang di Gaza, kemarahan publik atas pengecualian bagi Haredi meledak tak tertahankan. Kegelisahan itu kini menjelma ancaman serius bagi kelangsungan pemerintahan Netanyahu, yang selama ini menggantungkan kekuasaannya pada koalisi dengan dua partai ultra-Ortodoks. Tekanan publik datang bukan hanya dari kelompok sekuler, tetapi juga dari para tentara cadangan dan warga yang merasa dikhianati oleh sistem yang timpang.
Baca Juga: Netanyahu Main Dadu: Pemilu Dini di Tengah Krisis Haredi
Para pemimpin Haredi merespons tekanan itu dengan mengeluarkan dekrit agama—fatwa yang menegaskan kembali larangan keras bagi komunitas mereka untuk mengikuti wajib militer. Dalam pandangan mereka, bergabung ke dalam militer berarti membuka diri pada pengaruh luar yang dianggap merusak kemurnian iman dan tradisi. Tapi apa arti kemurnian jika di atasnya tertumpuk darah dan kematian yang tak merata? Sebuah negara yang memaksa semua warganya bertarung, tetapi membiarkan sebagian memilih untuk tidak, tak ubahnya seperti keluarga yang kehilangan makna keadilan.
Di Israel, isu ini bukan hal baru. Tapi kali ini terasa berbeda. Perang yang berkepanjangan di Gaza telah menghabiskan tenaga militer dan menguras legitimasi politik. Bagi Netanyahu, ini bukan lagi sekadar soal kebijakan, melainkan soal bertahan hidup secara politik. Jika partai-partai Haredi benar-benar menarik dukungan dan ikut menyetujui pembubaran parlemen, maka jalan menuju pemilu dini terbuka lebar. RUU pembubaran masih harus melalui tiga tahapan pembacaan sebelum sah, tapi ini sudah cukup mengguncang sendi-sendi pemerintahan yang goyah.
Situasi ini menyuguhkan ironi yang telanjang. Di tengah perang yang diklaim untuk mempertahankan “keamanan nasional,” elit politik Israel justru sibuk menyelamatkan diri dari krisis internal. Pemimpin yang selama ini membangun karier di atas retorika keamanan kini dihadapkan pada kenyataan bahwa ancaman terbesarnya justru datang dari rumahnya sendiri. Tidak dari musuh eksternal, tapi dari kegagalan memenuhi kontrak sosial yang adil bagi seluruh warga negaranya.
Apa yang sedang terjadi di Israel patut menjadi renungan bersama, termasuk bagi bangsa Indonesia. Sebuah negara yang mengabaikan keadilan sosial pada akhirnya akan dirongrong oleh ketegangan internal. Dalam konteks kita, isu keadilan dalam pembagian beban pembangunan, distribusi ekonomi, dan perlindungan sosial sering menjadi pangkal dari ketidakpercayaan publik terhadap negara. Jika keadilan hanya menjadi slogan, dan bukan kenyataan yang dirasakan merata, maka legitimasi akan cepat lapuk, seperti kayu dimakan rayap.
Momen ini juga memperlihatkan bahwa kekuatan militer tak selalu menjamin stabilitas politik. Meski Israel memiliki salah satu tentara terkuat dan sistem keamanan tercanggih di dunia, mereka tetap rentan terhadap erosi kepercayaan dari rakyatnya sendiri. Dan ketika rasa keadilan runtuh, tidak ada sistem sekuat apa pun yang mampu menahannya. Dalam kerangka ini, perlawanan Palestina tak lagi semata di medan tempur, tapi juga dalam bentuk pergeseran opini publik internasional dan krisis moral di jantung kekuasaan lawannya.
Baca Juga: Pidato Perang Netanyahu: Nyawa Sandera Jadi Tumbal
Argentina menjadi catatan kecil namun signifikan di tengah kisruh ini. Presiden Javier Milei dijadwalkan berpidato di parlemen Israel pada hari yang sama ketika RUU pembubaran diajukan. Dunia memperhatikan. Tapi dunia juga tahu bahwa dalam sistem demokrasi parlementer, kekuasaan yang goyah bisa tumbang bukan karena peluru, tetapi karena kehilangan kepercayaan. Dan kepercayaan itu, seperti udara, tak terlihat tetapi vital. Sekali menghilang, semua yang berdiri di atasnya bisa runtuh tanpa peringatan.
Namun di tengah semua ini, kita tetap harus berhati-hati dalam menafsirkan perubahan. Meski Netanyahu tersudut dan koalisinya retak, tidak serta-merta berarti kemenangan bagi Palestina. Pemilu baru belum tentu menghasilkan pemerintahan yang lebih adil atau lebih terbuka. Bahkan bisa jadi, sentimen ultra-nasionalisme akan menguat, terutama jika perang masih berlanjut dan masyarakat merasa butuh kepemimpinan yang “keras.” Sejarah Israel penuh dengan siklus kekerasan yang justru melahirkan politik yang lebih konservatif.
Tetapi ini tetaplah celah. Sebuah retakan dalam struktur kekuasaan yang selama ini tampak kokoh. Retakan yang bisa menjadi awal dari perubahan besar—jika ada kekuatan yang mampu memanfaatkannya. Bagi rakyat Palestina, dan bagi para pendukungnya di seluruh dunia, ini adalah saat untuk memperkuat dukungan diplomatik, membangun solidaritas yang melampaui slogan, dan menyiapkan narasi alternatif yang lebih manusiawi, adil, dan membumi.
Pada akhirnya, pertanyaannya mungkin bukan lagi apakah Netanyahu akan jatuh, tetapi apakah sistem yang melahirkannya akan ikut berubah. Dan jika ya, perubahan seperti apa yang akan datang setelahnya? Dunia tengah menunggu jawabannya, dengan napas tertahan.
Pingback: Empat Alasan di Balik Serangan Israel ke Iran - vichara.id