Connect with us

Opini

Pulau Gag: Tambang Nikel Ancam Warisan Raja Ampat

Published

on

Pada Juni 2025, pemerintah Indonesia mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan di Raja Ampat—PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Rayond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Alasannya jelas: pelanggaran lingkungan dan fakta bahwa konsesi mereka berada di kawasan geopark yang sejak Mei 2023 telah diakui dan dilindungi oleh UNESCO. Namun, satu perusahaan dikecualikan dari keputusan ini: PT Gag Nikel, anak usaha BUMN Antam. Meski beroperasi di Pulau Gag yang termasuk wilayah Raja Ampat, perusahaan ini tetap diizinkan beroperasi. Pemerintah beralasan bahwa PT Gag Nikel telah memenuhi analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan telah melakukan reklamasi. Tapi, keputusan ini justru memunculkan pertanyaan besar: mengapa Pulau Gag dikecualikan dari perlindungan hukum, padahal ancaman ekologisnya tak kalah serius?

Pulau Gag, seluas 6.500 hektare, tergolong pulau kecil menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-undang ini dengan tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau kecil, dan ketentuan ini semakin diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut menegaskan bahwa pertambangan di pulau kecil mengancam keberlanjutan lingkungan dan membahayakan generasi mendatang. Namun faktanya, PT Gag Nikel mengantongi konsesi seluas 13.136 hektare—lebih dari dua kali luas pulau itu sendiri. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berdalih bahwa Kontrak Karya perusahaan yang diteken sejak 1998 memberi legitimasi hukum. Namun, apakah hukum lama bisa membatalkan amanat hukum yang lebih baru dan progresif?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Ari Rompas dari Greenpeace, dalam wawancaranya dengan Kompas TV, menyoroti persoalan lebih dalam. Ia menegaskan bahwa Pulau Gag tak bisa dipisahkan dari ekosistem Raja Ampat secara geologis maupun ekologis. “Ini satu kesatuan geologis yang terbentuk jutaan tahun lalu dan menjadi tempat berkembangnya biodiversitas unik dunia. Mengapa hanya empat IUP yang dicabut, sementara PT Gag Nikel tetap diberi ruang?” ujarnya. Pertanyaan ini tak bisa dijawab dengan data teknis semata.

Baca Juga: Raja Ampat di Ujung Tanduk Tambang Nikel

Warga Pulau Gag selama ini hidup dari laut dan hutan. Nelayan menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan, sementara petani mengandalkan air bersih dari hutan. Namun, sejak tambang beroperasi, dinamika kehidupan berubah drastis. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat setidaknya 262 hektare hutan lenyap antara 2017 dan 2024. Sementara itu, menurut laporan Greenpeace, angka deforestasi akibat aktivitas PT Gag Nikel mencapai 300 hektare—angka tertinggi dibandingkan empat perusahaan yang izinnya dicabut. Lumpur hasil galian mengalir ke laut saat musim hujan, mengancam keberlangsungan terumbu karang yang menopang 75% spesies karang dunia. Rompas menyatakan, “Limpasan tambang menyebabkan sedimentasi yang membunuh biota laut.” Namun pemerintah justru menyebut kondisi laut “masih biru”. Bukankah ini bentuk penyangkalan terhadap kenyataan?

Geopark Tak Cukup Lindungi Alam

Status geopark global UNESCO seharusnya menjadi tameng perlindungan terhadap kawasan Raja Ampat, termasuk Pulau Gag. Namun, status ini nyatanya belum menjadi jaminan. Dalam sistem geopark, memang tidak otomatis berlaku perlindungan ketat layaknya taman nasional. Tapi UNESCO mengharuskan negara anggota menetapkan kebijakan nasional yang sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan konservasi dalam wilayah geopark. Artinya, tanggung jawab perlindungan tetap berada di tangan negara. Sayangnya, hingga kini belum ada aturan nasional yang secara eksplisit melindungi kawasan geopark dari kegiatan ekstraktif seperti pertambangan.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Papua Barat Daya, Deni Risanto, menyebut bahwa keberadaan PT Gag Nikel mencederai semangat geopark. “Geopark itu warisan bumi untuk masa depan, tapi tambang justru menghancurkan warisan itu,” ujar Deni. Ia menambahkan, “Apakah kita ingin dikenang sebagai bangsa yang menjual harta warisan demi pendapatan jangka pendek?”

Perlawanan warga terhadap tambang bukanlah hal baru. Pada 2019, warga Pulau Gag menyampaikan penolakan terhadap rencana pembangunan pabrik pengolahan nikel (smelter) yang dikhawatirkan akan memperparah pencemaran. Mereka menuntut hak atas ruang hidup dan lingkungan yang sehat. Namun suara mereka tenggelam oleh narasi pembangunan nasional. Pemerintah daerah bahkan sempat memuji tambang sebagai motor ekonomi dan pembuka lapangan kerja. Tetapi di lapangan, keuntungan itu hanya dirasakan segelintir orang.

Antara Ilusi Manfaat dan Ancaman Nyata

Manfaat ekonomi yang dijadikan dalih pembenaran tambang di Pulau Gag sebenarnya sarat ilusi. Klaim pemerintah bahwa sekitar 300 kepala keluarga diuntungkan dari keberadaan PT Gag Nikel terdengar menggiurkan, tetapi tanpa data yang terverifikasi dan transparan, klaim ini mudah dipertanyakan. Bandingkan dengan sektor pariwisata Raja Ampat yang pada 2023 menyedot lebih dari 100.000 wisatawan dan menyumbang pendapatan miliaran rupiah bagi daerah. Pariwisata memberi manfaat ekonomi yang jauh lebih luas dan inklusif, tanpa merusak bentang alam dan ekosistem.

Selain itu, nilai nikel yang dijadikan alasan hilirisasi pun semakin diragukan efektivitasnya. Harga nikel global telah anjlok hingga 13,2% karena kelebihan pasokan. Produk hilirisasi seperti nikel pig iron justru lebih menguntungkan negara lain seperti Tiongkok yang memiliki industri lanjutan. Di sisi lain, Indonesia masih berkutat pada pengolahan mentah yang tidak membawa nilai tambah signifikan. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, dengan tegas menyebut bahwa yang dibutuhkan Indonesia adalah industrialisasi, bukan sekadar eksploitasi bahan mentah. “Kalau kita hanya ekspor setengah jadi, itu bukan hilirisasi, itu kelanjutan kolonialisme dalam bentuk baru,” ujarnya.

Celah Hukum dan Politik yang Membingungkan

Payung hukum yang membolehkan tambang di Pulau Gag membuka ironi lain. Di satu sisi, Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 serta Putusan MK jelas melarang pertambangan di pulau kecil. Namun, celah hukum muncul dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) pada masa pemerintahan Presiden Megawati yang mengecualikan 13 izin tambang, termasuk PT Gag Nikel. Ini menciptakan dualisme hukum yang membingungkan masyarakat. Yang satu progresif dan melindungi lingkungan, yang lain membuka celah legitimasi.

Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, menilai bahwa operasi PT Gag Nikel bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 tentang pembangunan berkelanjutan. “Negara seharusnya menjamin keberlanjutan, bukan menjadi fasilitator eksploitasi yang membahayakan,” katanya. Ia menegaskan bahwa pembangunan yang menafikan ekologi hanya akan menghasilkan bencana sosial di masa depan.

Baca Juga: Indonesia Menolak Dimiskinkan?

Harapan pada Gerakan Sipil dan Keberanian Politik

Gelombang penolakan dari masyarakat sipil makin besar. Pada 7 Juni 2025, para pemuda adat menduduki Bandara Sorong dalam aksi damai menuntut pencabutan seluruh izin tambang di Raja Ampat. Greenpeace juga menginisiasi petisi yang berhasil mengumpulkan lebih dari 60.000 tanda tangan. Ini menandakan bahwa suara publik sudah bulat: lindungi Raja Ampat secara menyeluruh. Tidak bisa ada pengecualian.

Komisi VII DPR RI berencana meninjau langsung lokasi tambang, meski diakui bahwa selama ini pengawasan legislatif sering kali berhenti di ruang-ruang rapat. “Kami butuh penegakan hukum lingkungan yang kuat, bukan sekadar rapat dengar pendapat,” kata Sugeng. Ia mendorong dibentuknya lembaga khusus lintas kementerian untuk menangani pengelolaan sumber daya alam secara holistik, bukan pendekatan sektoral yang selama ini sering tumpang tindih.

Namun semua itu butuh keberanian politik. Tanpa ketegasan dari pemimpin tertinggi negara, perlindungan Raja Ampat hanya akan menjadi jargon kosong. Presiden Prabowo, yang baru memulai masa jabatannya, memiliki peluang untuk meninggalkan warisan kebijakan yang progresif dalam perlindungan lingkungan. Langkah awal berupa pencabutan empat IUP patut diapresiasi, namun inkonsistensi dalam mempertahankan PT Gag Nikel justru menodai semangat reformasi lingkungan.

Menyelamatkan Warisan, Bukan Mengekspor Masalah

Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah rumah bagi keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, tempat hidup masyarakat adat, sekaligus paru-paru ekosistem global. Pulau Gag adalah bagian dari mozaik ini. Membiarkan satu perusahaan tambang beroperasi di sana bukan sekadar kesalahan kebijakan, tapi pelanggaran terhadap tanggung jawab ekologis dan moral generasi sekarang terhadap masa depan.

Audit lingkungan independen yang melibatkan masyarakat adat dan akademisi adalah langkah awal yang tak bisa ditunda. Pemerintah perlu segera meninjau kembali izin operasi PT Gag Nikel dan menghentikan aktivitas penambangan sampai kajian tuntas dilakukan. Lebih jauh, dibutuhkan undang-undang yang memayungi pengelolaan sumber daya alam secara adil, lestari, dan lintas sektor.

Kita tidak bisa terus menutup mata sambil berharap laut tetap biru dan karang tetap hidup. Sementara buldozer menggali tanah, pohon tumbang, dan lumpur mengalir ke laut, waktu terus berjalan menuju kehilangan yang tak bisa diperbaiki. Ini bukan sekadar pertarungan antara ekonomi dan ekologi. Ini pertarungan tentang arah peradaban: apakah kita akan menjadi bangsa yang menjual masa depan demi keuntungan sesaat, atau bangsa yang berani menjaga warisan abadi bagi anak cucu?

 

Sumber:

Laporan JATAM: https://jatam.org/id/lengkap/Tambang-Pulau-Gag-Negara-Oligarki-Ekstraktif

Metro TV – https://www.youtube.com/watch?v=vlYLkFwjZvk_.

Kompas TV: https://www.youtube.com/watch?v=ge2DUbEwa-A

Data Kementerian Pariwisata tentang kunjungan wisatawan ke Raja Ampat (2023): https://www.kemenparekraf.go.id/statistik-pariwisata

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer