Connect with us

Opini

Dolar Ditelanjangi: Asia Cari Jalan Tanpa Raja Keuangan

Published

on

Di dunia yang berkilau namun penuh intrik, bank dan pialang keuangan mulai mencium aroma keraguan pada dolar AS. Bloomberg melaporkan pada 9 Mei 2025, mereka kini berebut mata uang lain—yuan, dolar Hong Kong, dirham Emirat, euro—apa saja, asal bukan dolar. Realitas ini absurd, seperti raja keuangan dunia tiba-tiba ditelanjangi di depan kerumunan. Institusi Eropa kini sibuk dengan derivatif yuan, menghindari dolar bagai mantan yang bikin pusing. Di Singapura, trader melaporkan carmaker Eropa menuntut lindungi nilai euro-yuan, sementara di Jakarta, bank asing membentuk tim khusus untuk transaksi rupiah-yuan. Ini bukan sekadar tren; ini pemberontakan halus, penuh perhitungan, yang membuat kita bertanya: apakah dolar sedang goyah, atau cuma drama pasar yang akan lenyap secepat kilat?

Laporan itu seperti cermin retak yang memantulkan kegelisahan global. Dolar, yang selama ini jadi penutup luka dunia keuangan, kini dicap overvaluedeufemisme untuk “terlalu mahal, tapi nggak worth it!” Stephen Jen dari Eurizon SLJ Capital memperingatkan, lonjakan dolar Taiwan—naik 5,2 persen pada 6 Mei 2025, rekor sejak 1988—bisa jadi sinyal badai. Cadangan dolar “at-risk” di Asia, senilai $2.5 triliun menurut laporan Market Watch, mencakup kepemilikan China ($1.1 triliun), Taiwan, Malaysia, dan Vietnam. Jika eksportir Asia mulai menjual, dolar bisa ambruk seperti sinetron: lambat, penuh air mata, tak terhindarkan. Ironis, bukan? Simbol kekuatan Amerika kini jadi bom waktu.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Tapi, jujurlah. Dolar bukan cuma kertas hijau; ia bahasa universal pasar, kitab suci perdagangan, tongkat sulap Wall Street. Data IMF 2024 menunjukkan 58,4 persen cadangan devisa dunia masih dalam dolar, dan SWIFT mencatat 87,6 persen transaksi lintas batas menggunakannya. Mengganti dolar seperti mengganti oksigen—semua tahu itu sulit, tapi tetap ada yang nekat. ASEAN+3, misalnya, pada 5 Mei 2025 meluncurkan Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) Rapid Financing Facility, mekanisme bantuan $240 miliar yang memakai yuan, yen, dan mata uang lokal, bukan dolar. Ini bukan teknis; ini pernyataan politik. Asia, yang selama ini jadi penutup meja makan Amerika, kini ingin masak sendiri.

China, tentu, jadi dalang di balik drama ini. Ekspor mereka melonjak 8,5 persen year-on-year pada April 2025, menurut data bea cukai China, meski tarif AS di bawah Trump mencapai 25 persen untuk barang seperti elektronik. Ini seperti China berkata, “Tarif? Cuma gatal kecil!” sambil tersenyum licik. Lonjakan ekspor ini memperkuat yuan; transaksi lintas batas dalam yuan naik 22 persen pada 2024, capai $7,9 triliun menurut People’s Bank of China. Di Indonesia, bank asing di Jakarta melaporkan permintaan rupiah-yuan naik 15 persen sejak 2024, didorong eksportir tekstil dan agribisnis. Tapi, yuan bukan malaikat. Kontrol modal China dan ketidakpastian geopolitik membuatnya seperti pacar baru: menjanjikan, tapi penuh rahasia.

Konteks lokal kita bikin cerita ini makin hidup. Bayangkan pedagang di Tanah Abang ngobrol soal yuan: “Lebih murah, Bos, nggak usah konversi dolar!” sambil nyeruput kopi. Tapi, dolar masih lengket. Data Bank Indonesia 2024 menunjukkan 85 persen utang luar negeri swasta dalam dolar, dan kontrak impor minyak masih memakainya. Ini seperti ingin pindah ke aplikasi chat baru, tapi semua temen masih di WhatsApp. Jakarta mungkin punya tim rupiah-yuan, tapi di lapangan, dolar tetap raja. Ironi ini bikin kita tersenyum miris: ingin bebas, tapi rantainya terlalu nyaman.

Kembali ke laporan, ada nada satir dalam peringatan Jen: “Investor bisa dibutakan oleh penurunan dolar yang tak terduga.” Dibutakan? Oh, come on. Pasar keuangan bukan anak TK yang lupa bawa senter. Mereka tahu dolar bermasalah—indeks DXY turun 3,8 persen sepanjang April 2025—tapi tak ada pengganti yang siap. Yuan? Hanya 2,8 persen cadangan devisa global (IMF 2024). Euro? Uni Eropa sibuk dengan defisit fiskal 3,2 persen PDB. Dirham? Lucu, tapi cuma pemain pinggiran. De-dolarisasi seperti diet ketat: semua setuju itu sehat, tapi malam-malam tetap nyemil.

Tapi, jangan remehkan momentum. Carmaker Eropa, seperti Volkswagen, melaporkan 30 persen kenaikan kontrak euro-yuan pada Q1 2025, menurut trader Singapura. Ini soal kepercayaan, bukan cuma uang. Jika Eropa, sekutu setia AS, mulai main mata dengan yuan, itu sinyal besar. Cadangan dolar $2.5 triliun di Asia, dengan China pegang $1.1 triliun, bisa picu “penurunan substansial” jika dijual, kata Jen. Ini seperti bom yang disulut, tapi belum meledak. Dan China, dengan ekspor $3,4 triliun pada 2024, tersenyum, tahu setiap kontainer mereka melemahkan kastil dolar.

Apa artinya buat Indonesia? Kita penonton, tapi juga kena getahnya. Jika dolar melemah—proyeksi UBS 2025 prediksi DXY turun ke 95 dari 102—harga impor bisa naik 5-7 persen, utang swasta membengkak, tapi ekspor kopi dan tekstil kita, yang $27 miliar pada 2024, bisa lebih kompetitif via yuan. Tapi, jangan bermimpi terlalu jauh. Sistem keuangan global tak berubah dalam semalam. Dolar, meski pincang, masih punya otot. De-dolarisasi seperti tarian lambat: setiap langkah penuh perhitungan.

Refleksi terakhir: dunia ini lucu. Kita habiskan dekade bangun kastil dolar, tapi sekarang, dengan santai, kita robek dindingnya. Bukan karena benci, tapi karena retakannya kelihatan. Bloomberg cuma peta kecil dari perjalanan panjang. De-dolarisasi bukan soal menang-kalah; ini soal pilihan. Dan pilihan, seperti biasa, datang dengan harga. Kita cuma bisa menonton, berpikir, dan sesekali tertawa miris pada absurditasnya. Tapi, hei, setidaknya kita punya kopi buat nemenin drama ini, kan?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer