Connect with us

Opini

Trump Tunda Nuklir Iran: Kekacauan atau Taktik Gagal?

Published

on

Di sebuah dunia yang penuh ketegangan, di mana diplomasi sering kali menjadi tarian rapuh antara kekuatan dan kompromi, kabar tentang penundaan putaran keempat negosiasi nuklir AS-Iran mengguncang panggung global. Laporan dari Reuters mengungkapkan bahwa pembicaraan yang dijadwalkan di Roma ditunda karena “alasan logistik,” sebuah alasan yang terdengar hampa di tengah gemuruh ancaman sanksi sekunder dari Presiden Donald Trump terhadap pembeli minyak Iran. Hanya sehari sebelumnya, melalui Truth Social, Trump menyatakan bahwa siapa pun yang berbisnis dengan minyak Iran akan dilarang berurusan dengan AS, sebuah pukulan yang tampaknya ditujukan tidak hanya ke Tehran tetapi juga ke Tiongkok, pembeli terbesar minyak Iran. Sementara itu, pemecatan Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz dan spekulasi tentang penggantiannya oleh Steve Witkoff, seorang pengembang real estate tanpa pengalaman diplomatik, menambah lapisan kekacauan. Bagaimana mungkin AS, yang telah sukses dalam tiga putaran negosiasi sebelumnya, tiba-tiba tersandung? Apakah ini kekacauan internal atau taktik diplomatik yang salah arah?

Tiga putaran negosiasi sebelumnya, yang dimediasi oleh Oman, telah menunjukkan harapan. AS dan Iran, meskipun terpisah oleh dekade permusuhan, berhasil membangun dialog untuk merumuskan pengganti JCPOA, kesepakatan nuklir yang ditinggalkan Trump pada 2018. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa diplomasi, meskipun rapuh, masih mungkin. Namun, penundaan ini, yang diselimuti alasan “logistik,” terasa seperti pengkhianatan terhadap momentum tersebut. Pernyataan dari sumber AS kepada Reuters bahwa Washington “belum mengkonfirmasi partisipasinya” mengisyaratkan bahwa masalahnya bukan sekadar jadwal atau lokasi, melainkan ketidaksiapan internal. Pemecatan Waltz, yang terjadi bersamaan dengan pengumuman penundaan, adalah petunjuk utama. Waltz, meskipun tidak langsung memimpin negosiasi, adalah tulang punggung koordinasi keamanan nasional. Kepergiannya, diikuti oleh spekulasi tentang Witkoff, seorang loyalis Trump tanpa latar belakang diplomatik, menunjukkan bahwa administrasi sedang bergulat dengan kekacauan internal yang mengorbankan kemajuan diplomatik.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Ancaman sanksi sekunder, yang diumumkan Trump melalui Truth Social, memperumit narasi ini. Dengan nada yang tegas, ia memperingatkan bahwa negara atau individu yang membeli minyak atau produk petrokimia Iran akan menghadapi sanksi langsung, sebuah langkah yang jelas menargetkan Tiongkok, yang mengimpor sekitar 90% ekspor minyak Iran pada 2023. Sanksi ini adalah bagian dari kampanye “tekanan maksimum” yang dihidupkan kembali pada Februari 2025, bertujuan untuk memutus pendapatan minyak Iran dan mencegah pengembangan senjata nuklir, meskipun Iran menegaskan programnya untuk tujuan damai. Namun, efektivitas sanksi ini patut dipertanyakan. Iran telah bertahan dari sanksi AS sejak Revolusi 1979, mengembangkan armada bayangan untuk menyelundupkan minyak dan aliansi dengan Tiongkok serta Rusia untuk mengatasi tekanan ekonomi. Laporan Reuters mencatat bahwa ekspor minyak Iran pulih ke 1,5 juta barel per hari pada 2023, menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Jika sanksi tidak lagi menggoyahkan Tehran, mengapa Trump terus mengandalkannya, terutama ketika negosiasi sedang berjalan?

Kritik Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi terhadap “tindakan provokatif” AS, yang kemungkinan merujuk pada sanksi sekunder, menggarisbawahi dampak kontraproduktif dari langkah ini. Meskipun Iran menerima penundaan tanpa protes keras, pernyataan Araghchi menunjukkan frustrasi yang dapat merusak kepercayaan pada proses negosiasi. Ironisnya, Trump sendiri telah menyuarakan preferensi untuk diplomasi, bahkan dilaporkan mencegah serangan Israel terhadap Iran. Namun, dengan memperketat sanksi sambil menunda pembicaraan, ia mengirimkan sinyal yang membingungkan: apakah AS ingin kesepakatan atau hanya memainkan waktu? Sanksi sekunder mungkin memenuhi kebutuhan politik domestik, menyenangkan basis MAGA yang menganggap Iran sebagai musuh abadi, tetapi mereka gagal melemahkan ekonomi Iran secara signifikan. Tiongkok, misalnya, sering menggunakan bank-bank kecil yang tidak terpapar sistem keuangan AS, membuat ancaman sanksi lebih simbolis daripada substansial. Dengan demikian, sanksi ini lebih merupakan teater politik daripada alat strategis.

Gejolak internal AS adalah akar dari penundaan, tetapi sanksi sekunder memperparah kekacauan ini. Pengumuman sanksi, yang bertepatan dengan penundaan, memaksa tim negosiasi AS untuk menyesuaikan pendekatan di tengah transisi kepemimpinan. Witkoff, yang ditunjuk untuk memimpin pembicaraan, menghadapi tugas berat: menyeimbangkan tekanan maksimum dengan tujuan diplomatik tanpa pengalaman yang memadai. Laporan dari Reuters menunjukkan bahwa ketidakpastian partisipasi AS berasal dari kebutuhan untuk mengkonsolidasikan strategi setelah pemecatan Waltz, sebuah proses yang diperumit oleh eskalasi sanksi. Tiga putaran sebelumnya sukses karena koordinasi yang solid, tetapi kekacauan ini menunjukkan bahwa Trump lebih mementingkan loyalitas daripada keahlian. Dengan memilih Witkoff, ia mempertaruhkan kredibilitas AS di mata Iran, yang telah menunjukkan fleksibilitas dalam negosiasi meskipun menghadapi sanksi berkelanjutan.

Penundaan ini bukan hanya kegagalan logistik, tetapi peluang yang terbuang yang dapat memiliki konsekuensi jauh. Iran, meskipun tetap optimis, mungkin mulai mempertanyakan keseriusan AS, terutama setelah Araghchi mengkritik sanksi sebagai provokatif. Ketahanan Iran terhadap sanksi—dibuktikan oleh pemulihan ekspor minyak dan aliansi dengan Tiongkok—memberikan Tehran kepercayaan diri untuk mempertahankan posisinya. Jika negosiasi terhenti, Iran dapat mempercepat pengayaan uranium, sebuah langkah yang akan memicu respons dari Israel, yang sudah skeptis terhadap diplomasi. Laporan menunjukkan bahwa Trump mencegah serangan Israel, tetapi kebijakannya yang kontradiktif—menggabungkan negosiasi dengan sanksi—berisiko menciptakan kondisi untuk eskalasi regional. Sekutu Teluk seperti Arab Saudi, yang memandang Iran sebagai ancaman, juga mungkin kehilangan kepercayaan pada strategi AS jika diplomasi gagal.

Dimensi global dari sanksi sekunder menambah lapisan risiko. Dengan menargetkan bank-bank Tiongkok, Trump tidak hanya menekan Iran tetapi juga memperburuk ketegangan perdagangan dengan Beijing, yang sudah tegang akibat tarif 145%. Tiongkok dapat membalas dengan membatasi ekspor bahan langka, merugikan ekonomi AS. Ancaman ini, sebagaimana dicatat oleh analis Reuters, memerlukan penegakan agresif untuk efektif, tetapi Tiongkok telah terbukti pandai menghindari sanksi melalui bank-bank kecil. Dengan demikian, sanksi sekunder adalah pertaruhan berisiko yang dapat mengalihkan fokus dari negosiasi nuklir ke konflik ekonomi yang lebih luas. Trump mungkin melihat ini sebagai leverage, tetapi pendekatan ini mengabaikan realitas bahwa Tiongkok dan Iran memiliki insentif untuk memperdalam aliansi mereka sebagai penyeimbang terhadap AS.

Kebijakan AS yang kontradiktif ini menuntut refleksi kritis. Jika Trump serius tentang diplomas INTERNasional, ia harus mengesampingkan politik domestik dan fokus pada strategi yang koheren. Pertama, ia perlu menstabilkan tim negosiasi dengan menunjuk diplomat berpengalaman, bukan loyalis seperti Witkoff, yang kurang siap menghadapi kompleksitas isu nuklir. Kedua, sanksi sekunder harus digunakan secara selektif, dengan keringanan yang jelas sebagai imbalan atas konsesi Iran, bukan sebagai alat provokatif yang merusak kepercayaan. Ketiga, Trump harus menetapkan tujuan realistis, meninggalkan fantasi “Trump Deal” yang menuntut kapitulasi penuh Iran. Kesepakatan yang membatasi pengayaan uranium dan rudal balistik sambil memberikan keringanan ekonomi lebih mungkin dicapai dan akan menguntungkan semua pihak.

Penundaan negosiasi ini adalah cerminan dari kekacauan internal dan visi diplomatik yang salah arah. Dengan memprioritaskan loyalitas atas keahlian dan sanksi atas dialog, Trump mempertaruhkan momentum yang telah dibangun melalui tiga putaran sukses. Iran, dengan ketahanannya yang terbukti, tidak akan menyerah pada tekanan maksimum, dan Tiongkok tidak akan mudah ditundukkan oleh ancaman sanksi. Kredibilitas AS sebagai mitra negosiasi kini dipertaruhkan, dan risiko eskalasi regional mengintai. Dunia menunggu: akankah Trump memimpin dengan strategi yang jelas, atau hanya mempermainkan waktu hingga krisis tak terhindarkan muncul?

 

Daftar Pustaka

  1. Al Mayadeen English. (n.d.). Trump fires Waltz, his deputy, in latest purge amid Signal fallout. Retrieved from https://english.almayadeen.net/news/politics/trump-fires-waltz–his-deputy–in-latest-purge-amid-signal-f
  2. Al Mayadeen English. (n.d.). Trump threatens secondary sanctions on Iranian oil, petchems. Retrieved from https://english.almayadeen.net/news/politics/trump-threatens-secondary-sanctions-on-iranian-oil–petchems
  3. The Cradle. (n.d.). Fourth round of US-Iran nuclear talks postponed for logistical reasons. Retrieved from https://thecradle.co/articles/fourth-round-of-us-iran-nuclear-talks-postponed-for-logistical-reasons
  4. The Cradle. (n.d.). Trump to boot National Security Advisor Waltz, eyes Witkoff as replacement: Report. Retrieved from https://thecradle.co/articles/trump-to-boot-national-security-advisor-waltz-eyes-witkoff-as-replacement-report
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer