Connect with us

Opini

Ironi AS: Sekutu Israel, Rakyat Tolak Keras Ben-Gvir

Published

on

Di tengah gemuruh Capitol, suara “Free Palestine” menggema, menyeruak di antara dinding marmer yang biasa bergaung dengan pidato politik. Itamar Ben-Gvir, Menteri Keamanan Nasional Israel yang kontroversial, berjalan di koridor kekuasaan Amerika Serikat, namun langkahnya dikejar oleh protes yang tak kenal kompromi. Video di media sosial menangkap momen itu: wajahnya tegang, diteriaki demonstran yang menolak kehadirannya. Bayangkan, di jantung sekutu utama Israel, seorang menteri ultranasionalis menghadapi penolakan keras dari rakyat Amerika. Ironi ini begitu mencolok—pemerintah AS memeluk Israel erat, namun masyarakatnya berbalik menentang. Sebagai penulis, saya melihat kontradiksi ini bukan sekadar insiden, tetapi cerminan pergeseran global yang mendalam, di mana aliansi geopolitik bertabrakan dengan suara kemanusiaan.

Kunjungan Ben-Gvir ke AS, seperti dilaporkan, adalah perjalanan diplomatik pertamanya sejak bergabung dengan pemerintahan Netanyahu pada 2022. Ia mengklaim bertemu anggota Kongres yang “sepenuhnya mendukung Israel,” namun tak menyebut pertemuan dengan pejabat administrasi Trump. Klaimnya yang lebih kontroversial—bahwa Partai Republik mendukung seruannya untuk membom bantuan di Gaza—dibantah keras oleh Departemen Luar Negeri AS sebagai “kontradiksi total” dengan kebijakan mereka. Lebih dari 52.300 warga Palestina tewas di Gaza sejak Oktober 2023, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut laporan. Ben-Gvir, dengan retorika anti-Palestina dan dukungan terhadap kekerasan pemukim, menjadi simbol kebrutalan yang memicu kemarahan. Protes di Capitol, Florida, hingga New Haven menunjukkan bahwa masyarakat AS tak lagi menerima narasi tunggal pro-Israel.

Saya merenung, bagaimana mungkin AS, yang telah memberikan bantuan militer lebih dari $310 miliar kepada Israel sejak 1946, kini menyaksikan rakyatnya berbalik? Di Florida, keluarga sandera Israel mengecam Ben-Gvir di bandara, menurut video yang viral. Di New Haven, mahasiswa Yale memprotes kehadirannya, bergabung dengan kelompok Yahudi progresif seperti Jewish Voice for Peace. Demonstrasi ini bukan insiden terisolasi. Sejak 2023, lebih dari 75 kampus AS menjadi pusat aksi pro-Palestina, menyerukan gencatan senjata di Gaza. Jajak pendapat menunjukkan 60% warga AS, terutama generasi muda, mendukung penghentian kekerasan. Krisis kemanusiaan di Gaza, dengan laporan PBB tentang kelaparan dan kehancuran, telah mengubah persepsi. Media sosial, dengan kampanye seperti “All Eyes on Rafah,” memperlihatkan wajah tragis konflik yang tak bisa diabaikan.

Namun, pemerintah AS tetap kokoh sebagai sekutu Israel. Administrasi Trump, yang menjamu Ben-Gvir tanpa boikot seperti era Biden, menunjukkan prioritas geopolitik: menjaga pengaruh di Timur Tengah, melawan Iran, dan memenuhi tekanan lobi pro-Israel seperti AIPAC. Bahkan ketika Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, dua menteri ekstremis, mendorong kekerasan pemukim di Tepi Barat—dengan serangan meningkat sejak 2023—AS tak mengeluarkan sanksi tegas. Ironi ini menyakitkan: sementara pemerintah menyalurkan miliaran dolar, rakyatnya turun ke jalan, menolak narasi bahwa Israel selalu benar. Pengunduran diri pejabat AS seperti Lily Greenberg Call, yang menyebut kebijakan AS “memungkinkan genosida,” memperkuat kesenjangan ini. Lebih dari 90 anggota Kongres Demokrat pada 2023 menyerukan sanksi terhadap Ben-Gvir dan Smotrich, namun suara mereka tenggelam dalam politik Washington.

Bayangkan, di negara yang menjunjung kebebasan berpendapat, protes pro-Palestina sering dibungkam. Di Yale, kelompok pro-Palestina dilarang; di banyak kota, demonstran ditahan dengan tuduhan “anti-Semitisme.” Ini mencerminkan ketegangan yang lebih luas: pemerintah AS, terikat aliansi strategis, berusaha meredam kritik terhadap Israel, tetapi rakyatnya tak lagi diam. Generasi muda, Arab-Amerika, Muslim, bahkan Yahudi progresif, melihat Gaza sebagai cermin ketidakadilan. Lebih dari 51.439 kematian di Gaza, tuduhan genosida di ICJ, dan surat perintah ICC terhadap Netanyahu dan Gallant menjadi amunisi moral bagi mereka. Saya melihat ini sebagai pergolakan etis: ketika pemerintah memilih pragmatisme, rakyat memilih hati nurani, menolak tokoh seperti Ben-Gvir yang mewakili kebencian.

Ironi ini bukan hanya soal AS. Di Jerman, pemerintah Scholz mendukung Israel karena tanggung jawab historis, tetapi ribuan warga Berlin memprotes serangan Gaza. Di Inggris, demonstrasi London menarik 100.000 orang, meskipun pemerintah Starmer tetap pro-Israel. Pola ini global: pemerintah Barat, terikat kepentingan geopolitik, berhadapan dengan masyarakat yang tergerak oleh krisis kemanusiaan. Bagi Ben-Gvir, protes di AS adalah pukulan telak. Pidatonya di Long Island dibatalkan akibat tekanan publik; citranya sebagai figur internasional ternoda. Ini peringatan bagi pejabat Israel lain: dunia tak lagi menerima retorika ekstrem tanpa perlawanan. Saya merasa, sebagai penulis, ini adalah titik balik—ketika suara rakyat mulai mengguncang aliansi yang dulu tak tergoyahkan.

Mengapa ironi ini terjadi? Pertama, krisis Gaza telah menembus dinding narasi resmi. Laporan independen, video di X, dan kesaksian warga Palestina memperlihatkan kehancuran yang tak bisa dibenarkan. Kedua, generasi muda Barat, bebas dari dogma Perang Dingin, melihat konflik ini sebagai isu keadilan, bukan sekadar politik. Ketiga, lobi pro-Israel, meskipun kuat, tak lagi mampu mengendalikan opini publik sepenuhnya. Di AS, ketika Ben-Gvir berjalan di Capitol, ia tak hanya menghadapi demonstran, tetapi juga cerminan dunia yang berubah. Saya percaya, ini bukan sekadar protes, tetapi awal dari pergeseran paradigma, di mana rakyat menuntut akuntabilitas dari sekutu mereka sendiri.

Sebagai penulis, saya tak bisa mengabaikan fakta bahwa AS tetap kunci bagi Israel. Bantuan militer, veto di PBB, dan dukungan diplomatik adalah pilar aliansi ini. Namun, ketika rakyat AS—dari mahasiswa hingga pejabat yang mengundurkan diri—menolak narasi tunggal, pilar itu mulai retak. Ben-Gvir, dengan klaimnya yang dibantah dan agendanya yang ditolak, menjadi simbol kegagalan diplomasi ekstremis. Saya melihat masa depan di mana dukungan untuk Israel akan diuji, bukan oleh pemerintah, tetapi oleh suara rakyat yang tak lagi rela diam. Ironi di Capitol adalah pengingat: bahkan di jantung sekutu terkuat, kebenaran kemanusiaan bisa mengguncang tembok kekuasaan.

Saya menutup dengan refleksi: dunia sedang menyaksikan pergulakan moral. Ketika “Free Palestine” bergema di Capitol, itu bukan hanya seruan untuk Gaza, tetapi juga untuk keadilan yang melampaui politik. Bagi saya, ini adalah harapan—bahwa suara rakyat, meskipun dibungkam, akan terus bergema, menuntut dunia yang lebih adil. Ironi di AS adalah cermin bagi kita semua: aliansi mungkin kuat, tetapi hati nurani rakyat jauh lebih keras.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *