Opini
Pasar Voni Tipikor: Keadilan Dijual Rp60 Miliar

Selamat datang di pasar vonis Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, tempat keadilan diperdagangkan dengan harga selangit. Di sini, hakim berjubah mulia berunding layaknya pedagang pasar malam, sementara panitera muda menghitung tumpukan fulus di balik meja. Uang Rp60 miliar berpindah tangan untuk membebaskan korporasi dari jerat hukum, meninggalkan rakyat yang kelaparan minyak goreng. Pasar ini ramai, tapi keadilan? Entah tersesat di mana.
Pasar vonis ini bukan sekadar isapan jempol, melainkan realitas kelam yang terbongkar oleh Kejaksaan Agung. Muhammad Arif Nuryanta, mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, meminta suap Rp20 miliar dikalikan tiga, menjadi Rp60 miliar, demi mengatur vonis perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO). Ironis, perkara ini merugikan negara Rp6,47 triliun, namun suap itu dianggap “murah” oleh pelaku.
Di balik layar, panitera muda Wahyu Gunawan menjadi makelar ulung. Dengan pangkat golongan 3D, ia menghubungkan pengacara Arianto Bakri dan Marcela Santoso dari firma hukum Arianto Arnaldo dengan Arif Nuryanta. Pertemuan di rumah makan Layar Seafooding Jakarta Timur menjadi saksi bagaimana vonis dirancang. Meski belum genap empat tahun sebagai panitera, Wahyu sudah lihai menjalankan “pekerjaan sampingan” menjajakan putusan pengadilan.
Hakim-hakim ikut berpesta dalam transaksi ini. Majelis hakim, dipimpin Juyamto bersama Agam Syarif Baharuddin dan Mukhtaro, diduga menerima Rp22,5 miliar. Mereka memutuskan onslag, membebaskan korporasi dari kewajiban ganti rugi negara. Korporasi seperti Wilmar Group, yang terlibat, mengekspor CPO sambil mengabaikan kebutuhan domestik, memicu krisis minyak goreng yang membuat ibu-ibu rumah tangga panik mencari stok di pasar.
Krisis minyak goreng itu bukan cerita rekaan. Ketika harga sawit dunia melonjak, minyak goreng lenyap dari rak-rak toko. Pemerintah menggelontorkan subsidi Rp8 triliun selama tiga bulan untuk menstabilkan harga. Larangan ekspor CPO diberlakukan pada April 2022, namun korporasi tetap mengangkut keuntungan ke pasar global. Sementara rakyat mengantre demi setetes minyak, hakim-hakim sibuk menghitung suap di ruang sidang.
Pasar vonis ini tak hanya melibatkan hakim dan panitera. Advokat, yang seharusnya menegakkan hukum, malah menjadi fasilitator. Arianto Bakri dan Marcela Santoso, pasangan suami-istri pengacara, diduga bersekongkol dengan Wilmar Group. Mobil-mobil mewah Arianto, kini disita Kejaksaan Agung, menjadi simbol keserakahan. Marcela bahkan terlibat dalam perintangan penegakan hukum di perkara lain, seperti korupsi timah dan impor gula, menambah daftar dosa.
Kejaksaan Agung bergerak cepat. Selain menetapkan delapan tersangka, termasuk empat hakim, mereka menemukan Rp5,5 miliar tunai di rumah hakim Ali Motarom di Jepara. Uang itu hanya secuil dari Rp60 miliar yang digelontorkan. Muhammad Syafi’i, Kepala Jaminan Sosial dan Perizinan Wilmar Group, juga diseret sebagai tersangka. Tapi, apakah ini puncak gunung es, atau sekadar debu dari pasar vonis yang lebih luas?
Mahkamah Agung mencoba menutup kios-kios korupsi dengan merotasi 199 hakim dan 68 panitera. Sebanyak 71 hakim dari Jakarta dan Surabaya dipindahkan ke daerah lain. Namun, Gayus Lumbun, mantan hakim agung, menegaskan rotasi hanyalah pindah tempat. Jiwa serakah tak ikut bermutasi. Indonesia Corruption Watch mencatat, sejak 2011 hingga 2024, 29 hakim terseret suap. Rotasi tak ubahnya menyapu debu di bawah karpet pengadilan.
Pengawasan, yang seharusnya menjadi pagar pasar ini, ternyata compang-camping. Badan Pengawas Mahkamah Agung tak mampu mencegah pelanggaran, sementara Komisi Yudisial hanya bisa mengintip tanpa wewenang memadai. Zainur Rahman dari Pukat UGM menyinggung lubang besar dalam pengawasan: laporan LHKPN sering bohong, dan pengayaan tak wajar tak dikriminalisasi. Hakim dengan gaya hidup mewah lolos karena tak ada sanksi berarti.
Pasar vonis ini juga mengungkap kesenjangan kesejahteraan. Panitera seperti Wahyu Gunawan hidup dengan gaji jauh di bawah hakim, namun punya akses besar ke transaksi gelap. Hakim Tipikor, yang sidangnya bisa hingga larut malam, tak mendapat kompensasi setara beban kerja. Tapi, kesejahteraan bukan alasan utama. Hakim agung, yang relatif makmur, tetap tergiur suap. Keserakahan, bukan kemiskinan, adalah bahan bakar pasar ini.
Lalu, bagaimana menutup pasar vonis ini? Gayus Lumbun mengusulkan evaluasi nasional terhadap hakim, dipimpin presiden, untuk memisahkan yang jujur dari yang serakah. Zainur Rahman menyerukan revisi UU Tipikor, pengesahan UU Perampasan Aset, dan penguatan Komisi Yudisial. DPR, yang kini membahas KUHAP, harus memasukkan UU Perampasan Aset ke Prolegnas. Tanpa political will dari pemerintah, usulan ini hanya akan jadi angin lalu.
Publik tak bisa hanya jadi penonton. Ketika keadilan diperdagangkan, rakyat yang menderita. Krisis minyak goreng adalah bukti nyata: korporasi meraup untung, sementara rakyat berebut stok. Hakim, yang seharusnya benteng keadilan, malah membuka gerbang untuk penyamun. Jika pasar vonis ini tak ditutup, negara penghasil sawit terbesar dunia ini akan terus kehabisan minyak—dan keadilan—di lumbung sendiri.
Pasar ini juga mencerminkan penyakit kronis sistem peradilan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menemukan bukti kartel harga oleh tujuh perusahaan, termasuk Salim Ivomas, yang didenda Rp40 miliar. Namun, putusan pengadilan sering sumir, seperti vonis ringan untuk lima terdakwa korupsi CPO, yang hanya dijatuhi hukuman satu hingga tiga tahun, jauh dari tuntutan jaksa tujuh hingga 12 tahun.
Advokat seperti Marcela Santoso, yang namanya meroket di kasus-kasus besar, kini terseret karena menggadaikan perkara. Ia bahkan mencegah wawancara media, menunjukkan arogansi di tengah skandal. Keterlibatannya dalam perkara timah, yang merugikan negara Rp300 triliun, dan impor gula, memperlihatkan bagaimana advokat menjadi roda penggerak pasar vonis, menghubungkan korporasi dengan hakim yang lapar fulus.
Hingga kapan pasar ini beroperasi? Ketika hakim masih bisa dibeli dengan Rp60 miliar, ketika korporasi seperti Wilmar Group lolos dari jerat hukum, dan ketika pengawasan tetap lemah, kios-kios suap akan terus ramai. Publik menanti tindakan tegas: evaluasi hakim, undang-undang baru, dan pengawasan tak pandang bulu. Jika tidak, pasar vonis Tipikor akan tetap menjadi destinasi favorit para penjual keadilan.
Daftar Sumber:
- [FULL] REALITAS – KRONIS JUAL BELI VONIS – https://www.youtube.com/watch?v=7PrHFg0dBNg&t=45s
- [FULL] Buka-bukaan Kasus Suap Hakim dalam Vonis Korupsi CPO: Pihak Mana Lagi yang Terlibat? – https://www.youtube.com/watch?v=5Uc8f59ZQ8k
- Mahkamah Agung Rotasi 199 Hakim dan 68 Panitera, Upaya ‘Bersihkan’ Mafia Peradilan? – https://www.youtube.com/watch?v=TIcEe3iEm4E