Opini
Ancaman Netanyahu: Retorika atau Realitas?

Di tengah suasana tegang yang menyelimuti hubungan internasional, sebuah pernyataan keras kembali menggema dari Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Dalam sebuah video yang dirilis usai pertemuannya dengan Presiden Trump di Gedung Putih, ia menegaskan bahwa kesepakatan nuklir antara Amerika Serikat dan Iran hanya akan berhasil jika fasilitas nuklir Tehran “diledakkan” dan dihancurkan—tentu di bawah arahan dan eksekusi militer Amerika. Nada suaranya terdengar penuh keyakinan, tetapi di balik retorika yang menggelegar itu, terselip aroma ancaman yang lebih besar dari kapasitas riil yang bisa ia wujudkan. Meski dalam pertemuan itu ia berusaha menonjolkan keselarasan sikap terhadap Iran, kenyataannya pendekatan mereka berbeda. Maka pertanyaannya: apakah ancaman ini benar-benar bertaring, atau sekadar gema kosong di ruang hampa?
Netanyahu menawarkan sebuah visi yang tampak lugas: ia ingin mengulang “model Libya 2003”, ketika program nuklir Tripoli dibongkar total oleh Amerika Serikat. “Masuk, hancurkan fasilitas mereka, bongkar semua peralatan,” katanya dengan nada meyakinkan, seolah-olah itu resep sederhana untuk meredam ancaman Iran. Ia bahkan menggambarkan bahwa skenario ini bisa dilakukan dalam bingkai kesepakatan, asalkan Amerika memimpin operasi destruktif tersebut. Namun realitas jauh lebih kompleks daripada imajinasi Netanyahu. Iran bukan Libya. Negara itu memiliki infrastruktur militer yang jauh lebih mapan, mulai dari rudal balistik, sistem pertahanan canggih, hingga jaringan proksi seperti Hizbullah. Ancaman Netanyahu terdengar gagah, namun melupakan fakta bahwa Israel sendiri pernah merasakan serangan langsung dari Iran—dan tidak sepenuhnya mampu menahannya.
Sejarah mencatat bahwa Iran sudah dua kali melancarkan serangan langsung ke Israel, salah satunya pada April 2024, ketika ratusan drone dan rudal diluncurkan sebagai respons atas serangan Israel ke konsulat Iran di Damaskus. Meski sistem pertahanan Iron Dome dan Arrow, dibantu oleh AS, Inggris, dan Yordania, berhasil mencegat sebagian besar proyektil, beberapa di antaranya tetap lolos dan menghantam target. Ini adalah bukti konkret bahwa Iran punya kapabilitas ofensif yang nyata dan tidak bisa diremehkan. Maka ketika Netanyahu bicara soal “meledakkan” fasilitas nuklir Iran, ia tampak lupa bahwa Tehran juga memiliki kemampuan untuk membalas dengan daya rusak yang sudah teruji. Gertakan itu mulai terdengar seperti desakan dari seseorang yang tahu bahwa kartunya tidak cukup kuat di meja permainan.
Di sisi lain, Iran tak tinggal diam dalam menghadapi retorika agresif Netanyahu. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, dalam opininya di The Washington Post, memperingatkan Trump untuk menyingkirkan opsi militer dari meja perundingan. “Rakyat Iran yang bangga tak akan menerima paksaan,” tulisnya, sambil mengingatkan Amerika soal kegagalan perang di Irak dan Afghanistan yang menghabiskan triliunan dolar. Ini bukan sekadar pernyataan emosional—tapi sinyal strategis bahwa Iran tidak akan tunduk pada tekanan militer. Araghchi menyiratkan bahwa serangan terhadap Iran bukan hanya akan gagal menghentikan program nuklir mereka, tapi juga akan menyeret kawasan ke dalam konflik berdarah yang jauh lebih besar dan mahal. Sikap Iran konsisten: semakin ditekan, semakin keras mereka melawan.
Namun Netanyahu tetap ngotot. Ia menegaskan bahwa jika pembicaraan AS-Iran terus berlarut tanpa hasil, “opsi militer menjadi tak terhindarkan.” Tapi pertanyaannya: apa yang ia maksud dengan “tak terhindarkan”? Israel pernah melakukan serangan presisi terhadap target nuklir, seperti reaktor Osirak di Irak pada 1981, tapi Iran bukan Irak. Fasilitas nuklir Iran tersebar luas, banyak yang berada di lokasi tersembunyi dan bawah tanah—seperti situs Fordow yang dikubur dalam gunung. Untuk menghancurkannya, dibutuhkan operasi militer skala besar, bukan sekadar serangan udara terbatas. Dan jika Israel atau AS bergerak, Iran punya rudal hipersonik Fattah-1 yang diklaim bisa mencapai Tel Aviv dalam waktu kurang dari 400 detik. Dalam konteks ini, ancaman Netanyahu bukan hanya berani, tetapi juga penuh risiko strategis yang ia abaikan secara terang-terangan.
Trump sendiri tampak bermain di dua sisi. Di Oval Office, ia berbicara optimistis tentang diplomasi, namun dalam nafas berikutnya mengancam Iran dengan “bahaya besar” jika negosiasi gagal. Ini sangat kontras dengan Netanyahu yang tampaknya tak lagi percaya pada diplomasi tanpa kehancuran fisik. Ketergantungan Netanyahu terhadap Amerika justru menyoroti kelemahan struktural dalam posisinya. Israel tidak memiliki kapasitas militer independen untuk sepenuhnya melumpuhkan Iran. Mereka membutuhkan pesawat, logistik, intelijen, dan restu politik dari Amerika. Tanpa itu, ancamannya tak lebih dari suara keras tanpa gigi. Dan bahkan dengan AS, tindakan militer seperti ini berisiko membuka perang regional yang bisa dengan cepat lepas kendali.
Cukup lihat peta Timur Tengah: Iran memiliki sekutu kuat di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman. Hizbullah saja diperkirakan memiliki stok lebih dari 150.000 roket, cukup untuk membanjiri sistem pertahanan Israel selama berminggu-minggu. Serangan terhadap Iran bukan hanya menyerang satu negara—itu membuka seluruh kotak Pandora yang selama ini tertahan. Netanyahu pasti tahu itu. Namun ia tetap bersikeras, mungkin karena ancamannya lebih ditujukan untuk konsumsi publik domestik daripada Tehran. Di Israel, retorika keras terhadap Iran telah menjadi komoditas politik. Tapi di panggung internasional, ancamannya terdengar semakin hampa ketika Iran justru telah membuktikan kemampuannya menyerang balik dengan presisi dan determinasi.
Perbandingan dengan Hamas juga memperjelas kekeliruan pendekatan Netanyahu. Selama bertahun-tahun, Israel telah menggempur Gaza dengan kekuatan penuh—serangan udara, blokade ekonomi, hingga operasi darat. Tapi Hamas tetap ada, bahkan tumbuh dalam semangat perlawanan rakyat Palestina. Iran jauh lebih besar dan kuat dari Hamas. Ia memiliki struktur negara, kapasitas produksi dalam negeri, dan teknologi militer yang signifikan. Jika strategi tekanan maksimum gagal membungkam Hamas, bagaimana mungkin bisa berhasil melawan Iran? Ancaman Netanyahu ke Iran adalah pengulangan pola lama: keras di mulut, namun lemah di hasil. Ia berbicara soal menghancurkan fasilitas, tapi melupakan bahwa Iran juga punya kemampuan untuk menghancurkan balik.
Data intelijen memperkuat argumen ini. Iran diperkirakan memiliki lebih dari 3.000 rudal balistik, dengan jangkauan yang mencakup seluruh wilayah Israel. Program nuklir mereka pun sudah berkembang pesat: pengayaan uranium mencapai level 60% pada 2024, mendekati ambang batas 90% yang dibutuhkan untuk senjata nuklir. Serangan militer mungkin bisa memperlambat laju program ini, tapi tidak akan menghentikannya—seperti yang terjadi setelah serangan Israel ke reaktor nuklir Irak dan Suriah. Bahkan dalam beberapa kasus, tekanan militer justru mempercepat program nuklir Iran. Setelah runtuhnya JCPOA, Tehran justru meningkatkan jumlah dan kualitas sentrifugal. Netanyahu tampaknya mengabaikan dinamika ini. Ia seolah hanya berteriak di tengah badai, berharap dunia mendengarnya.
Araghchi punya argumen kuat saat menyebut bahwa perang di Timur Tengah akan jauh lebih mahal daripada konflik Irak atau Afghanistan. Menurut laporan Brown University, perang Irak menghabiskan sekitar $2 triliun, sementara perang Afghanistan bahkan lebih dari itu. Iran, dengan medan geografis yang lebih kompleks, ekonomi yang lebih besar, dan populasi yang lebih terorganisir, bisa menguras hingga $5 triliun atau lebih. Belum lagi jumlah korban jiwa dan dampak jangka panjangnya. Trump, dengan insting bisnisnya, mungkin tidak sepenuhnya setuju dengan mimpi destruktif Netanyahu. Maka, ancaman itu sejatinya bergantung pada Amerika—dan tanpa Amerika, suara Netanyahu hanyalah gema yang tak menghasilkan gaung.
Pada akhirnya, ancaman Netanyahu terdengar seperti gong besar yang dipukul keras, tapi tak menghasilkan gema yang mengubah medan permainan. Ia bicara soal kehancuran, tetapi lupa bahwa Iran telah menyentak Israel dengan serangan nyata. Ia menggantungkan diri pada kekuatan Amerika, padahal dukungan itu belum tentu datang sepenuhnya. Di balik suaranya yang lantang, tersembunyi keraguan strategis dan keterbatasan operasional. Dunia tahu, dan Iran pun tahu, bahwa ancaman itu hanya akan menjadi omong kosong jika tak diikuti kemampuan nyata. Dan dalam dunia yang semakin kompleks, omong kosong tak cukup untuk mengubah peta geopolitik.