Opini
Topeng Moderasi HTS: Dendam Banias Terkuak

Kota Banias di pesisir Suriah terdiam dalam bayang-bayang maut. Jalanan yang dulu ramai kini dipenuhi jeritan dan bau darah. Amnesty International mengungkap milisi afiliasi pemerintah membantai lebih dari seratus warga sipil Alawit dalam dua hari penuh teror. Samira* menatap kosong saat suaminya ditembak di kepala setelah ditanya, “Apakah kamu Alawit?” Saed* memandang tubuh ayah dan saudara-saudaranya ditumpuk, lalu lenyap di kuburan massal. Ini dendam sektarian yang tak terselubung.
Di balik tragedi ini, ada nama yang kini mendominasi Suriah: Hay’at Tahrir al-Sham, atau HTS, yang dipimpin Ahmed al-Sharaa. Setelah merebut Damaskus pada Januari 2025, HTS naik sebagai penguasa interim, mengklaim telah menanggalkan jubah ekstremisme mereka. Mereka berbicara tentang stabilitas, inklusivitas, dan bahkan membentuk komite pencari fakta pada 9 Maret untuk menyelidiki Banias, seperti dicatat Amnesty. Tapi ketika milisi mereka—atau yang mereka biarkan—menghabisi warga Alawit dengan brutalitas dingin, pertanyaan muncul: apakah moderasi mereka nyata, atau hanya siasat licin?
Bayangkan Suriah pada 2011, ketika protes damai di Daraa memicu perang saudara. Mayoritas Sunni menuntut reformasi dari rezim otoriter Bashar al-Assad, tanpa sentimen anti-Alawit yang kuat. Namun, represi brutal rezim—dengan milisi Shabiha yang didominasi Alawit—mengubah lanskap. Di tengah kekacauan, Jabhat al-Nusra lahir pada 2012 sebagai cabang Al-Qaeda, membawa retorika sektarian yang menyasar Alawit sebagai “kafir.” HTS adalah evolusi dari kelompok ini, dan akarnya tak bisa dihapus begitu saja.
Pada 2017, HTS memutus tali dengan Al-Qaeda, mengganti nama, dan membangun Pemerintah Penyelamat Suriah di Idlib. Mereka mengelola sekolah, rumah sakit, dan pasar—tampilan pragmatisme yang memikat. Al-Sharaa, dengan jas rapi menggantikan seragam tempur, berbicara tentang melindungi minoritas dalam wawancara dengan media Barat seperti Frontline pada 2021. Ini adalah wajah publik yang mereka poles: kelompok jihadis yang telah “bertobat” menjadi kekuatan nasionalis. Tapi Banias menunjukkan bahwa polesan itu rapuh.
Laporan Amnesty menggambarkan pemandangan mengerikan: warga Banias ditanya identitas sektarian mereka sebelum dieksekusi. Ahmad* kehilangan ayahnya, ditembak di punggung saat mencoba melindungi keluarga. Enam foto yang diverifikasi Amnesty menunjukkan tubuh suami Samira* terkapar di atap, darah menggenang. Ini bukan pertempuran melawan musuh bersenjata—ini pembantaian warga sipil yang ditargetkan karena mereka Alawit. HTS, yang kini memimpin pemerintah interim, gagal menghentikan kekerasan selama 48 jam. Moderasi macam apa ini?
Sejarah HTS menawarkan petunjuk. Sebagai Jabhat al-Nusra, mereka pernah menyerang desa-desa Alawit seperti Qalb Lawze pada 2015, membunuh 20 warga sipil, menurut Syrian Observatory for Human Rights (SOHR). Retorika mereka kala itu penuh kebencian sektarian, menyerukan jihad melawan “penyembah berhala.” Ketika mereka menjadi HTS, serangan semacam itu berkurang, digantikan oleh fokus melawan Assad dan ISIS. Tapi apakah itu perubahan hati, atau hanya strategi bertahan di tengah tekanan global?
Kemenangan mereka pada 2025 mengubah permainan. Setelah Damaskus jatuh, HTS tidak lagi harus bersembunyi di balik topeng untuk mendapatkan dukungan. Laporan Amnesty mencatat bahwa pembantaian Banias terjadi setelah serangan kelompok pro-Assad pada 6 Maret, tapi balasan mereka menyasar warga sipil, bukan pelaku militer. Ini hukuman kolektif—pola yang sama yang pernah digunakan Nusra. Dengan kekuasaan di tangan, mereka tampaknya merasa bebas melepaskan dendam lama yang disembunyikan.
Janji Al-Sharaa untuk menyelidiki Banias terdengar mulia. Amnesty mencatat pembentukan komite pencari fakta, tapi mereka juga memperingatkan bahwa tanpa mandat, sumber daya, dan independensi, ini bisa jadi kosong. Jika HTS serius tentang moderasi, mengapa milisi mereka—atau yang mereka klaim sebagai afiliasi—dibiarkan berbuat biadab? SOHR melaporkan pada 2023 bahwa HTS masih mengendalikan jaringan milisi lokal di Idlib dengan tangan besi. Kegagalan di Banias menunjukkan kontrol itu sengaja dilonggarkan—orang-orang ini adalah alat mereka.
Lihatlah kontrasnya dengan klaim publik mereka. Dalam wawancara dengan The Guardian pada 2022, Al-Sharaa mengatakan, “Kami tidak akan mengulangi kesalahan masa lalu; Suriah untuk semua.” Tapi ketika Saed* harus mengubur ayah dan saudara-saudaranya sendirian di kuburan massal, ditutup tanah oleh truk tanpa upacara, kata-kata itu terasa hampa. Amnesty memverifikasi empat foto kuburan informal di al-Qusour, Banias, dengan satelit menunjukkan tanah digali antara 8-10 Maret. Ini bukan tanda pemerintahan inklusif—ini kekejaman terencana.
Siasat moderasi HTS bukan hal baru dalam sejarah konflik. Kelompok ekstremis sering mengadopsi wajah pragmatis untuk bertahan. Taliban di Afghanistan, misalnya, berjanji pada 2021 untuk menghormati hak perempuan demi pengakuan global, namun laporan Human Rights Watch 2024 menunjukkan eksekusi dan penindasan berlanjut. HTS mengikuti pola serupa: moderasi adalah alat untuk kekuasaan, bukan cerminan nilai. Ketika mereka merebut Suriah, kebutuhan akan topeng itu memudar, dan Banias menjadi cermin wajah asli mereka.
Data mendukung argumen ini. Menurut Syrian Network for Human Rights (SNHR), HTS dan afiliasinya bertanggung jawab atas kematian 420 warga sipil dan pejuang tak bersenjata di Tartous, Latakia, dan Hama pada 2025, termasuk 39 anak. Ini jauh melebihi 111 kematian yang didokumentasikan PBB, menunjukkan skala kekerasan yang sistematis. Jika mereka moderat, mengapa angka ini begitu mengerikan? Banias hanyalah puncak gunung es dari pola yang tak pernah benar-benar mereka tinggalkan.
Pikirkan tentang implikasinya. HTS mungkin berhasil menipu dunia dengan jas dan janji, tapi darah di Banias menceritakan kisah lain. Mereka bukan kelompok yang telah berevolusi melampaui sektarianisme—mereka adalah aktor cerdas yang menyembunyikan kebencian di balik pragmatisme sampai waktu yang tepat. Ketika Assad jatuh, waktu itu tiba, dan warga Alawit membayar harganya. Moderasi mereka adalah siasat untuk menutupi wajah sesungguhnya: kelompok yang masih haus balas dendam.
Namun, ada nuansa yang tak boleh diabaikan. HTS menghadapi Suriah yang terpecah—loialis Assad, Kurdi, dan faksi Sunni lain tetap menjadi ancaman. Banias bisa jadi cara untuk menakut-nakuti musuh, bukan hanya ekspresi dendam. Tapi bahkan jika itu strategi, kekerasan sektarian yang mereka pilih menegaskan bahwa “moderasi” hanyalah kulit tipis. Laporan International Crisis Group pada 2023 menyebut HTS sebagai “hibrida jihadis-pragmatis”—deskripsi yang terbukti di Banias.
Di akhir cerita ini, kita kembali ke Samira*, yang memohon agar suaminya diselamatkan, hanya untuk menemukan tubuhnya di atap. Kita kembali ke Saed*, yang menyaksikan keluarganya ditembak karena identitas mereka. Amnesty menyerukan keadilan, tapi jika HTS adalah dalang di balik siasat ini, keadilan mungkin hanya ilusi. Wajah sesungguhnya HTS bukan pemerintahan yang inklusif—itu adalah bayang-bayang Nusra, menari di atas kuburan Banias.
*sejumlah nama disamarkan